KONSEP DOSA DALAM PERJANJIAN LAMA
DAN
HUBUNGANNYA DENGAN PERJANJIAN
by: Pardomuan Marbun
by: Pardomuan Marbun
Pendahuluan
Asal-usul dosa adalah misteri yang
tetap tak terungkap dalam penyataan Alkitab.[1] Yang jelas, dosa adalah realitas dan dengan
segera mengikuti penciptaan manusia dan perjanjiannya antara Allah dengan
manusia dan antara mereka dan seluruh makhluk ciptaan. Selebihnya dari cerita Alkitab adalah rencana
Allah untuk mengatasi pengasingan manusia dan memulihkan maksud-maksud-Nya yang
mula-mula bagi manusia – bahwa Dia mempunyai kuasa atas segala sesuatu.
Sementara itu, J. O. Buswell berkata
bahwa, “dosa bermula dalam suatu tindakan kehendak bebas dimana ciptaan secara
sengaja, bertanggung jawab, dan dengan pokok pengertian yang memadai tentang
pokok persoalan itu memilih untuk merusak sifat keilahian yang kudus yang telah
Allah berikan kepada ciptaan-Nya.”[2] Hal ini menunjuk kepada asal mula dosa di
dalam diri setan (Yeh. 28:15). Sebelum
Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa, setan sudah terlebih dahulu jatuh ke dalam
dosa. Godaan ular atas Adam dan Hawa
membuktikan keberadaan dosa sebelumnya.
William Dyrness menyatakan hal yang
berbeda, dimana kejatuhan manusia adalah adalah asal mula dosa.[3] Dosa menyebabkan terputusnya persekutuan
antara manusia dengan Allah dan alam semesta (Kej. 2:17). Manusia menerima kutuk atas
pelanggarannya. Tanah menjadi terkutuk,
kesusahan menjadi bagian dari kehidupan manusia, lebih lagi Allah mengusir
manusia itu dari taman itu.
Keterpisahan manusia dengan Allah tidak
menjadikannya lebih baik, namun dengan jelas Alkitab menceritakan keturunan
manusia itu semakin jahat. Kain membunuh
adiknya sendiri (Kej.4:1-16). Kejahatan
manusia terus bertumbuh, hingga Alkitab menggambarkan bahwa Allah menyesal
menjadikan manusia (Kej. 6:5-6).
Akhirnya Allah harus memutuskan untuk mengakhiri semua ciptaan itu dan
memulainya dengan seorang yang benar dan tak bercela yaitu, Nuh (Kej.
6:9-22). Allah mengadakan perjanjian
dengan Nuh bahwa semua keturunannya akan diselamatkan. Namun, keturunan Nuh juga tidak lepas dari
dosa. Semakin banyak keturunannya,
semakin banyak pula kejahatan yang dilakukan manusia itu.
Pemahaman yang beragam tersebut menarik
untuk ditindaklanjuti dalam suatu studi karya tulis. Hal itu tentu akan memperluas wawasan
hamartologi disatu sisi, sementara disisi lain akan memberi kontribusi bagi
usaha membangun dasar perspektip yang Alkitabiah mengenai perjanjian. Namun kendati demikian, makalah ini akan diarahkan
pada apa sebenarnya makna dosa dalam Perjanjian Lama dan hubungannya dengan
perjanjian. Tujuannya secara langsung
adalah untuk mencari kebenarannya sesuai pesan Alkitab, dan tentu juga akan
memberikan sumbangsih bagi keberagaman pemahaman tersebut.
Definisi Dosa
Alkitab
menggunakan beberapa istilah untuk dosa. Kata Ibrani yg paling umum ialah khatta’t (dlm berbagai bentuk dari akar
kata yg sama), ‘awon, pesya ‘ra‘; dan
kata Yunani ialah hamartia, hamartema,
parabasis, paraptoma, poneria, anomia dan adikia. Ada beda pengertian
terkandung dalam masing-masing istilah itu yg memantulkan berbagai segi, dan
dari situ orang mengenali dosa.[4] Dosa ialah kegagalan, kekeliruan atau
kesalahan, kejahatan, pelanggaran, tidak menaati hukum, kelaliman atau
ketidakadilan. Dosa ialah kejahatan
dalam segala bentuknya. Pertama, kata
dosa berasal dari kata dasar Khata. Kata Khata
muncul sebanyak 522 kali dalam Perjanjian Lama, yang memiliki arti tidak
mengenai sasaran.[5] Arti mengenai sasaran ini juga mencakup
pencapaian sasaran tertentu yang lain, dimana ketika seseorang tidak mencapai
sasaran yang tepat lalu berdosa, maka dia juga mengenai sasaran yang keliru. Kata Khata
digunakan untuk menjelaskan dosa kejahatan moral, penyembahan berhala, dan yang
berhubungan dengan upacara (Kel. 20:20; Hak. 20:16; Ams. 8:36, 19:2).[6] Lebih dalam lagi dosa dalam PL sering
diartikan sebagai kehilangan (Kel. 20:20, Ams.8:36). Artinya manusia kehilangan tujuannya atau tidak
mencapai tujuannya, sebab ia tidak memperhatikan peraturan yang ditetapkan oleh
Tuhan. Selanjutnya, dosa disebut juga
sebagai "bengkok, keliru, menyimpang dari jalan“. Artinya ada kesengajaan melakukan dosa dan
pelanggaran tersebut. Hal inilah yang
diungkapkan oleh James Montgomery Boice dalam bukunya “Dasar-dasar Iman
Kristen”. Dosa adalah kemurtadan, yaitu,
terjatuh dari sesuatu yang sebelumnya eksis dan baik. Dosa adalah kebalikan dari maksud-maksud
Allah untuk umat manusia.[7]
C. S. Lewis
mengatakan, “Dosa adalah pemberontakan terhadap Allah, dan juga kesombongan yang
menjadi pusat dari imoralitas, “ kejahatan terbesar”; kesombongan membawa pada
setiap sifat buruk yang lain.”[8] Adam dan Hawa yang telah memberontak terhadap
Allah, diikuti oleh kain, keturunannya hingga bangsa Israel yang selalu
memberontak terhadap Allah (Kej. 3, 4, 5, 6 dan Kel. 32). Tindakan yang dilakukan oleh Adam dan Hawa,
keturunannya serta bangsa Israel adalah pikiran kebodohan.[9] Alkitab dengan jelas mendefenisikan bahwa
“memikirkan kebodohan adalah dosa” Amsal 24:9.
Pemberontakan, kesombongan dan ketidaktaatan bersumber dari pikiran
kebodohan.
James
Montgomery Boice juga mengatakan bahwa: “Dosa adalah ketidakberimanan, dosa
adalah keraguan terhadap kehendak baik dan kebenaran Allah, yang secara pasti
membawa pada tindakan penolakan langsung.”[10] Hal inilah yang terjadi ketika Adam dan Hawa
ada di Taman Eden. Ketika iblis bertanya
kepada Hawa, “ ... tentulah semua pohon di dalam taman ini boleh kamu makan,
bukan?” (Kej. 3:1). Ini adalah tanda
tanya pertama dalam Alkitab. Pertanyaan
inilah yang membuat Hawa ragu akan Firman Allah. Apakah Allah berkata ...? Apakah Allah
sunguh-sungguh berkata ...? Esensi dosa ada dalam spekulasi pertanyaan ini.[11] Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
keraguan manusia akan Firman Allah yang menyebabkan manusia jatuh ke dalam
dosa.
Asal Mula Dosa
Dosa sudah ada di alam semesta sebelum Adam dan Hawa
jatuh ke dalam dosa. Ini terbukti dari
hadirnya penggoda itu di Taman Eden dengan kata-kata godaannya. Tapi Alkitab tidak memberikan keterangan
tentang kejatuhan Iblis dan malaikat-malaikatnya ke dalam dosa, kecuali asal
mula dosa dalam kaitannya dengan manusia.[12] William Dyrness mengungkapakan hal yang sama,
dimana dosa itu bermula dari kejatuhan.[13] Kejatuhan yang dimaksud adalah ketika Adam
dan Hawa di dalam Taman Eden, memakan buah, “pengetahuan yang baik dan yang
buruk” yang ada di tengah-tengah taman itu (Kej. 3). Hal ini terjadi ketika manusia menjadikan
dirinya bebas di luar tatanan yang telah ditentukan bagi mereka oleh firman
Allah. Hal yang sama juga diungkapkan
oleh James Montgomery Boice, ia berkata bahwa dosa bermula dari kejatuhan dari
Adam dan Hawa di Taman Eden.[14]
Millard J. Erikson dalam buku “Teologi Kristen”
mengatakan bahwa sumber dosa adalah keinginan manusia itu sendiri.[15] Menurutnya dosa bersumber dari keinginan
manusia yang merupakan sarana potensial untuk pencobaan dan dosa. Tiga keinginan manusia yang paling mendasar
dan menjadi sarana dosa yaitu, keinginan untuk menikmati sesuatu, keinginan
untuk mendapatkan sesuatu, keinginan untuk melakukan sesuatu.[16] Kenyataan ini tersirat dalam perintah untuk
menahlukkan bumi (Kej. 1:28). Demikian
juga dengan keinginan untuk menikmati sesuatu dapat dilihat dari apa yang telah
dialami Adam dan Hawa. Alkitab dengan
jelas menceritakan Hawa melihat bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan
sedap kelihatannya, serta menarik hatinya (Kej. 3:6). Keinginan manusia itulah yang menjadikan
mereka jatuh ke dalam dosa.
Henry C. Thiessen mengungkapkan hal serupa. Menurutnya dosa bersumber pada tindakan Adam
yang secara sukarela untuk memakan buah pengetahuan yang baik dan yang buruk.[17] Hal ini merupakan pilihan manusia itu secara
sadar, apakah ia akan menaati Allah atau tidak.
Dalam hal ini Allah menghadapkan kepada manusia dua hal yang baik: pohon
kehidupan dan pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat. Pohon pengetahuan itu sebenarnya baik, dan
buahnya itu pun baik, karena Tuhan yang menjadikannya; bukan pohonnya tetapi
ketidaktaan itulah yang menyebabkan kematian.
Jadi, sumber dosa itu adalah ketidaktaan manusia itu terhadap perintah
Allah, dimana keinginan menjadi sarana potensialnya.
Alkitab tidak secara terang mengajarkan apakah Iblis yang
menjadi sumber dosa, atau kejatuhan manusia.
Harun Hadiwijono menyimpulkan dengan sangat baik, yaitu asal-usul dosa
tidak mungkin diterangkan, dengan alasan bahwa Alkitab tidak membimbing
pembacanya kepada pemecahan tentang hal asal dosa, melainkan membimbim umatnya
kepada: pengakuan dosa.[18]
Akibat-Akibat Dosa
Dosa Adam dan Hawa bukanlah
peristiwa yg berdiri sendiri tanpa kaitan.
Akibat-akibatnya terhadap mereka, terhadap keturunannya dan terhadap
dunia segera kelihatan. William Dyrness menuliskan
dalam buku, “Tema-tema Dalam Teologi Perjanjian Lama” dua hal yaitu, “bersalah”
dan “hukuman”sebagai akibat-akibat dari dosa.[19] J. H. Fairchild menuliskan dalam
artikelnya yang berjudul “The Nature Of Sin” bahwa, “Sin is the great fact in human
experience, and an intelligent apprehension of that experience is
essential to a knowledge of man’s danger and his safety; his
grounds of hope and fear.”[20] Pengalaman ini mengakibatkan ketakutan dan
pengetahuan yang merugikan terhadap keselamatan manusia, sikap serta
pengharapan manusia terhadap Allah.
Sikap Manusia Terhadap Allah
Dosa dan hati nurani yang merasa
bersalah membuat manusia menyembunyikan diri dari hadirat Allah. Dosa menyebabkan ketakutan dan bukan kasih.[21] Ketika Allah datang, manusia itu
menyembunyikan diri diantara pepohonan di taman tersebut (Kej. 3:8). Natur manusia itu telah rusak. Manusia telah kehilangan persekutuan dengan
Allah. Manusia telah kehilangan gambar
dan rupa Allah yaitu kebenaran yang hakiki.
Manusia memutuskan hubungan dari sumber hidup dan berkat, dan hasilnya
adalah suatu keadaan kematian rohani.[22]
Sikap Allah Terhadap Manusia
Perubahan tidak hanya terjadi pada
sikap manusia terhadap Allah, tapi juga pada sikap Allah terhadap manusia. Hajaran, hukuman, kutukan dan pengusiran dari
Taman Eden, semuanya itu menandakan perubahan itu.[23] Dosa timbul pada satu pihak tetapi
akibat-akibatnya melibatkan kedua pihak.
Dosa menimbulkan amarah dan kegusaran Allah, dan memang harus demikian
sebab dosa bertentangan mutlak dengan hakikat Allah. Mustahil Allah masa bodoh terhadap dosa,
karena tidak mungkin Allah menyangkali diri-Nya sendiri berkaitan dengan
kekudusan-Nya.
Hal kedua yang menjadi akibat dari dosa
adalah ketidakberkenanan Allah. Dalam
dua contoh di Perjanjian Lama, dikatakan bahwa Allah membenci Israel yang
berdosa (Hos. 9:15; Yer. 12:8; Mzm. 5:5; 11:5).
Namun yang jauh lebih sering Alkitab menjelaskan ialah bahwa Allah
membenci kejahatan (Ams. 6:16-17; Za. 8:17).
Kebencian dari Allah tidaklah kebencian sepihak, tetapi manusia itu yang
terlebih dahulu membenci Allah (Kel. 20:5; Ul 7:10), dan yang jauh lebih sering
lagi bahwa mereka membenci orang benar (Mzm. 18:40; 69: 4; Ams. 29:10). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dosa
(kejahatan) membuat Allah membenci manusia.[24] Manusia bersalah dan dikenakan hukuman dari
Allah. Ini bukan semacam kutukan
pembalasan yang otomatis seperti terdapat dalam agama-agama kafir, tetapi
keadaan patut menerima murka Allah.
Jadi, keadaan bersalah adalah suatu keadaan objektif, terkadang diakui
dan sering tidak.[25] Kesalahan itu baru terlihat dalam penghukuman
(II Sam. 21:1), secara jelas Alkitab mencatat bahwa Allah tidak melupakan dosa
(Yos. 22:22; Hos. 13:12).
Akibat-akibatnya Terhadap Umat
Manusia
Louis Berkhof menjelaskan sebagai
akibat dari dosa manusia adalah kerusakan total dari natur manusia. Dosa manusia segera merambat pada seluruh
manusia dan seluruh naturnya tidak ada yang tidak tersentuh oleh dosa; seluruh
tubuh dan jiwanya menjadi dicemari dosa.[26] Kerusakan manusia jelas diceritakan Alkitab
dalam Kej. 6:5; Mzm. 14:3; Rom. 7:8. Erikson
menyatakan empat akibat dosa bagi umat manusia, yaitu, adanya persaingan (Kej.
4), ketidakmampuan berempati, menolak wibawa pemimpin (1 Sam. 8),
ketidakmampuan untuk saling mengasihi.[27] Dosa juga menyebabkan perbudakan (Kej. 12:
10-20), menipu diri (II Sam. 12:1-15), ketidakpekaan hati nurani, mementingkan
diri sendiri dan ketidaktenangan.
Akibat-Akibatnya Terhadap Alam
Semesta
Dosa adalah peristiwa dalam kawasan
rohani manusia, tetapi akibatnya menimpa seluruh alam semesta. Jelaslah bahwa semua hewan ikut menderita
akibat dosa Adam.[28] Allah berfirman, “... Terkutuklah tanah
karena engkau; dan dengan bersusah payah engkau akan mencari rezekimu dari
tanah seumur hidupmu: semak duri dan rumput duri yang akan dihasilkannya
bagimu, dan tumbuh-tumbuhan di padang akan menjadi makananmu; dengan berpeluh
engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi tanah (Kej.
3:17-19). Adam dan Hawa diusir dari
taman itu dan dipaksa berusaha sendiri di dalam dunia yang terkutuk. Pada awalnya mereka berada dalam lingkungan
yang paling indah dan sempurna; kini mereka terpaksa harus tinggal di dalam
lingkungan yang tidak sempurna dan ganas.
Lingkungan mereka jelas berubah karena dosa.[29] Conner juga memberikan pendapat yang serupa
dimana Allah juga mendatangkan penghakiman atas bumi. Bumi dikutuk dengan semak duri dan rumput
duri, dan mempengaruhi binatang yng menjadi liar, bermusuhan dan memberontak
melawan kekuasaan manusia.[30]
Munculnya Maut
Dalam Perjanjian Lama maut
(kematian) selalu dikaitkan dengan dosa sehingga mencerminkan sesuatu yang
tidak wajar mengenai dunia sebagaimana adanya, sesuatu yang dapat dikalahkan
oleh Allah saja.[31] Maut adalah rangkuman dari hukuman atas
dosa. Hal ini telah diingatkan
sebelumnya oleh Allah kepada manusia itu (Kej. 2:17). Maut menjadi sarana langsung dari kutuk ilahi
atas manusia berdosa (Kej. 3:19). Hal
serupa juga diungkapkan oleh Erikson, dimana kematian menjadi akibat dosa yang
paling jelas. Kematian yaang menjadi
upah dari keberdosaan manusia ini terdiri dari tiga aspek yaitu: (1) kematian
fisik; (2) kematian rohaniah; (3) kematian kekal.[32] Walter C. Kaiser sependapat dengan hal ini,
ia mengatakan ada tiga macam kematian akibat dosa.[33] Ada kematian jasmani, kematian rohani (yang
memaksa orang-orang bersalah untuk menyembunyikan diri dari kehadiran Allah),
dan “kematian kedua” (yang dalam Why. 20:14 berarti tatkala seseorang pada
akhirnya secara sepenuhnya dan selama-lamanya terpisah dari Allah tanpa harapan
untuk berbalik, sesudah sekian lama hidup menolak Allah).
Hubungan Dosa dengan
Perjanjian
Karakteristik doktrin-doktrin injil -
pendamaian, regenerasi, pembenaran, dan pengudusan-semua mendapat bentuk dan
makna dari alam dan kecenderungan dan merusak dari dosa. Tujuan besar memberitakan injil-injil, dan
dari semua alat dari jemaat Allah pada akhir masa, adalah penebusan manusia,
dari kutuk dari dosa.[34] Ini telah bekerja pada zaman dahulu, dan
hingga masa yang akan datang, mulai dari zaman Abraham, Musa, Daud dan Kristus
semuanya diikat dalam perjanjian antara Allah dengan umat-Nya.
Definisi
Perjanjian
Di bagian inti dari penyataan diri
Allah yang menggambarkan rencana Allah, terdapat perjanjian Allah
(covenant). Bahkan nama “ Perjanjian
Lama” menunjukkan bahwa covenant itu merupakan konsep inti dari kumpulan kitab-kitab
ini.[35] Melalui covenant
atau perjanjian ini Allah menyatakan seperti apa Dia dan mengharuskan diri-Nya
untuk menuruti kelakuan tertentu.
Kesetian-Nya pada perjanjian itu sering sekali menyebabkan Dia melakukan
tindakan kasih karunia dan kemurahan, namun juga mencakup keadilan dalam
perjanjian untuk memastikan pemberian pertanggungjawaban oleh umat-Nya.[36]
Perjanjian adalah suatu janji
sungguh-sungguh yang diikat oleh sumpah, yang dapat merupakan ucapan lisan
ataupun tindakan simbolis.[37] Dalam Perjanjian Lama, perjanjian itu secara
khusus disamakan dengan perjanjian yang dibuat di Sinai, jangkauannya dimulai
dari penciptaan sampai kepada para nabi.
Perjanjian adalah inti pengertian orang Ibrani tentang hubungan mereka
dengan Allah.[38] Sementara itu Reformed tradisional
menggambarkan hubungan ini sejak penciptaan.
Adam merupakan kepala dari kovenan pertama yang dibuat Allah dengan
manusia yang lazim disebut kovenan kerja (covenant of works).[39] Janji dari kovenan kerja adalah hidup kekal
dalam pengertian yang sepenuhnya-hidup kekal dimana Adam dan keturunannya akan
diangkat melampaui kemungkinan untuk berdosa.
Syarat kovenan kerja adalah ketaatan sempurna, bukan hanya ketaatan
terhadap hukum moral yang diketahui Adam dan Hawa secara alamiah, tetapi
khususnya terhadap apa yang disebut sebagai larangan atau ujian: yaitu perintah
untuk tidak makan dari pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat.
Berbeda dengan yang telah
diungkapkan Reformed tradisional, Anthony A. Hoekema berpendapat menyampaikan
keberatannya terhadap pemakaian ungkapan “ kovenan kerja” dalam hubungan Allah
dengan Adam dan Hawa sebelum kejatuhan.
Menurutnya pemakaian kata kovenan di dalam Alkitab selalu dipakai dalam
konteks penebusan.[40] Allah menetapkan kovenan-Nya dengan manusia
yang telah jatuh ke dalam dosa, dengan tujuan memberikan jalan yang dengannya
umat manusia yang telah jatuh bisa ditebus dari dosa.
Lebih jauh lagi, Walter C. Kaiser
mengungkapkan bahwa perjanjian yang menyangkut Abraham pertama kali diberikan
(Kej. 12:1-3). Perjanjian tersebut
menandai permulaan pemilihan Allah akan manusia yang melaluinya Allah akan
membebaskan seluruh dunia jika manusia mau percaya dan juga menandai sejarah
dan teologi Israel.[41] Teks bergerak dari luasnya seluruh ciptaan
menuju keterbatasan dan penyempitan yang diakibatkan oleh dosa-dosa yang
berturut-turut dari umat manusia. Akan
tetapi teks juga bergerak dari tiga keadaan menyedihkan manusia sebagai akibat
dari kejatuhan dalam dosa, Air bah, dan pembangunan menara Babel menuju kepada
ke universalan ketetapan baru Allah tentang penyelamatan bagi seluruh umat
manusia melalui benih Abraham.
Isi Perjanjian
Dosa telah merusak hubungan Allah
dengan manusia dan alam semesta. Namun,
Allah dengan kasih-Nya berinisiatif memperbaiki kerusakan tersebut, dan
akhirnya dipilihlah Abraham. Rencana
Allah untuk memperbaiki hubungan dengan manusia melalui Abraham dalam bentuk
janji.[42] Vriezen menyatakan dengan tegas bahwa “ Allah merupakan
titik pusat dari seluruh Perjanjian Lama” dan mempertahankan dengan gigih bahwa
“ teologi Perjanjian Lama harus berpusat pada Allah Israel sebagai Allah
Perjanjian Lama dalam hubungannya dengan umat, dengan manusia, dan dengan dunia
. . . .”[43] Hal serupa juga diungkapkan oleh Kaiser dalam
bukunya “ Teologi Perjanjian Lama” bahwa inti dari janji Allah adalah kehadiran
Allah bagi Israel sebagai Allah dan Israel menjadi umat Allah, serta berdiamnya
kembali Allah di tengah-tengah Israel.[44] Isi dari janji tersebut pada dasarnya adalah
rangkap tiga, yaitu : keturunan, tanah pusaka, dan berkat bagi seluruh bangsa
di bumi.[45]
Janji adalah inti dari pemahaman orang Israel tentang hubungan
mereka dengan Allah. Allah senantiasa
membuat ikatan janji dengan umat-Nya.
Covenant itu bertumpu pada janji-janji Allah, yang dimulai dari
penciptaan sampai kepada masa nabi-nabi.[46] Inti dari janji itu adalah berkat, dalam hal
ini berkat kepada penerima janji (Abraham dan keturunannya serta Daud dan
keturunannya), sehingga penerima janji menjadi berkat bagi bangsa-bangsa. Berkat ini memiliki dua makna sekaligus
yaitu, secara rohani (kehadiran Allah kembali) dan secara jasmani (diberkati
dengan material, tanah dan kelimpahan).
Hal ini kembali kepada rencana semula Allah ketika menciptakan manusia
dan memberi mandat kepada mereka.
Tujuan Perjanjian
Sebagaimana Allah menunjukkan betapa hebatnya Dia, kitab Yesaya menekankan tema penciptaan, beberapa kali kata digunakan kalimat Ibrani “bara” menciptakan, “asah” membuat, “yatsar” membentuk.[47] Hal ini mengingat kepada kita Kejadian 1-2.[48] Semua bangsa kuno mengakui bahwa Allah tertinggi menciptakan langit dan bumi.[49] Kemampuan yang Allah lakukan dalam penciptaan, Yesaya menganggap bahwa itu merupakan bagian dari mandatNya dan pribadi yang berhak atas masa kini dan nasib akhir manusia. Contoh dalam Yesaya 44:24. Hubungan dengan Tuhan menjadi wahana dari semua yang dilakukan manusia. Tuhan adalah sang pencipta dan Allah bagi semua makhluk tanpa kecuali dan melingkupi semua makhluk.[50] Henry C. Thiessen mengatakan bahwa Allah bukan saja menciptakan hanya langit, tetapi juga malaikat-malaikat yang menghuni sorga dan pastilah juga bukan hanya bumi tetapi juga semua air dan udara.[51] Bumi ciptaan Allah dimaksudkan untuk didiami.[52]
Untuk itu, Allah memberi mandat kepada manusia, menjaga dan mengusahakan seluruh ciptaan itu, sehingga melaluinya kehadiran Allah nyata. Allah secara sengaja menciptakan manusia itu segambar dan serupa dengan-Nya, agar semua ciptaan memuliakan Allah melalui manusia itu. Namun, manusia itu gagal, mereka jatuh ke dalam dosa, dan gambar Allah itu rusak. Namun rencana Allah tidak dapat gagal, sekalipun manusia itu gagal. Allah mengambil inisiatif di dalam kasih-Nya untuk menyelamatkan kembali manusia dan seluruh ciptaan-Nya. Oleh karena itu, Allah digambarkan sebagai pemulih dari apa yang telah rusak dan penebus apa yang ada di utang.[53] Andrew E. Hill juga memberikan gelar bahwa Yahweh adalah penebus Israel, dimana gelar ini dipakai sebanyak 12 kali dalam Yesaya (pasal 40-66).[54] Allah melakukan semuanya di dalam perjanjian antara Allah dengan manusia.
Allah membuat perjanjian untuk mengikatkan diri-Nya dengan manusia yang berdosa. Allah di dalam kasih-Nya yang besar harus menyelamatkan manusia itu. Gagasan perjanjian itu sudah tersirat dalam perjanjian yang dibuat dengan Adam dan Hawa (Kej. 3:15) dan tergambar dalam janji Allah yang penuh rahmat kepada Kain (Kej. 4:15). Namun, secara tersurat gagasan perjanjian muncul kepada Nuh (Kej. 6:18). Allah mengadakan perjanjian kepada Nuh dan keluarganya dan segala mahkluk yang hidup yang ditandai dengan busur pelangi (ay.13). Jadi, jangkauan perjanjian tidak terbatas pada Nuh dan keturunannya saja melainkan bersifat universal.[55] Dengan adanya perjanjian itu, diharapkan manusia juga mengikatkan dirinya kepada Allah, bukan kepada dosa.
Perjanjian kepada Nuh kemudian diteguhkan kembali dalam perjanjian dengan Abraham: isi dari perjanjian itu adalah berupa perkataan tertentu mengenai berkat dan janji, yaitu pernyataan yang dijamin oleh janji ilahi bahwa Allah secara cuma-cuma akan melakukan atau menjadi sesuatu bagi orang-orang tertentu di Israel seketika itu juga dan bagi keturunan Yahudi nantinya yang hidup pada masa yang akan datang, sehingga Allah dengan demikian dapat melakukan atau menjadi sesuatu bagi semua umat manusia, bangsa dan alam semesta pada umumnya.[56] Perjanjian inilah yang diterima oleh bangsa Israel melalui Musa dan Daud. Perjanjian ini kemudian diteruskan melalui Kristus sebagai perwujudan keturunan Daud, yang diterima oleh setiap orang percaya (disebut Kristen) pada saat ini, sehingga keselamatan terjadi kepada seluruh dunia.
Seperti yang telah di bahas sebelumnya bahwa perjanjian yang Allah
buat memiliki tujuan untuk menjalin hubungan antara Allah dengan manusia. Oleh karena itu, adanya janji itu berdasarkan
keinginan Allah yang membuatnya. Allah
yang berinisiatif membuat perjanjian dengan manusia. Perjanjian adalah suatu janji sungguh-sungguh
yang diikat oleh sumpah, yang dapat merupakan ucapan lisan ataupun tindakan
simbolis.[57] Agar perjanjian itu tetap di dalam umat-Nya,
maka Allah mengutus nabi, dimana tugas utama nabi adalah reformasi atau
mengembalikan umat itu ke jalan yang benar, kepada hidup perjanjian dengan
Allah (Ul. 6: 4-25).[58] Nabi-nabi itu merupakan pengantara dalam
pelaksanaan perjanjian.[59] Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
tujuan perjanjian itu adalah terikatnya kembali hubungan antara Allah dengan
manusia dan seluruh ciptaan sebagaimana mulanya yang telah direncanakan Allah.
Kesimpulan
Berdasarkan apa yang telah
dijabarkan di atas maka dapat disimpulkan bahwa dosa adalah bertentangan dengan
rencana Allah. Dosa telah merusak gambar
dan rupa Allah di dalam diri manusia.
Dosa telah merusak hubungan Allah dengan manusia dan semua ciptaan
lainnya. Dosa menjadikan Allah terpisah
dengan manusia, dan manusia harus menerima murka Allah akibatnya yaitu,
kematian. Dalam hal ini kita melihat
keadilan Allah. Namun, sebaliknya Allah
mengadakan perjanjian dengan Nuh, Abraham, dan Daud untuk menebus umat manusia
melaluinya. Allah mengikatkan diri-Nya
kepada orang berdosa di dalam perjanjian agar hubungan itu kembali dipulihkan. Allah yang telah memulai perjanjian itu. Dalam hal ini kita belajar kemurahan, kasih
dan anugerah Allah yang tidak dibatasi oleh keberdosaan manusia. Melalui kasih-Nya di dalam perjanjian itu
memulihkan kembali hubungan Allah dengan manusia dan seluruh ciptaan. Dengan demikian perjanjian itu tercipta oleh
karena adanya dosa. Dosa diterima
manusia sebagai konsekuensi dari keadilan Allah akibat perbuatan manusia,
sementara perjanjia diterima manusia sebagai konsekuensi dari kemurahan, kasih
dan anugerah Allah. Jadi, Allah itu adil
dan penuh kemurahan serta belas kasihan.
Daftar
Pustaka
Baker, David L. Mari
Mengenal Perjanjian Lama. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1988.
Barth, Christoph dan
Frommel Barth. Teologi Perjanjian Lama 1. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2008.
Berkhof, Louis. Teologi
Sistematika: Doktrin Manusia. Jakarta:
Lembaga Reformed Injili, 1994.
Boice, James Montgomery. Dasar-Dasar
Iman Kristen. Surabaya: Momentum,
2011.
Conner, Kevin J. A
Practical Guide to Christian Belief. Malang:
Gandum Mas, 2004.
Dyrness, Willia. Tema-Tema
Teologi Perjanjian Lama. Malang:
Gandum Mas, 1992.
Erikson, Millard J. Teologi
Kristen cet. 2. Malang: Gandum Mas,
2003.
Fairchild, J. H. The
Nature of Sin,[artikel on-line] diambil dari https://www.galaxie.com/article/bsac025-97-03?highlight=meaning%20of%20sin;
Internet; diakses 14 Maret 2015.
Fairchild, J. H. The
Nature of Sin,[artikel on-line] diambil dari https://www.galaxie.com/article/bsac025-97-03?highlight=meaning%20of%20sin;
Internet; diakses 14 Maret 2015.
Fee, Gordon D. dan Douglas Stuart. Hermeneutik:
Bagaimana Menafsirkan Firman Tuhan dengan Tepat. Malang: Gandum Mas, 1989.
Hadiwijono, Harun. Iman Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012.
Hasel, Gerhard F. Teologi
Perjanjian Lama: Masalah-masalah Pokok dalam Perdebatan Saat Ini. Malang: Gandum Mas, 1992.
Hentz SJ, Otto. Pengharapan
Kristen. Yogyakarta: Kanisius, 2005.
Hill, Andrew E dan John H. Walton. Survei
Perjanjian Lama. Malang: Gandum Mas,
2013.
Hoekema, Anthony A. Manusia:
Ciptaan Menurut Gambar Allah. Surabaya:
Momentum, 2012.
Kaiser, Jr, Walter C. The
Christian and the "Old" Testament. California, USA: William Cany Library
Pasadena, 1998.
Kaiser, Walter C. Teologi
Perjanjian Lama. Malang: Gandum Mas,
2000.
Kaiser, Walter C. The Christian and the “old” Testament. California: William Carey Library, 1998.
Kaiser, Walter C. Ucapan
yang Sulit dalam Perjanjian Lama. Malang:
Seminari Alkitab Asia tenggara, 1998.
Lewis, C. S. Mere
Christianity [buku on-line] diambil dari https://books.google.co.id/books?id=OF-YSMKCVwMC&printsec=frontcover&dq=mere+christianity+cs+lewis&hl=id&sa=X&ei=ABf5VJHHOciLuASJ34DYDg&redir_esc=y#v=onepage&q=mere%20christianity%20cs%20lewis&f=false;
Internet; diakses 7 Maret 2015.
Ryrie, Charles C. Teologi
Dasar 1: Panduan Populer untuk Memahami Kebenaran Alkitab. Yogyakarta: Andi Offset, 2014.
Thiessen,Henry C. Teologi
Sistematika direvisi oleh Vernon D. Doerksen. Malang:Gandum Mas, 1992.
Wood, Leon J. The
Prophet of Israel: Nabi-Nabi Israel.
Malang: Gandum Mas, 2005.
Zuck,Roy B. A
Biblical Theology Of The Old Testament.
Malang: Gandum Mas, 2005.
[2] Charles C. Ryrie, Teologi Dasar 1: Panduan Populer untuk
Memahami Kebenaran Alkitab (Yogyakarta: Andi Offset, 2014), 203.
[4] ___________Ensiklopedia Alkitab Masa Kini Jilid 1 A-L (Jakarta: Yayasan
Komunikasi Bina Kasih, 1992), 256-57.
[5] Charles C. Ryrie, Teologi Dasar 1: Panduan Populer untuk
Memahami Kebenaran Alkitab (Yogyakarta: Andi Offset, 2014), 305.
[8] C. S. Lewis, Mere Christianity [buku on-line] diambil dari https://books.google.co.id/books?id=OF-YSMKCVwMC&printsec=frontcover&dq=mere+christianity+cs+lewis&hl=id&sa=X&ei=ABf5VJHHOciLuASJ34DYDg&redir_esc=y#v=onepage&q=mere%20christianity%20cs%20lewis&f=false;
Internet; diakses 7 Maret 2015.
[17] Henry C. Thiessen, Teologi Sistematika direvisi oleh Vernon
D. Doerksen (Malang:Gandum Mas, 1992), 276.
[20] J.
H. Fairchild, The Nature of Sin,[artikel
on-line] diambil dari https://www.galaxie.com/article/bsac025-97-03?highlight=meaning%20of%20sin;
Internet; diakses 14 Maret 2015.
[23] Ensikolpedia Alkitab Masa Kini
jilid 1 (A-L) (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1992), 257.
[26] Louis Berkhof, Teologi Sistematika: Doktrin Manusia (Jakarta:
Lembaga Reformed Injili, 1994), 95.
[32] Erickson., 225. Kefanaan semua manusia merupakan kenyataan
dan kebenaran yang jelas diajarkan dalam Alkitab. Kejahatan manusia mengakibatkan kefanaan itu
(Kej. 6:3; Rom. 5:12). Kematian rohaniah
merupakan pemisahan seluruh diri seseorang dari Allah. Allah yang kudus secara sempurna sama sekali
tidak dapat memandang dosa atau membiarkan kehadiraan dosa. Dengan demikian, dosa jelas merupakan
halangan dalam hubungan diantara Allag dengan manusia. Dosa menempatkan manusia dibawah penghakiman
dan kutukan ilahi. Sementara itu,
kematian kekal merupakan puncak dari kematian rohani. Kematian kekal adalah keterpisahan dengan
Allah secara kualitatif berbeda dari kematian jasmaniah dan bersifat kekal.
[33] Walter C. Kaiser, Ucapan yang Sulit dalam Perjanjian Lama
(Malang: Seminari Alkitab Asia tenggara, 1998), 21.
[34] J.
H. Fairchild, The Nature of Sin,[artikel
on-line] diambil dari https://www.galaxie.com/article/bsac025-97-03?highlight=meaning%20of%20sin;
Internet; diakses 14 Maret 2015.
[39] Anthony A. Hoekema, Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah
(Surabaya: Momentum, 2012), 152. Herman
Bavink sebagai penulis doktrin ini, berpendapat bahwa Adam maupun Kristus
adalah kepala-kepala kovenan dimana pesertanya adalah Allah dan Adam. Adam bukan hanya bapa dari umat manusia,
tetapi juga kepala dan wakil kita.
[43] Gerhard F. Hasel, Teologi Perjanjian Lama: Masalah-masalah
Pokok dalam Perdebatan Saat Ini (Malang: Gandum Mas, 1992), 124-25).
[47] Walter C. Kaiser, The Christian
and the “old” Testament (California: William Carey Library, 1998), 188.
[49] Christoph Barth dan Frommel Barth,
Teologi Perjanjian Lama 1 (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2008), 15.
[53] Walter C. Kaiser, Jr,The Christian and the "Old"
Testament (California, USA: William Cany Library Pasadena, 1998), 189. Ini seperti Boaz yang merupakan
kerabat, sanak seorang, yang pergi untuk menebus warisan almarhum relatif dan
karena itu mengambil alih tanah dan juga menikahi janda, Ruth.
[59] Gordon D. Fee dan Douglas Stuart, Hermeneutik: Bagaimana Menafsirkan Firman
Tuhan dengan Tepat (Malang: Gandum Mas, 1989), 175.
No comments:
Post a Comment
Jika anda Ingin Membantu pelayanan ini, silahkan kirimkan bantuan anda dengan menghubungi email charinmarbun@gmail.com. Jika anda diberkati silahkan Tuliskan dalam komentar. Jika ada pertanyaan dan permohonan Topik untuk dibahas, silahkan tuliskan dikolom komentar. Terimakasih sudah membaca, Tuhan Yesus memberkati selalu.