SOSIOLOGI DAN KEBUDAYAAN SUKU BATAK TOBA
Pendahuluan
            Kata sosiologi berasal dari kata Latin socius yang artinya teman, dan kata bahasa Yunani Logos yang berarti cerita, diungkapkan pertama kali dalam buku yang berjudul “ Cours De Philosophie Positive”  karangan August Comte (1798-1857).[1]  Sosiologi muncul sejak ratusan, bahkan ribuan tahun yang lalu.  Namun, sebagai ilmu yang mempelajari masyarakat, sosiologi baru lahir kemudian di Eropa sejak awal abad ke 19 dapat dikatakan sebagai pusat tumbuhnya peradaban dunia.[2]  Soejono Soekamto mengemukakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang memusatkan perhatiannya pada segi kemasyarakatan yang bersifat umum dan berusaha untuk mendapatkan pola-pola umum kehidupan masyarakat.[3]  Jauh sebelumnya Comte telah mendefinisikan sosiologi sebagai ilmu tentang masyarakat.[4]  Sosiologi berupaya memahami kehidupan bersama manusia, sejauh kehidupan itu dapat ditinjau atau diamati melalui metode empiris.  Jadi dalam sosiologi masyarakat dipandang sebagai unit dasar analisis, sedangkan varian lainnya seperti keluarga, politik, ekonomi, keagamaan, dan interaksinya merupakan sub analisis.  Fokus penelitian sosiologi adalah tingkah laku manusia dalam konteks sosial.[5]
            Berdasarkan pengertian mengenai sosiologi di atas, makalah ini akan membahas sosiologi dan kebudayaan suku Batak Toba.  Dalam makalah ini akan dijelaskan bagaimana latar belakang suku Batak Toba, pandangan hidup serta nilai-nilai yang dipegang oleh suku Batak Toba yang mempengaruhi tingkah laku mereka dan sistem kesatuan serta pemicu perpecahan suku Batak Toba.  Melalui makalah ini, penulis berharap akan memberikan pemahaman yang benar terhadap suku Batak Toba dan pandangan hidup mereka, sehingga pembaca dapat semakin mengenal suku Batak Toba dan dapat bersosialisasi dengan masyarakat Batak Toba dengan lebih baik.
Latar Belakang Suku Batak
            Suku Batak merupakan salah satu suku besar di Indoensia.  Suku Batak merupakan bagian dari enam sub suku, yakni: Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Pakpak, Batak Angkola dan Mandailing.  Keenam suku ini menempati daerah Induk masing-masing di daratan Provinsi Sumatera Utara.  Suku Batak Toba berdiam di Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Samosir, dan Kabupaten Humbang Hasundutan.  Keenam sub tersebut pada dasarnya memiliki bahasa dan tulisan yang berbeda-beda.  Perbedaan itu adalah dalam hal dialek, tulisan, istilah-istilah dan beberapa adat kebiasaan.[6]  Keturunan suku batak berasal dari Si Raja Batak yang merupakan keturunan dewata dan dari seorang ibu bernama Si Borudeakparudjar yang diperintahkan untuk menciptakan bumi oleh Ompu Mula Jadi Nabolon (dewa tertinggi suku Batak), dimana kemudian si Raja Batak juga memiliki dua orang anak laki-laki yaitu Guru Tateabulan dan Raja Isombaon.[7]
            Menurut legenda yang ada pada suku Batak Toba dimulai dari kisah Sariburaja yang menikahi adiknya sendiri yaitu Boru Pareme.  Keduanya merupakan anak dari Guru Teteabulan.[8]  Pada saat itu keduanya telah dianggap melanggar hukum adat Purba, maka adik-adik Boru Pareme dan Sariburaja mengusir mereka dan mereka melarikan diri ke Bamuaraja suatu tempat di pinggiran danau Toba.  Pada masa itu Boru Pareme dalam keadaan hamil yang kemudian ditinggalkan oleh Sariburaja.  Setelah itu ia melahirkan Lontung. Lontung kemudian berhubungan dengan ibu kandungnya dan melahirkan tujuh orang anak putera dan dua orang puteri.[9]  Ketujuh anak Raja Lontung tersebut yang kemudian diakui sebagai marga induk dari keturunan Batak Toba yaitu, Situmorang, Sinaga, Nainggolan, Simatupang, Aritonang, dan Siregar.[10]  Berdasarkan latar belakang sejarah inilah maka orang-orang Batak Toba dikenal sebagai bersaudara, sehingga kemanapun pergi dan merantau tali persaudaraan tetap terjaga.
Kepercayaan dan Pandangan Hidup Suku Batak Toba
            Yakub Tomatala mengatakan bahwa pola pikir menempati posisi penting dalam budaya seseorang karena berdasarkan hal itulah seseorang membentuk mindsetnya dalam menjalani kehidupannya.[11]  Hasil dari pola pikir akan menjadi cara manusia untuk melihat dirinya sendiri di dalam hubungannya dengan orang lain dan cara menilai semua orang dengan dirinya sendiri.[12]  Demikian juga dengan suku Batak Toba.  Suku ini membangun pandangan hidupnya berdasarkan budaya yang telah ditanamkan sejak dari zaman nenek moyang suku Batak.  Bagi suku Batak Toba hal terpenting adalah hamoraon (kekayaan), hagabeon (memiliki keturunan) dan Hasangapon (kehormatan).[13]  Ketiga hal inilah yang menjadi nilai dan pandangan hidup orang batak.  Berdasarkan ketiga hal inilah orang Batak Toba menjalani nilai-nilai hidupnya kemanapun mereka pergi merantau.  Oleh karena itu, kebiasaan orang Batak Toba jika mereka belum mendapatkan ketiga hal ini mereka akan malu untuk pulang dari perantauan.  Dan oleh karena nilai ini jugalah setiap orang tua dari suku Batak Toba menyekolahkan anaknya setinggi-tingginya untuk mendapatkan hasangapon.
            Kekayaan bagi suku Batak adalah harta milik berupa materi maupun non-materi yang diperoleh melalui usaha maupun warisan.  Namun, keturunan juga selalu diartikan sebagai kekayaan.  Sementara kehormatan merupakan pengakuan terhadap martabat seseorang,jabatan dan kekuasaan yang diemban.[14]  Namun ketiga hal ini adalah satu kesatuan nilai yang tidak dapat dipisahkan.  Suku Batak Toba meyakini bahwa ketiga hal inilah yang mendasari hubungan sosial mereka agar mendapatkan penghargaan dimana pun mereka berada.  Bagi orang Batak Toba hamoraon tanpa hagabeon tidak akan mendapatkan hasangapon.  Demikian juga halnya dengan  hagabeon tanpa hamoraon tidak akan mendapat hasangapon.  Bagi orang Batak Toba kemiskinan (tanpa hamoraon) adalah kutuk atau dosa.  Demikian juga halnya dengan keturunan (tanpa hagabeon) adalah dosa atau kena kutuk.  Oleh karena itu, bagi orang Batak Toba jika tidak punya anak adalah sesuatu yang memalukan dan tersingkirkan dari adat.  Demikian juga halnya jika tidak mempunyai harta maka akan lebih tersingkirkan juga.  Akan tetapi jika memiliki hasangapon (kehormatan) biasanya mereka juga memiliki hamoraon (kekayaan).  Namun tanpa hagabeon keduanya bagi orang batak tidak ada gunanya juga.
            Dalam hal kepercayaan pada awalnya orang Batak Toba menyembah Ompu Mula Jadi Nabolon.[15]  Agama Orang Batak Toba pada mulanya disebut Parmalim.[16]  Namun setelah kekristenan masuk ke daerah Tapanuli Utara yang dibawakan oleh Ev. Nomennsen mayoritas suku Batak Toba adalah kristen.  Gereja tempat orang Batak Toba bernaung adalah Huria Kristen Batak Protestan (HKBP).  Hanya orang Batak Toba yang beribadah di gereja ini, kecuali orang Batak Toba menikahi suku lain.
Sistem Kesatuan
            Interaksi sosial pada orang Batak Toba sangat ditentukan oleh ikatan-ikatan kesukuan dan kebudayaannya.  Marga merupakan dasar untuk menentukan partuturon,[17] hubungan persaudaraan, baik untuk kalangan semarga maupun orang-orang dari marga lain. Orang Batak biasanya mengkonsepsi marga dengan makna satu asal atau satu kelompok keturunan.  Dalam kekerabatan orang Batak Toba dikenal sebagai Dalihan Na ToluDalihan Na Tolu merupakan hubungan kekerabatan yang terdekat.  Dalihan Na Tolu  terdiri dari tiga kelompok yaitu Hula-Hula, Dongan Sabutuha (Dongan Tubu) dan Boru.[18]  Dalam hubungan nya dengan Dalihan Na Tolu orang Batak Toba memegang erat nilai kekerabatan ini yang sering disebut dengan istilah Sombah Marhula-hula (Sembah atau hormat kepada hula-hula) , Manat Mardongan Tubu (Hati-hati dengan Dongan Tubu) dan Elek Marboru (Membujuk, lemah lembut kepada Boru).  Semboyan inilah yang tetap dipegang teguh oleh orang Batak Toba dan mempersatukan terlebih di dalam upacara-upacara adat.  Oleh karena itu semua orang Batak Toba diharuskan mengerti dan tahu partuturannya. 
Dalam kehidupan masyarakat Batak Toba Marga menentukan kedudukan sosial seseorang dan kedudukan sosial orang lain di dalam jaringan hubungan sosial adat maupun di dalam hubungannya dengan kehidupan sehari-hari. Lebih dari itu, bagi orang Batak Toba marga adalah identitas sosial.  Marga bermakna adat jika di kalangan orang Batak dan bermakna suku jika berhubungan dengan suku bangsa lainnya.  Oleh karena itu, meskipun orang Batak Toba hidup terpencar di banyak tempat, Marga tetap berfungsi adat untuk intern mereka.  Ikatan perasaan kesukuan ini akan nampak lebih akrab dan kuat ketika berada di luar tanah Batak Toba.  Prinsip  hubungan marga inilah yang membuat dimensi hubungan sosial sesama orang Batak Toba akan berlangsung dengan akrab dann penuh kekeluargaan meskipun diantara mereka belum pernah berkenalan sebelumnya. 
Bagi orang Batak Toba marga merupakan identitas sosial dan budayanya.  Oleh karena itu setiap orang yang menikah/menikahi orang Batak Toba akan diberikan marga.  Marga berbau adat jika dikalangan orang Batak Toba dan berbau suku jika berhubungan sosial dengan suku-suku lainnya.  Jadi meskipun orang Batak Toba tidak lagi tinggal di kampung halamannya, namun mereka masih memakai marga di belakang namanya.  Karena pemakaian marga ini, perasaan persaudaraan, semarga seketurunan dan satu nenek moyang muncul dengan sendirinya.  Manifestasinya muncul di dalam hubungan sosial sehari-hari..[19]
Sumber-sumber Konflik
            Yang dimaksud dengan konflik adalah keadaan anggota masyarakat yang saling bertikai, bertentangan, dan bersaing dengan keinginan untuk saling menyingkirkan, menjatuhkan, menagalahkan, hingga memusnahkan, walaupun harus menggunakan kekerasan untuk mewujudkan keinginan tersebut.[20]  Hal pertama di dalam masyarakat Batak Toba konflik biasanya muncul akibat perbedaan agama.  Perbedaan agama dan keyakinan pada tataran empiris ternyata berdampak pada pandangan orang Batak Toba tentang halak kita (orang kita).  Orang Batak Toba yang mayoritas kristen baik katolik maupun protestan akan menyingkirkan orang Batak yang beragama islam.  Di lingkungan Batak Toba semua dipenuhi oleh orang kristen.  Jika ada diantara keluarga yang berpindah keyakinan kepada agama lain biasanya akan diusir dari desa tersebut dan akan dikucilkan dari masyarakat.  Oleh karena itu di daerah Sumatera Utara sendiri perbedaan ini sangat jelas, misalnya saja biasanya orang Batak Mandailing dan Angkola yang mayoritas beragama muslim tinggal di daerah Tapanuli Selatan (Padang Sidempuan) sementara yang beragama kristen yaitu Batak Toba tinggal di daerah Tapanuli Utara (Tarutung).  Fakta ini tentu saja bertentangan dengan pandangan budaya Batak Toba yang memposisikan adat dan budaya di atas perbedaan agama dan keyakinan.  Di perantauan meskipun hidup berdampingan wilayah maupun bertetangga, biasanya tidak akan akrab seperti sesama agama.  Individu Batak Toba Kristen cenderung lebih berani menghadapi konflik dan tidak menghindarinya.  Orang-orang Batak Toba Kristen dipandang sebagai orang-orang yang cukup berani dan tidak merasa takut dibanding dengan orang Batak lainnya.
            Soerjono Soekanto mengatakan bahwa taraf kemakmuran suatu masyarakat sangat tergantung pada keadaan alam dimana masyarakat hidup.[21]  Bertitik tolak pada asumsi bahwa tipe organisasi sosial ditentukan oleh faktor tempat, timbul teori bahwa keluarga-keluarga patrilinear timbul di daerah stepa.  Keluarga-keluarga demikian sifatnya otoriter, tidak demokratis dan konservatif.[22]  Pada tipe keluarga seperti inilah tumbuh akar-akar demokrasi dan kebebasan.  Orang Batak Toba yang didominasi oleh alam pegunungan dan perbukitan menjadikan mereka orang pekerja keras, dimana hal ini juga didorong oleh falsafah hidup yang dipegang hamoraon, hagabeon dan hasangapon.  Hal kedua yang menjadi sumber konflik bagi orang Batak Toba adalah masalah tanah, baik itu tanah warisan ataupun tanah yng diperuntukkan bagi fasilitas umum.  Bagi orang Batak Toba semua tanah yang ada adalah tanah warisan dari nenek moyang.  Memiliki banyak tanah dan mempertahankannya adalah satu hal yang penting yang termasuk dalam hamoraon dan hasangapon.  Oleh karena itu, bagi orang Batak Toba sangat pantang untuk menjual tanah.  Akan tetapi pengembangan pemerintah untuk pembangunan sering melakukan pembebasan lahan sehingga menimbulkan konflik antara masyarakat Batak Toba dengan pemerintah karena harus mengorbankan tanah leluhur.  Selain itu, orang Batak Toba yang sudah merantau juga sering menjual warisannya kepada orang lain sehingga menimbulkan konflik bagi keluarga dan bahkan bagi masyarakat setempat.
            Hal ketiga yang menjadi sumber konflik bagi orang Batak Toba adalah masalah adat istiadat intern.  Hal inilah yang paling sering terjadi dilungkungan masyarakat Batak Toba.  Setiap kegiatan yang dilakukan orang Batak Toba memiliki upacara adat masing-masing yang rumit dan sangat mahal.  Mulai dari, kelahiran seorang anak, pembaptisan anak, naik SIDI, menikah, membangun rumah, memasuki rumah baru, meninggal, menggali tulang-tulang orang yang sudah meninggal dan lainnya semua memiliki upacara adat masing-masing.  Di dalam setiap upacara adat ini sering menjadi konflik.  Hal ini dikarenakan tidak semua orang Batak Toba memiliki pemahaman dan pengertian yang sama tentang upacara-upacara adat tersebut disamping biayanya yang juga sangat mahal.  Sementara itu jika tidak melakukan upacara-upacara adat tersebut, maka akan dikucilkan dari masyarakat Batak Toba dan tidak boleh mengikuti upacara-upacara adat dan disebut Na so maradat (orang yang tidak beradat).
Perubahan Nilai dan Kebudayaan
            Nilai budaya merupakan nilai yang dikandung oleh sebuah kebudayaan dan unsur-unsur yang membedakannya dari kebudayaan lain.  Nilai budaya merupakan tingkat tertinggi dan abstrak dari adat istiadat serta memberikan ciri dan karakter bangsa, suku bangsa, bahkan kelompok-kelompok masyarakat.  Dengan demikian ada perbedaan nilai dan sistem buadaya dalam setiap kebudayaan.  Nilai budaya tersebut meresapi hidup anggota masyarakat sejak dini sehingga mengakar di dalam jiwa.  Karenanya nilai budaya yang terdapat dalam suatu kebudayaan tidak dapat diganti begitu saja dalam waktu singkat dengan nilai budaya lain walaupun dengan dalih rasionalitas.[23]  Akan tetapi masyarakat dan kebudayaan di mana pun selalu dalam keadaan berubah, sekalipun masyarakat dan kebudayaan primitif yang terisolasi jauh dari berbagai masyarakat lainnya.[24]  Ada tiga hal yang menyebabkan terjadinya perubahan kebudayaan yaitu terjadinya perubahan jumlah dan komposisi penduduk, perubahan lingkungan alam dan fisik tempat mereka hidup, adanya difusi kebudayaan penemuan-penemuan baru, khususnya teknologi dan inovasi.[25]
            Demikian juga halnya dengan masyarakat Batak Toba, seiring berjalannya waktu mengalami perubahan nilai dalam kebudayaannya.  Orang Batak Toba dewasa ini berada pada situasi budaya-kenyataan (real-culture) yaitu kenyataan sosial budaya orang Batak Toba yang exist dewasa ini di wilayah pedesaan atau bona pasogit dan wilayah perantauan atau perkotaan.[26]  Kenyataan sosial budaya tersebut berhadapan dengan keindahan-keindahan budaya yang ditampilkan sebagai lambang-lambang identitas yang mengandung essensi keinginan, harapan atau idealisme yang diwarisi dari nenek moyang.  Perubahan-perubahan itu antara lain adalah pertama, anak-anak Batak Toba dewasa ini hampir tidak bisa lagi berbahasa Batak Toba, terutama anak-anak yang lahir di kota-kota.  Kedua, orang dewasa Batak Toba yang sekarang sudah hampir tidak tahu lagi menuliskan tulisan Batak Toba.  Ketiga, ibu-ibu dan bapak sudah sering kedengaran berbahasa Indonesia sesama mereka dan tidak berbahasa Batak, walaupun di rumah kepada anak-anaknya mereka sudah cenderung berbahasa Indonesia.  Rapat-rapat lembaga agama Batak Toba juga sudah kebanyakan berbahasa Indonesia walau nama gerejanya jelas-jelas gereja Batak (HKBP), karena pengaruh perubahan dan kebutuhan,, tata ibdahpun sudah ditampilkan dalam Bahasa Indonesia untuk kebutuhan kaum muda, jadi tidak lagi hanya bahasa Batak.  Penganut sitem perkawinan pariban sudah semakin sedikit, sistem perkawinan yang berkembang saat ini adalah perkawinan lintas marga, lintas budaya, lintas suku, lintas bangsa, lintas denominasi, bahkan juga lintas agama.  Semua situasi dan kondisi itu adalah perubahan yang dialami orang Batak Toba.  Perubahan ini terjadi disebabkan pengaruh segala bentuk intervensi dari luar yaitu ilmu pengetahuan, teknologi, komunikasi, politik, ekonomi, mobilitas pembangunan dan budaya asing, serta juga disebabkan innovasi yang berkembang di kalangan orang Batak Toba sendiri.  Pengaruh budaya tersebut datang dari dalam masyarakat lokal, regional, maupun internasional terutama disebabkan oleh orang Batak Toba yang lebih suka merantau dan menyekolahkan anaknya di luar kampung halamannya.  Masyarakat Batak Toba tidak dapat menghindar karena mereka berinter-relasi dan berinteraksi dengan berbagai budaya, bangsa maupun dengan kemajuan zaman.  Bahkan bukan tidak mungkin budaya Batak Toba akan terhilang. 
Prediksi 10 Tahun Mendatang
            Jika kita melihat sepuluh tahun mendatang berdasarkan semua penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat Batak Toba adalah kelompok masyarakat yang terbuka dengan perkembangan dan kemajuan zaman.  Pada masa ini masyarakat Batak Toba sedang berada di proses perubahan-perubahan.  Masyarakat Batak Toba adalah kelompok masyarakat yang suka merantau dan menganggap bahwa perantauan sebagai perluasan dari kampung halamannya.  Oleh karena itu orang Batak Toba jika sudah berhasil diperantauan jarang yang mau kembali ke kampung halamannya karena sudah menganggap perantauan sebagai kampung halamannya.  Jika kita melihat kampung halaman orang Batak Toba disana hanya ditempati oleh orang tua dan anak paling bungsu karena semua anak biasanya merantau.  Oleh karena itu untuk menjangkau orang Batak Toba, strategi yang paling cocok adalah melalui jalur pendidikan.  Jika kita ingin menjangkau mereka, maka kita bisa membuka sekolah, TK, SD, SMP, SMA bahkan Perguruan Tinggi.  Masyarakat Batak Toba sangat terbuka dengan jalur pendidikan.  Selain itu pelayanan melalui jalur ekonomi juga sangat baik untuk dilakukan.  Karena salah satu falsafah mereka adalah hamoraon oleh karena itu pelayanan melalui perekonomian juga sangat mendukung untuk menjangkau masyarakat Batak Toba.  Hal ini dapat dilakukan dengan membuka koperasi bagi petani, menciptakan lapangan kerja dan lain sebagainya.

Daftar Pustaka
Sumber Buku-buku
Basrowi, H. Muhammad dan Soenyono, Memahami Sosiologi . Surabaya: Lutfansah Mediatama, 2004.
Hesselgrave, David J.  Communicating Christ Cross Culturally.  Grand Rapids, Michigan: Zonderva Publishing House, 1978.
Rajamarpondang,Gultom.   Dalihan Na Tolu Nilai Budaya Suku Batak.  Medan: CV. Armanda, 1992.
Setiadi, Elly M. dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi: Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial:Teori, Aplikasi dan Pemecahannya.  Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011.
Simanjuntak ,Bungaran Antonius.  Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba Hingga 1945: Suatu Pendekatan Sejarah, Antropologi Budaya Politik.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006.
Simanjuntak, Bungaran Anthonius.  Konflik Status dan Kekudusan Orang Batak Toba (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2002), 1.
Situmorang, Sitor.  Toba Na Sae.  Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993.
Soekamto, Soerjono.  Sosiologi Suatu Pengantar, edisi kedua.  Jakarta: CV Rajawali, 1986.
Tomatala, Yakub.  Pengantar Teologi Kontekstualisasi.  Malang: Gandum Mas, 1993.
Vegouwe,J. C.  Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba.  Yogayakarta: Lkis, 1986.
Sumber-Internet
Parmalim [artikel on-line] diambil dari http://artikel.okeschool.com/artikel/kepercayaan/810/agama-parmalim--sumatera-utara-.html; diakses 7 Juli 2015.
Ritonga,Sakti.  Orientasi Nilai Budaya Dan Potensi Konflik Sosial Batak Toba Muslim Dan Kristen Di Sumatera Utara (Studi Kasus Gajah Sakti Kabupaten Asahan). [artikel on-line] di ambil dari http://ejournal.iainradenintan.ac.id/index.php/analisis/article/download/5/3; internet; Diakses 2 Juni 2015
Simanjuntak, Bungaran Antonius.  Lestarikan Batakku [artikel on-line] diambil dari https://tanobatak.wordpress.com/2007/11/08/lestarikan-batakku/; diakses 7 Juli 2015.



[1] Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi: Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial:Teori, Aplikasi dan Pemecahannya(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), 2.
[2] Ibid.
[3] Soerjono Soekamto, Sosiologi Suatu Pengantar, edisi kedua (Jakarta: CV Rajawali, 1986), 15.
[4] H. Muhammad Basrowi dan Soenyono, Memahami Sosiologi (Surabaya: Lutfansah Mediatama, 2004), 11.
[5] Ibid.
[6] Bungaran Anthonius Simanjuntak, Konflik Status dan Kekudusan Orang Batak Toba (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2002), 1.
[7] J. C. Vegouwe, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba (Yogayakarta: Lkis, 1986), 7.
[8] Vergouwen, 1.
[9] Vergoumen., 7
[10] Situmorang., 11.
[11] Yakub Tomatala, Pengantar Teologi Kontekstualisasi (Malang: Gandum Mas, 1993), 62.
[12] David J. Hesselgrave, Communicating Christ Cross Culturally (Grand Rapids, Michigan: Zonderva Publishing House, 1978), 126.
[13] Sitor Situmorang, Toba Na Sae (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), 165.
[14] Ibid.
[15] Ompu Mula Jadi Nabolon dipercaya adalah Pencipta Agung atau pencipta maha besar pra-Kristiani, yang dipercayai oleh Suku Batak Toba sebagai pencipta langit dan bumi serta segala isinya.
[16] Istilah Parmalim merujuk kepada penganut agama Malim. Agama Malim yang dalam bahasa Batak disebut Ugamo Malim adalah bentuk moderen agama asli suku Batak. Agama asli Batak tidak memiliki nama sendiri, tetapi pada penghujung abad kesembilan belas muncul sebuah gerakan anti kolonial. Pemimpin utama mereka adalah Guru Somalaing Pardede. Agama Malim pada hakikatnya merupakan agama asli Batak, namun terdapat pengaruh agama Kristen, terutama Katolik, dan juga pengaruh agama Islam.  Agama ini tidak mengenal Surga atau sejenisnya,sepeti agama umumnya, selain Debata Mula jadi Na Bolon (Tuhan YME) dan Arwah-arwah leluhur, belum ada ajaran yang pasti reward atau punisnhment atas perbuatan baik atau jahat, selain mendapat berkat atau dikutuk menjadi miskin dan tidak punya turunan. Tujuan upacara agama ini memohon berkat Sumangot dari Debata Mula jadi Na bolon (Tuhan YME), dari Arwah-arwah leluhur, juga dari Tokoh-tokoh adat atau kerabat-kerabat adat yang dihormati, seperti Kaum Hula-hula (dari sesamanya). Agama ini lebih condong ke paham Animisme. Agama ini bersifat tertutup, masih hanya untuk suku Batak, karena upacara ritualnya memakai bahasa Batak, dan setiap orang harus punya marga, tidak beda dengan agama-agama suku-suku animisme dibelahan bumi lainnya, sifatnya tidak universal. (Lihat [artikel on-line] diambil dari http://artikel.okeschool.com/artikel/kepercayaan/810/agama-parmalim--sumatera-utara-.html; diakses 7 Juli 2015.
[17] Partuturon adalah sistem urutan marga dari nenek moyang orang batak hingga masa kini.  Melalui ini maka orang batak akan saling mengenal apakah mereka masih kerabat dekat atau jauh.  Dan melalui partuturon maka orang Batak akan semakin dekat.
[18] Gultom Rajamarpondang, Dalihan Na Tolu Nilai Budaya Suku Batak (Medan: CV. Armanda, 1992), 377.  Hula-hula adalah keluarga paman dari setiap orang Batak Toba, sedangkan Dongan Tubu adalah kelompok satu marga yang sama dan satu turunan, misalnya Marbun semua yaitu Banjarnahor, Lumban Batu, dan Lumban Gaol adalah dongan sabutuha, sama Hutauruk, Manungkalit dan Sibagariang adalah dongan Sabutuha.  Sementara Boru adalah semua anak purtri.  Misalnya jika saya (Marga Marbun) menikahi Boru manurung maka di dalam pesta Marga Manurung saya dan istri saya akan disebut Boru, Tetapi di dalam pesta Marga Marbun yang lain saya akan disebut Dongan Tubu atau dongan Sabutuha (teman satu perut).  Sementara jika saya yang mengadakan pesta maka semua Marga Manurung akan disebut Hula-hula.
[19] Sakti Ritonga, Orientasi Nilai Budaya Dan Potensi Konflik Sosial Batak Toba Muslim Dan Kristen Di Sumatera Utara (Studi Kasus Gajah Sakti Kabupaten Asahan). [artikel on-line] di ambil dari http://ejournal.iainradenintan.ac.id/index.php/analisis/article/download/5/3; internet; Diakses 2 Juni 2015.
[20] Setiadi dan Kolip., 34.
[21] Soekanto., 33.
[22] Ibid.
[23] Bungaran Antonius Simanjuntak, Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba Hingga 1945: Suatu Pendekatan Sejarah, Antropologi Budaya Politik (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), 162-63.
[24] Basrowi dan Soenyono., 105.
[25] Ibid., 106.
[26] Bungaran Antonius Simanjuntak, Lestarikan Batakku [artikel on-line] diambil dari https://tanobatak.wordpress.com/2007/11/08/lestarikan-batakku/; diakses 7 Juli 2015.

1 comment:

  1. Mauliate ma, nungga dibagihon hamu be sejarah ni marga batakkaon.

    ReplyDelete

Jika anda Ingin Membantu pelayanan ini, silahkan kirimkan bantuan anda dengan menghubungi email charinmarbun@gmail.com. Jika anda diberkati silahkan Tuliskan dalam komentar. Jika ada pertanyaan dan permohonan Topik untuk dibahas, silahkan tuliskan dikolom komentar. Terimakasih sudah membaca, Tuhan Yesus memberkati selalu.