SOSIOLOGI DAN
KEBUDAYAAN SUKU BATAK TOBA
Pendahuluan
Kata
sosiologi berasal dari kata Latin socius
yang artinya teman, dan kata bahasa Yunani Logos
yang berarti cerita, diungkapkan pertama kali dalam buku yang berjudul “ Cours De Philosophie Positive” karangan August Comte (1798-1857).[1] Sosiologi muncul sejak ratusan, bahkan ribuan
tahun yang lalu. Namun, sebagai ilmu
yang mempelajari masyarakat, sosiologi baru lahir kemudian di Eropa sejak awal
abad ke 19 dapat dikatakan sebagai pusat tumbuhnya peradaban dunia.[2] Soejono Soekamto mengemukakan bahwa sosiologi
adalah ilmu yang memusatkan perhatiannya pada segi kemasyarakatan yang bersifat
umum dan berusaha untuk mendapatkan pola-pola umum kehidupan masyarakat.[3] Jauh sebelumnya Comte telah mendefinisikan
sosiologi sebagai ilmu tentang masyarakat.[4] Sosiologi berupaya memahami kehidupan bersama
manusia, sejauh kehidupan itu dapat ditinjau atau diamati melalui metode
empiris. Jadi dalam sosiologi masyarakat
dipandang sebagai unit dasar analisis, sedangkan varian lainnya seperti
keluarga, politik, ekonomi, keagamaan, dan interaksinya merupakan sub
analisis. Fokus penelitian sosiologi
adalah tingkah laku manusia dalam konteks sosial.[5]
Berdasarkan
pengertian mengenai sosiologi di atas, makalah ini akan membahas sosiologi dan
kebudayaan suku Batak Toba. Dalam
makalah ini akan dijelaskan bagaimana latar belakang suku Batak Toba, pandangan
hidup serta nilai-nilai yang dipegang oleh suku Batak Toba yang mempengaruhi
tingkah laku mereka dan sistem kesatuan serta pemicu perpecahan suku Batak
Toba. Melalui makalah ini, penulis
berharap akan memberikan pemahaman yang benar terhadap suku Batak Toba dan
pandangan hidup mereka, sehingga pembaca dapat semakin mengenal suku Batak Toba
dan dapat bersosialisasi dengan masyarakat Batak Toba dengan lebih baik.
Latar Belakang Suku Batak
Suku
Batak merupakan salah satu suku besar di Indoensia. Suku Batak merupakan bagian dari enam sub
suku, yakni: Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Pakpak, Batak
Angkola dan Mandailing. Keenam suku ini
menempati daerah Induk masing-masing di daratan Provinsi Sumatera Utara. Suku Batak Toba berdiam di Kabupaten Tapanuli
Utara, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Samosir, dan Kabupaten Humbang
Hasundutan. Keenam sub tersebut pada
dasarnya memiliki bahasa dan tulisan yang berbeda-beda. Perbedaan itu adalah dalam hal dialek,
tulisan, istilah-istilah dan beberapa adat kebiasaan.[6] Keturunan suku batak berasal dari Si Raja
Batak yang merupakan keturunan dewata dan dari seorang ibu bernama Si Borudeakparudjar yang diperintahkan
untuk menciptakan bumi oleh Ompu Mula
Jadi Nabolon (dewa tertinggi suku Batak), dimana kemudian si Raja Batak
juga memiliki dua orang anak laki-laki yaitu Guru Tateabulan dan Raja Isombaon.[7]
Menurut
legenda yang ada pada suku Batak Toba dimulai dari kisah Sariburaja yang menikahi
adiknya sendiri yaitu Boru Pareme.
Keduanya merupakan anak dari Guru Teteabulan.[8] Pada saat itu keduanya telah dianggap melanggar
hukum adat Purba, maka adik-adik Boru Pareme dan Sariburaja mengusir mereka dan
mereka melarikan diri ke Bamuaraja
suatu tempat di pinggiran danau Toba.
Pada masa itu Boru Pareme
dalam keadaan hamil yang kemudian ditinggalkan oleh Sariburaja. Setelah itu ia
melahirkan Lontung. Lontung kemudian
berhubungan dengan ibu kandungnya dan melahirkan tujuh orang anak putera dan
dua orang puteri.[9] Ketujuh anak Raja Lontung tersebut yang
kemudian diakui sebagai marga induk dari keturunan Batak Toba yaitu,
Situmorang, Sinaga, Nainggolan, Simatupang, Aritonang, dan Siregar.[10] Berdasarkan latar belakang sejarah inilah
maka orang-orang Batak Toba dikenal sebagai bersaudara, sehingga kemanapun
pergi dan merantau tali persaudaraan tetap terjaga.
Kepercayaan dan Pandangan Hidup Suku Batak Toba
Yakub
Tomatala mengatakan bahwa pola pikir menempati posisi penting dalam budaya
seseorang karena berdasarkan hal itulah seseorang membentuk mindsetnya dalam menjalani kehidupannya.[11] Hasil dari pola pikir akan menjadi cara
manusia untuk melihat dirinya sendiri di dalam hubungannya dengan orang lain
dan cara menilai semua orang dengan dirinya sendiri.[12] Demikian juga dengan suku Batak Toba. Suku ini membangun pandangan hidupnya
berdasarkan budaya yang telah ditanamkan sejak dari zaman nenek moyang suku
Batak. Bagi suku Batak Toba hal
terpenting adalah hamoraon
(kekayaan), hagabeon (memiliki
keturunan) dan Hasangapon (kehormatan).[13] Ketiga hal inilah yang menjadi nilai dan
pandangan hidup orang batak. Berdasarkan
ketiga hal inilah orang Batak Toba menjalani nilai-nilai hidupnya kemanapun
mereka pergi merantau. Oleh karena itu,
kebiasaan orang Batak Toba jika mereka belum mendapatkan ketiga hal ini mereka
akan malu untuk pulang dari perantauan.
Dan oleh karena nilai ini jugalah setiap orang tua dari suku Batak Toba
menyekolahkan anaknya setinggi-tingginya untuk mendapatkan hasangapon.
Kekayaan
bagi suku Batak adalah harta milik berupa materi maupun non-materi yang
diperoleh melalui usaha maupun warisan.
Namun, keturunan juga selalu diartikan sebagai kekayaan. Sementara kehormatan merupakan pengakuan
terhadap martabat seseorang,jabatan dan kekuasaan yang diemban.[14] Namun ketiga hal ini adalah satu kesatuan
nilai yang tidak dapat dipisahkan. Suku
Batak Toba meyakini bahwa ketiga hal inilah yang mendasari hubungan sosial
mereka agar mendapatkan penghargaan dimana pun mereka berada. Bagi orang Batak Toba hamoraon tanpa hagabeon
tidak akan mendapatkan hasangapon. Demikian juga halnya dengan hagabeon tanpa hamoraon tidak akan mendapat hasangapon. Bagi orang Batak Toba kemiskinan (tanpa hamoraon) adalah kutuk atau dosa. Demikian juga halnya dengan keturunan (tanpa hagabeon) adalah dosa atau kena
kutuk. Oleh karena itu, bagi orang Batak
Toba jika tidak punya anak adalah sesuatu yang memalukan dan tersingkirkan dari
adat. Demikian juga halnya jika tidak
mempunyai harta maka akan lebih tersingkirkan juga. Akan tetapi jika memiliki hasangapon (kehormatan) biasanya mereka
juga memiliki hamoraon (kekayaan). Namun tanpa hagabeon keduanya bagi orang batak tidak ada gunanya juga.
Dalam hal kepercayaan pada awalnya
orang Batak Toba menyembah Ompu Mula Jadi
Nabolon.[15] Agama Orang Batak Toba pada mulanya disebut Parmalim.[16] Namun setelah kekristenan masuk ke daerah
Tapanuli Utara yang dibawakan oleh Ev. Nomennsen mayoritas suku Batak Toba
adalah kristen. Gereja tempat orang
Batak Toba bernaung adalah Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Hanya orang Batak Toba yang beribadah di
gereja ini, kecuali orang Batak Toba menikahi suku lain.
Sistem Kesatuan
Interaksi
sosial pada orang Batak Toba sangat ditentukan oleh ikatan-ikatan kesukuan dan
kebudayaannya. Marga merupakan dasar
untuk menentukan partuturon,[17]
hubungan persaudaraan, baik untuk kalangan semarga maupun orang-orang dari
marga lain. Orang Batak biasanya mengkonsepsi marga dengan makna satu asal atau
satu kelompok keturunan. Dalam
kekerabatan orang Batak Toba dikenal sebagai Dalihan Na Tolu. Dalihan Na Tolu merupakan hubungan
kekerabatan yang terdekat. Dalihan Na Tolu terdiri dari tiga kelompok yaitu Hula-Hula, Dongan Sabutuha (Dongan Tubu) dan
Boru.[18] Dalam hubungan nya dengan Dalihan Na Tolu orang Batak Toba
memegang erat nilai kekerabatan ini yang sering disebut dengan istilah Sombah Marhula-hula (Sembah atau hormat
kepada hula-hula) , Manat Mardongan Tubu (Hati-hati dengan Dongan Tubu) dan Elek Marboru (Membujuk, lemah lembut kepada Boru). Semboyan inilah yang
tetap dipegang teguh oleh orang Batak Toba dan mempersatukan terlebih di dalam
upacara-upacara adat. Oleh karena itu
semua orang Batak Toba diharuskan mengerti dan tahu partuturannya.
Dalam kehidupan
masyarakat Batak Toba Marga menentukan kedudukan sosial seseorang dan kedudukan
sosial orang lain di dalam jaringan hubungan sosial adat maupun di dalam
hubungannya dengan kehidupan sehari-hari. Lebih dari itu, bagi orang Batak Toba
marga adalah identitas sosial. Marga
bermakna adat jika di kalangan orang Batak dan bermakna suku jika berhubungan
dengan suku bangsa lainnya. Oleh karena
itu, meskipun orang Batak Toba hidup terpencar di banyak tempat, Marga tetap
berfungsi adat untuk intern mereka. Ikatan
perasaan kesukuan ini akan nampak lebih akrab dan kuat ketika berada di luar
tanah Batak Toba. Prinsip hubungan
marga inilah yang membuat dimensi hubungan sosial sesama orang Batak Toba akan
berlangsung dengan akrab dann penuh kekeluargaan meskipun diantara mereka belum
pernah berkenalan sebelumnya.
Bagi orang Batak Toba
marga merupakan identitas sosial dan budayanya.
Oleh karena itu setiap orang yang menikah/menikahi orang Batak Toba akan
diberikan marga. Marga berbau adat jika
dikalangan orang Batak Toba dan berbau suku jika berhubungan sosial dengan
suku-suku lainnya. Jadi meskipun orang
Batak Toba tidak lagi tinggal di kampung halamannya, namun mereka masih memakai
marga di belakang namanya. Karena
pemakaian marga ini, perasaan persaudaraan, semarga seketurunan dan satu nenek
moyang muncul dengan sendirinya.
Manifestasinya muncul di dalam hubungan sosial sehari-hari..[19]
Sumber-sumber
Konflik
Yang
dimaksud dengan konflik adalah keadaan anggota masyarakat yang saling bertikai,
bertentangan, dan bersaing dengan keinginan untuk saling menyingkirkan,
menjatuhkan, menagalahkan, hingga memusnahkan, walaupun harus menggunakan
kekerasan untuk mewujudkan keinginan tersebut.[20] Hal pertama di dalam masyarakat Batak Toba
konflik biasanya muncul akibat perbedaan agama.
Perbedaan agama dan keyakinan pada tataran empiris ternyata berdampak
pada pandangan orang Batak Toba tentang halak
kita (orang kita). Orang Batak Toba
yang mayoritas kristen baik katolik maupun protestan akan menyingkirkan orang
Batak yang beragama islam. Di lingkungan
Batak Toba semua dipenuhi oleh orang kristen.
Jika ada diantara keluarga yang berpindah keyakinan kepada agama lain
biasanya akan diusir dari desa tersebut dan akan dikucilkan dari
masyarakat. Oleh karena itu di daerah
Sumatera Utara sendiri perbedaan ini sangat jelas, misalnya saja biasanya orang
Batak Mandailing dan Angkola yang mayoritas beragama muslim tinggal di daerah
Tapanuli Selatan (Padang Sidempuan) sementara yang beragama kristen yaitu Batak
Toba tinggal di daerah Tapanuli Utara (Tarutung). Fakta ini tentu saja bertentangan dengan
pandangan budaya Batak Toba yang memposisikan adat dan budaya di atas perbedaan
agama dan keyakinan. Di perantauan
meskipun hidup berdampingan wilayah maupun bertetangga, biasanya tidak akan
akrab seperti sesama agama. Individu
Batak Toba Kristen cenderung lebih berani menghadapi konflik dan tidak
menghindarinya. Orang-orang Batak Toba
Kristen dipandang sebagai orang-orang yang cukup berani dan tidak merasa takut
dibanding dengan orang Batak lainnya.
Soerjono Soekanto mengatakan bahwa taraf kemakmuran suatu
masyarakat sangat tergantung pada keadaan alam dimana masyarakat hidup.[21] Bertitik tolak pada asumsi bahwa tipe
organisasi sosial ditentukan oleh faktor tempat, timbul teori bahwa
keluarga-keluarga patrilinear timbul di daerah stepa. Keluarga-keluarga demikian sifatnya otoriter,
tidak demokratis dan konservatif.[22] Pada tipe keluarga seperti inilah tumbuh
akar-akar demokrasi dan kebebasan. Orang
Batak Toba yang didominasi oleh alam pegunungan dan perbukitan menjadikan
mereka orang pekerja keras, dimana hal ini juga didorong oleh falsafah hidup
yang dipegang hamoraon, hagabeon dan hasangapon. Hal kedua yang menjadi sumber konflik bagi
orang Batak Toba adalah masalah tanah, baik itu tanah warisan ataupun tanah yng
diperuntukkan bagi fasilitas umum. Bagi
orang Batak Toba semua tanah yang ada adalah tanah warisan dari nenek
moyang. Memiliki banyak tanah dan
mempertahankannya adalah satu hal yang penting yang termasuk dalam hamoraon dan hasangapon. Oleh karena itu,
bagi orang Batak Toba sangat pantang untuk menjual tanah. Akan tetapi pengembangan pemerintah untuk
pembangunan sering melakukan pembebasan lahan sehingga menimbulkan konflik
antara masyarakat Batak Toba dengan pemerintah karena harus mengorbankan tanah
leluhur. Selain itu, orang Batak Toba
yang sudah merantau juga sering menjual warisannya kepada orang lain sehingga
menimbulkan konflik bagi keluarga dan bahkan bagi masyarakat setempat.
Hal
ketiga yang menjadi sumber konflik bagi orang Batak Toba adalah masalah adat
istiadat intern. Hal inilah yang paling
sering terjadi dilungkungan masyarakat Batak Toba. Setiap kegiatan yang dilakukan orang Batak
Toba memiliki upacara adat masing-masing yang rumit dan sangat mahal. Mulai dari, kelahiran seorang anak,
pembaptisan anak, naik SIDI, menikah, membangun rumah, memasuki rumah baru,
meninggal, menggali tulang-tulang orang yang sudah meninggal dan lainnya semua
memiliki upacara adat masing-masing. Di
dalam setiap upacara adat ini sering menjadi konflik. Hal ini dikarenakan tidak semua orang Batak
Toba memiliki pemahaman dan pengertian yang sama tentang upacara-upacara adat
tersebut disamping biayanya yang juga sangat mahal. Sementara itu jika tidak melakukan
upacara-upacara adat tersebut, maka akan dikucilkan dari masyarakat Batak Toba
dan tidak boleh mengikuti upacara-upacara adat dan disebut Na so maradat (orang yang tidak beradat).
Perubahan
Nilai dan Kebudayaan
Nilai
budaya merupakan nilai yang dikandung oleh sebuah kebudayaan dan unsur-unsur
yang membedakannya dari kebudayaan lain.
Nilai budaya merupakan tingkat tertinggi dan abstrak dari adat istiadat
serta memberikan ciri dan karakter bangsa, suku bangsa, bahkan
kelompok-kelompok masyarakat. Dengan
demikian ada perbedaan nilai dan sistem buadaya dalam setiap kebudayaan. Nilai budaya tersebut meresapi hidup anggota
masyarakat sejak dini sehingga mengakar di dalam jiwa. Karenanya nilai budaya yang terdapat dalam
suatu kebudayaan tidak dapat diganti begitu saja dalam waktu singkat dengan
nilai budaya lain walaupun dengan dalih rasionalitas.[23] Akan tetapi
masyarakat dan kebudayaan di mana pun selalu dalam keadaan berubah, sekalipun
masyarakat dan kebudayaan primitif yang terisolasi jauh dari berbagai
masyarakat lainnya.[24] Ada tiga hal yang menyebabkan terjadinya perubahan
kebudayaan yaitu terjadinya perubahan jumlah dan komposisi penduduk, perubahan
lingkungan alam dan fisik tempat mereka hidup, adanya difusi kebudayaan
penemuan-penemuan baru, khususnya teknologi dan inovasi.[25]
Demikian
juga halnya dengan masyarakat Batak Toba, seiring berjalannya waktu mengalami
perubahan nilai dalam kebudayaannya. Orang
Batak Toba dewasa ini berada pada situasi budaya-kenyataan (real-culture) yaitu
kenyataan sosial budaya orang Batak Toba yang exist dewasa ini di wilayah
pedesaan atau bona pasogit dan wilayah perantauan atau perkotaan.[26] Kenyataan sosial budaya tersebut berhadapan
dengan keindahan-keindahan budaya yang ditampilkan sebagai lambang-lambang
identitas yang mengandung essensi keinginan, harapan atau idealisme yang
diwarisi dari nenek moyang.
Perubahan-perubahan itu antara lain adalah pertama, anak-anak Batak Toba
dewasa ini hampir tidak bisa lagi berbahasa Batak Toba, terutama anak-anak yang
lahir di kota-kota. Kedua, orang dewasa
Batak Toba yang sekarang sudah hampir tidak tahu lagi menuliskan tulisan Batak
Toba. Ketiga, ibu-ibu dan bapak sudah
sering kedengaran berbahasa Indonesia sesama mereka dan tidak berbahasa Batak,
walaupun di rumah kepada anak-anaknya mereka sudah cenderung berbahasa
Indonesia. Rapat-rapat lembaga agama
Batak Toba juga sudah kebanyakan berbahasa Indonesia walau nama gerejanya
jelas-jelas gereja Batak (HKBP), karena pengaruh perubahan dan kebutuhan,, tata
ibdahpun sudah ditampilkan dalam Bahasa Indonesia untuk kebutuhan kaum muda,
jadi tidak lagi hanya bahasa Batak.
Penganut sitem perkawinan pariban sudah semakin sedikit, sistem
perkawinan yang berkembang saat ini adalah perkawinan lintas marga, lintas
budaya, lintas suku, lintas bangsa, lintas denominasi, bahkan juga lintas
agama. Semua situasi dan kondisi itu
adalah perubahan yang dialami orang Batak Toba.
Perubahan ini terjadi disebabkan pengaruh segala bentuk intervensi dari
luar yaitu ilmu pengetahuan, teknologi, komunikasi, politik, ekonomi, mobilitas
pembangunan dan budaya asing, serta juga disebabkan innovasi yang berkembang di
kalangan orang Batak Toba sendiri.
Pengaruh budaya tersebut datang dari dalam masyarakat lokal, regional,
maupun internasional terutama disebabkan oleh orang Batak Toba yang lebih suka
merantau dan menyekolahkan anaknya di luar kampung halamannya. Masyarakat Batak Toba tidak dapat menghindar
karena mereka berinter-relasi dan berinteraksi dengan berbagai budaya, bangsa
maupun dengan kemajuan zaman. Bahkan
bukan tidak mungkin budaya Batak Toba akan terhilang.
Prediksi
10 Tahun Mendatang
Jika
kita melihat sepuluh tahun mendatang berdasarkan semua penjelasan di atas maka
dapat disimpulkan bahwa masyarakat Batak Toba adalah kelompok masyarakat yang
terbuka dengan perkembangan dan kemajuan zaman.
Pada masa ini masyarakat Batak Toba sedang berada di proses
perubahan-perubahan. Masyarakat Batak
Toba adalah kelompok masyarakat yang suka merantau dan menganggap bahwa
perantauan sebagai perluasan dari kampung halamannya. Oleh karena itu orang Batak Toba jika sudah
berhasil diperantauan jarang yang mau kembali ke kampung halamannya karena
sudah menganggap perantauan sebagai kampung halamannya. Jika kita melihat kampung halaman orang Batak
Toba disana hanya ditempati oleh orang tua dan anak paling bungsu karena semua
anak biasanya merantau. Oleh karena itu
untuk menjangkau orang Batak Toba, strategi yang paling cocok adalah melalui
jalur pendidikan. Jika kita ingin
menjangkau mereka, maka kita bisa membuka sekolah, TK, SD, SMP, SMA bahkan
Perguruan Tinggi. Masyarakat Batak Toba
sangat terbuka dengan jalur pendidikan. Selain
itu pelayanan melalui jalur ekonomi juga sangat baik untuk dilakukan. Karena salah satu falsafah mereka adalah hamoraon oleh karena itu pelayanan
melalui perekonomian juga sangat mendukung untuk menjangkau masyarakat Batak
Toba. Hal ini dapat dilakukan dengan
membuka koperasi bagi petani, menciptakan lapangan kerja dan lain sebagainya.
Daftar
Pustaka
Sumber Buku-buku
Basrowi, H. Muhammad
dan Soenyono, Memahami Sosiologi . Surabaya:
Lutfansah Mediatama, 2004.
Hesselgrave, David J.
Communicating
Christ Cross Culturally. Grand
Rapids, Michigan: Zonderva Publishing House, 1978.
Rajamarpondang,Gultom. Dalihan Na Tolu Nilai Budaya Suku
Batak. Medan: CV. Armanda, 1992.
Setiadi, Elly M. dan
Usman Kolip, Pengantar Sosiologi:
Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial:Teori, Aplikasi dan Pemecahannya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011.
Simanjuntak ,Bungaran Antonius. Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba Hingga 1945: Suatu
Pendekatan Sejarah, Antropologi Budaya Politik.Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2006.
Simanjuntak, Bungaran
Anthonius. Konflik Status dan Kekudusan Orang Batak Toba (Yogyakarta: Penerbit
Jendela, 2002), 1.
Situmorang, Sitor. Toba Na
Sae. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1993.
Soekamto, Soerjono. Sosiologi
Suatu Pengantar, edisi kedua. Jakarta:
CV Rajawali, 1986.
Tomatala, Yakub. Pengantar
Teologi Kontekstualisasi. Malang:
Gandum Mas, 1993.
Vegouwe,J. C. Masyarakat
dan Hukum Adat Batak Toba. Yogayakarta:
Lkis, 1986.
Sumber-Internet
Parmalim [artikel on-line] diambil dari
http://artikel.okeschool.com/artikel/kepercayaan/810/agama-parmalim--sumatera-utara-.html;
diakses 7 Juli 2015.
Ritonga,Sakti. Orientasi
Nilai Budaya Dan Potensi Konflik Sosial Batak Toba Muslim Dan Kristen Di
Sumatera Utara (Studi Kasus Gajah Sakti Kabupaten Asahan). [artikel
on-line] di ambil dari http://ejournal.iainradenintan.ac.id/index.php/analisis/article/download/5/3;
internet; Diakses 2 Juni 2015
Simanjuntak, Bungaran Antonius. Lestarikan Batakku [artikel on-line]
diambil dari https://tanobatak.wordpress.com/2007/11/08/lestarikan-batakku/;
diakses 7 Juli 2015.
[1] Elly M.
Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar
Sosiologi: Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial:Teori, Aplikasi dan
Pemecahannya(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), 2.
[6] Bungaran
Anthonius Simanjuntak, Konflik Status dan
Kekudusan Orang Batak Toba (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2002), 1.
[12] David J.
Hesselgrave, Communicating Christ Cross
Culturally (Grand Rapids, Michigan: Zonderva Publishing House, 1978), 126.
[15] Ompu Mula Jadi
Nabolon dipercaya adalah Pencipta Agung atau pencipta maha besar pra-Kristiani,
yang dipercayai oleh Suku Batak Toba sebagai pencipta langit dan bumi serta
segala isinya.
[16] Istilah Parmalim merujuk
kepada penganut agama Malim. Agama Malim yang dalam bahasa Batak disebut Ugamo
Malim adalah bentuk moderen agama asli suku Batak. Agama asli Batak tidak
memiliki nama sendiri, tetapi pada penghujung abad kesembilan belas muncul sebuah
gerakan anti kolonial. Pemimpin utama mereka adalah Guru Somalaing Pardede.
Agama Malim pada hakikatnya merupakan agama asli Batak, namun terdapat pengaruh
agama Kristen, terutama Katolik, dan juga pengaruh agama Islam. Agama ini tidak mengenal Surga atau
sejenisnya,sepeti agama umumnya, selain Debata Mula jadi Na Bolon (Tuhan YME)
dan Arwah-arwah leluhur, belum ada ajaran yang pasti reward atau punisnhment
atas perbuatan baik atau jahat, selain mendapat berkat atau dikutuk menjadi
miskin dan tidak punya turunan. Tujuan upacara agama ini memohon berkat
Sumangot dari Debata Mula jadi Na bolon (Tuhan YME), dari Arwah-arwah leluhur,
juga dari Tokoh-tokoh adat atau kerabat-kerabat adat yang dihormati, seperti
Kaum Hula-hula (dari sesamanya). Agama ini lebih condong ke paham Animisme.
Agama ini bersifat tertutup, masih hanya untuk suku Batak, karena upacara
ritualnya memakai bahasa Batak, dan setiap orang harus punya marga, tidak beda
dengan agama-agama suku-suku animisme dibelahan bumi lainnya, sifatnya tidak
universal. (Lihat [artikel on-line] diambil dari http://artikel.okeschool.com/artikel/kepercayaan/810/agama-parmalim--sumatera-utara-.html;
diakses 7 Juli 2015.
[17] Partuturon
adalah sistem urutan marga dari nenek moyang orang batak hingga masa kini. Melalui ini maka orang batak akan saling
mengenal apakah mereka masih kerabat dekat atau jauh. Dan melalui partuturon maka orang Batak akan
semakin dekat.
[18] Gultom
Rajamarpondang, Dalihan Na Tolu Nilai
Budaya Suku Batak (Medan: CV. Armanda, 1992), 377. Hula-hula
adalah keluarga paman dari setiap orang Batak Toba, sedangkan Dongan Tubu adalah kelompok satu marga
yang sama dan satu turunan, misalnya Marbun semua yaitu Banjarnahor, Lumban
Batu, dan Lumban Gaol adalah dongan
sabutuha, sama Hutauruk, Manungkalit dan Sibagariang adalah dongan Sabutuha. Sementara Boru
adalah semua anak purtri. Misalnya
jika saya (Marga Marbun) menikahi Boru manurung maka di dalam pesta Marga
Manurung saya dan istri saya akan disebut Boru,
Tetapi di dalam pesta Marga Marbun yang lain saya akan disebut Dongan Tubu atau dongan Sabutuha (teman satu perut).
Sementara jika saya yang mengadakan pesta maka semua Marga Manurung akan
disebut Hula-hula.
[19] Sakti Ritonga,
Orientasi Nilai Budaya Dan Potensi Konflik Sosial
Batak Toba Muslim Dan Kristen Di Sumatera Utara (Studi Kasus Gajah Sakti
Kabupaten Asahan).
[artikel
on-line] di ambil dari http://ejournal.iainradenintan.ac.id/index.php/analisis/article/download/5/3; internet; Diakses 2 Juni 2015.
[23] Bungaran Antonius
Simanjuntak, Struktur Sosial dan Sistem
Politik Batak Toba Hingga 1945: Suatu Pendekatan Sejarah, Antropologi Budaya
Politik (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), 162-63.
[26] Bungaran
Antonius Simanjuntak, Lestarikan Batakku [artikel
on-line] diambil dari https://tanobatak.wordpress.com/2007/11/08/lestarikan-batakku/;
diakses 7 Juli 2015.
Mauliate ma, nungga dibagihon hamu be sejarah ni marga batakkaon.
ReplyDelete