Cara Mendisiplin Anak







Disiplin Anak

    Kunarwoko & Juliana, dalam Seminar Anak Usia Dini TK Tarakanita 5 - Jakarta, Ada fakta anak Indonesia bahwa ternyata memiliki “play quotion” (tingkat bermain) paling rendah dibandingkan dengan anak-anak dari negara lain seperti Jepang, Thailand dan Vietnam, sebuah penelitian menunjukkan, anak Indonesia menghabiskan sebagian besar waktu mereka untuk belajar dan kegiatan non fisik ,misalnya menonton TV dan bermain game, banyak orang tua tidak menyadari anaknya marah atau sedih dan cenderung tidak peduli, padahal anak ketika itu butuh perhatian. Akibatnya banyak anak akan tumbuh jadi tertutup dan tidak bisa mengelola emosinya dengan stabil, sebagian besar orang tua tidak menyadari bahwa usia nol sampai lima tahun, adalah usia sangat penting, karena pada periode itulah masa emas pembentukan otak dan kepribadian anak terjadi.

Cara Mendisiplin Anak

    Setiap anak tentunya selalu mengalami masa pertumbuhan, baik fisik dan juga psikologinya. Sehingga, menyebabkan anak-anak akan terus berusaha untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dalam penyesuaian inipun tidak heran jika anak akan terkesan seperti sulit untuk diatur, contohnya: tidak mau tidur siang, terlalu aktif, dan memiliki rasa penasaran yang sangat tinggi, dll. Ada saja perilaku anak yang terkadang membuat orang tua terkhususnya seorang ibu merasa kesal, tidak sabaran dan ada juga yang merasa lucu ketika melihat tingkah dari anaknya. Semua hal ini tertuju kepada satu hal, yakni disiplin. Disiplin merupakan suatu kata yang sangat mudah untuk diucapkan, namun sulit untuk dipraktekkan.

    Setiap orang tua pasti menginginkan anaknya untuk hidup disiplin, akan tetapi orang tua juga yang seringkali tidak menerapkan disiplin dalam kehidupan sehari-hari. Contoh saja seorang anak yang tidak ingin mandi, dan ketika sang ibu menggendong untuk memandikannya ia akan terus menangis sampai selesai mandi. Kemungkinan ibunya terus memberikan teguran kepada anak ini untuk rajin mandi, atau mungkin dengan pukulan sebagai bentuk hukuman kepada anakNya. Akan tetapi, seharusnya terus dilakukan secara teratur dan memiliki kesepakatan antara ayah dan ibu dalam menerapkan disiplin pada anak. Ketidakteraturan akan membuat anak menjadi seorang yang tidak disiplin.

    Dari beberapa fakta yang ada, saat ini masih banyak orang tua belum menerapkan pola tertentu yang dipakai dalam mengasuh anak. Sebuah pola yang dilakukan dalam mendidik, merawat dan menjaga anak yang dilakukan secara terus menerus dan konsisten disebut dengan pola asuh. Melalui pola asuh yang baik anak akan diarahkan kepada bagaimana membiasakan diri melakukan hal-hal secara teratur dan terjadwal, hal inipun berbicara mengenai disiplin. Tidak heran jika orang tua tentunya memiliki kerinduan untuk melakukan yang terbaik kepada anaknya berkaitan mengenai pendisiplinan.

Apa itu Disiplin?

    Ketika mendengar kata disiplin, maka akan berkaitan dengan sebuah tindakan yang berkaitan dengan hukuman. Adapula yang sulit membedakan antara disiplin dengan kekerasan yang dilakukan, kebanyakan menganggap bahwa kedua tindakan ini merupakan sebuah tindakan dengan tujuan yang sama. Tidak heran jika orang tua memiliki konsep disiplin yang salah, justru berdampak buruk bagi pertumbuhan anak. Maka orang tua harus terlebih dahulu mengetahui konsep daripada disiplin kepada anak, karena disiplin pada dasarnya merupakan sebuah inti dalam pengajaran kepada anak.

Secara umum disiplin sendiri memiliki pengertian yaitu, suatu tindakan mematuhi dalam melakukan sesuatu yang sesuai dengan norma dan aturan yang telah ditetapkan. Secara etimologis kata disiplin dalam bahasa Inggris adalah discipline dan disciple yang memiliki arti penganut atau pengikut. Kemudian dalam bahasa latin berasal dari kata discere yang memiliki pengertian belajar. Untuk memahami makna dari disiplin perlu mengetahui pendapat daripada para ahli:
    Menurut Gary Dessler pengertian disiplin adalah suatu prosedur yang mengoreksi atau menghukum seseorang bahawan karena melanggaru aturan.

    Menurut James Drever, pengertian disiplin adalah suatu kemampuan seseorang mengendalikan perilaku yang berasal dari dalam diri seseorang sesuai dengan hal-hal yang telah diatur dari luar atau norma yang sudah ada. Dengan kata lain, disiplin dari segi psikologis merupakan perilaku seseorang yang muncul dan mampu menyesuaikan diri dengan aturan yang telah ditetapkan.
    Poonen & Ringrose mengatakan “... mendidik anak-anak dalam cara yang patut, melatih mereka dalam ketaatan dan mengajar mereka untuk memilih dan melakukan hal-hal yang benar.”
    Beverly LaHaye dalam bukunya mengatakan, Disiplin ialah sesuatu yang Anda lakukan untuk anak Anda dan bukan terhadap anak Anda. Jika orang tua mendidik anak mereka dengan benar, maka mereka tidak perlu memukul atau memperbaiki sebanyak itu. Disiplin merupakan sebagian dari karakter yang Anda tanamkan ke dalam diri anak Anda dan yang akan menentukan cara hidupnya.
    Aulina mendefinisikan disiplin sebagai Disiplin merupakan perilaku nilai yang bisa dilakukan secara paksa dan bisa dilakukan dengan sukarela. Untuk anak usia dini, bentuk disiplin harus dilaksanakan secara sukarela dan melalui bermain.

Melalui penjelasan menurut para ahli diatas, sangat jelas bahwa definisi disiplin adalah merupakan cara mendidik anak-anak dengan cara yang patut, untuk menanamkan karakter pada anak sehingga mereka dapat memiliki ketaatan dan kemampuan untuk memilih dan melakukan hal-hal yang benar.

Disiplin dalam sudut pandang Alkitab

    Ketika berbicara mengenai disiplin tentunya berkaitan erat dengan pendidikan terhadap anak. Seseorang dapat menerapkan pendidikan kepada anak secara maksimal jika mampu melaksanakan proses disiplin dengan benar dan tepar. Dalam sebuah jurnal yang ditulis oleh Wenhas dan Darmawan menjelaskan bahwa Alkitab juga memberikan penekanan terhadap pendidikan kepada anak yang secara tidak langsung Alkitab juga mengajarkan tindakan disiplin untuk anak-anak. Maka dari itu sebagai orang tua Kristen yang juga memiliki peran penting dalam mendidik anak, perlu mengetahui dan memahami makna disiplin dalam sudut pandang Alkitab.

Perjanjian Lama

    Perjanjian lama terdapat satu kitab yang dikenal sebagai kitab hikmat dalam mengasuh anak, yang dapat digunakan untuk bahan ajar bagi orang tua, yaitu kitab Amsal. Dalam Amsal tertulis satu ayat yang menunjukkan adanya tindakan disiplin secara eksplisit. Amsal 23:14-15 menuliskan bahwa “Jangan menolak didikan dari anakmu ia tidak akan mati jika engkau memukulnya dengan rotan. Engkau memukulnya dengan rotan, tetapi engkau menyelamatkan nyawanya dari dunia orang mati.” Pada ayat ini menjelaskan bahwa seorang anak harus dididik. Dikatakan juga bahwa anak tidak akan mati jika dipukul dengan rotan tetapi justru menyelamatkan hidup anak itu dari keburukan atau kejahatan. Hal ini menunjukan bahwa orang tua harus mendisiplin anaknya.

Melalui kutipan ayat tersebut, merupakan bukti bahwa kitab Amsal yang terdiri daripada 31 pasal, merupakan kitab-kitab pengajaran. Kitab Amsal berisikan kata-kata hikmat yang mengajarkan asas-asas kehidupan yang dijalankan dengan penuh rasa takut kepada Tuhan. Hal ini dikarenakan bangsa Israel memiliki pemahaman bahwa anak-anak merupakan masa depan, keluarga dan rumah adalah menjadi tempat pembentukan anak-anak Israel yang adalah harapan masa depan keluarga dan bangsa, dalam konteks ini orang tua memiliki peran yang besar sebab orang tua telah menjadi perpanjangan tangan Allah untuk mendidik anak yang dipercayakan kepada mereka. Orang tua Israel memiliki kewajiban untuk mengajar anak-anak mereka tentang hukum Allah dengan kata dan teladan.

Bukan hanya pada kitab Amsal saja, ada beberapa referensi ayat Alkitab yang menunjukkan adanya penekanan disiplin dalam Perjanjian Lama. Hal inipun dapat dilihat dalam Ulangan 6:5 yang menekankan bahwa kasih merupakan kekuatan dari dalam untuk melakukan disiplin. Amsal 20:13 yang mendorong agar melakukan tindakan yang mendatangkan kegembiraan, Kejadian 24:4 yang memperoleh objek yang membangkitkan hasrat, Imamat 19:18, 34 yang menekankan bahwa perlu pengorbanan diri demi kebaikan orang yang dikashi, dan I Samuel 20: 17-42 yang menekankan adanya ketaatan yang tulus.

Kata yang digunakan dalam Perjanjian Lama untuk menggambarkan disiplin adalah rvy atau yashar yang memiliki definisi yaitu, benar, tulus, dan jujur. Kata ini mengalami pergeseran arti dari admonish (mis: Mzm. 94:10, LAI: menghajar; Ams. 9:7, LAI: (mendidik), dan discipline (mis: Ul. 4:36, LAI: mengajar; Ams. 3:11, LAI : didikan), menjadi chastise atau menghukum untuk kebaikan (mis: Im. 26:18, 28; Ams. 19:18). Kata disiplin juga dikaitkan dengan kata benda musar yang digunakan dalam konteks mengkoreksi (Ams. 15:33) yang akan memimpin kepada hikmat dan didikan.

Menertibkan

    Seringkali dalam mendidik anak orang tua melakukan dengan cara otoriter, seperti sikap mau menang sendiri atau main kuasa, dalam Efesus 6:4 menyatakan : “Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan” Firman Tuhan diatas menunjukkan adanya penolakan terhadap penggunaan pola asuh otoriter dalam pola asuh anak di keluarga karena dapat mengandung unsur kekerasan terhadap anak. Keteraturan dalam suatu keluarga bukan berarti karena takut dengan hal-hal yang bersifat eksternal tetapi karena hati yang taat. Yehezkiel 36:26 menyatakan bahwa Tuhan memberikan hati yang taat, firman Tuhan harus ditanamkan sebagai sumber keteraturan dalam hati anak-anak, sebab firman Tuhan dapat mengoreksi dan membimbing anak supaya dapat mengerti keteraturan. Jadi dapat diketahui bahwa orang tua harus belajar untuk mengajarkan perintah Tuhan melalui bentuk nasihat, teguran dan hukuman kepada anak, bukan sekedar perintah orang tua saja sebab orang tua adalah alat di mata Tuhan untuk memperlihatkan kasih Allah dalam kehidupan anak.

Dalam kitab Amsal 29:17 berkata "Didiklah anakmu, maka ia akan memberikan ketenteraman kepadamu, dan mendatangkan sukacita kepadamu." Kata “ketentraman” dalam bahasa Ibrani ialah “noo'-akh” yang artinya, mengaruniakan keamanan, menentramkan, dan mendapat ketenangan. Pendidikan yang baik akan mendatangkan ketentraman dan kedamaian jika didikan itu berdasarkan pedoman Firman Allah. Allah memerintahkan kepada orang Israel khususnya kepada orang tua yang mempunyai anak agar mereka dapat mengajari dan mendidik anak secara berulang-ulang.

Orang tua yang berhasil dalam mendidik anaknya akan menghasilkan anak-anak yang baik, berbakti kepada orang tua dan membanggakan orang tuanya, anak yang telah dididik dari keluarga yang teratur akan memiliki pola hidup dan kebiasaan yang teratur. Jadi dapat diketahui bahwa didikan yang berpedoman kepada Alkitab sebagai bukti bahwa orang tua mengasihi anak dan mengasihi Allah, orang tua yang berhasil mendidik anaknya dalam kasih dan hikmat dari Allah akan membuahkan hasil yang baik.

Menghukum

    Dalam Amsal 19:18 mengatakan “Hajarlah anakmu selama ada harapan, tetapi jangan engkau menginginkan kematiannya” Dalam terjemahan King James Bible : “Hukum anakmu selagi ada harapan, dan jangan biarkan jiwamu menyayangkan tangisannya”, sedangkan dalam terjemahan Alkitab Darby : “Hukum anakmu, melihat ada harapan; tapi jangan biarkan jiwamu membunuhnya.” Dalam kitab Amsal banyak contoh pelajaran mengenai bentuk pola disiplin yang mengarah kepada bentuk hukuman, seperti dalam Ams. 13:24, Ams. 22:15, Ams. 23:14,15, Ams. 29:15,17, Ibr. 12:7,10. Hukuman dengan memberikan pukulan memakai rotan adalah suatu cara pendisiplinan yang masih dianggap kuno karena tidak beradap dan tidak menunjukkan kasih. Namun sebaliknya dalam Amsal 13:24 mengatakan bahwa, “siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajar dia pada waktunya” dalam Amsal 13:24 dapat diketahui bahwa pukulan dengan tongkat/rotan adalah merupakan bukti kasih orang tua kepada anak.

Dalam hal ini pendisiplinan dalam bentuk pemberian hukuman terhadap anak harus dihindarkan dari tindakan yang semena-mena yang dapat mencelakai ataupun melukai anak. Jadi dapat diketahui bahwa kata hukum bukanlah sesuatu hal yang tidak diperbolehkan untuk diterapkan, karena dengan hukumanlah kita dapat memberi suatu ganjaran terhadap anak agar anak mengetahui kesalahanya. Namun dalam pandangan Alkitab atau firman Allah hukum yang dimaksud ialah hukum yang tanpa melukai atau mecelakai fisik anak, sebab orang tua menghukum anak oleh karena orang tua mengasihi anak bukan membenci anak,oleh karena itu pemberian hukuman dalam Alkitab ialah hukuman untuk kebaikan.

Pandangan Alkitab khususnya dalam Perjanjian Lama, hukuman/didikan (musar) sering berdampingan dengan kata teguran (tokahat), yang artinya hukuman fisik yang diberikan untuk dapat memperoleh hikmat, jika membaca dengan teliti keseluruhan dari kitab Amsal, hukuman fisik muncul berulang kali 3:11–12; 10:13; 13:24; 17:10; 19:18, 25; 20:30; 22:15; 23:13–14; 26:3; 29:15, 17, 19. Kata tongkat (sebet) dalam kitab Amsal digunakan sebagai suatu alat untuk melakukan disiplin secara fisik. Menurut Yushak Soesilo, tidak hanya pendidikan lewat tradisi lisan saja yang disampaikan oleh para orang tua Israel, melainkan pendisiplinan yang melibatkan rotan juga dilakukan untuk memukul dan mencambuk anak, berdasarkan Amsal 23:13-14, anak-anak Israel dididik dengan bentuk disiplin fisik yang keras, bahkan seorang ayah pada zaman Iarael memiliki wewenang untuk mendisiplinkan anak apabila menyimpang dari apa yang telah ditentukan oleh orangtuanya khususnya didikan dalam pengajaran terkait dengan Taurat.

Menggunakan tongkat dalam mendidik bukan berarti orang tua menggunakan tindakan kekerasan seperti membentak, memukul atau memaksa, akan tetapi menggunakan tongkat dalam mendidik merupakan salah satu bentuk wujud kasih sayang yang diberikan oleh orang tua, sebab tongkat didikan yang dimaksud disini merujuk kepada pendidikan yang benar yang berdasarkan kasih. Jadi dapat diketahui bahwa didikan yang mendatangkan hukuman adalah bentuk demontrasi kasih Allah kepada anak-Nya, sebaliknya bahwa pendisiplinan ini juga bentuk pendemontrasian kasih Allah melalui orang tua kepada anaknya, jadi disiplin yang mendatangkan hukuman adalah bentuk pendidikan yang baik bagi anak supaya anak dapat mengetahui kesalahanya.

Memperingatkan

    Musa memperingatkan bangsa Israel untuk selalu mengingat segala perbutan ajaib yang sudah Tuhan lakukan kepada mereka dan mengingatkan mereka untuk selalu mengingat akan perintah-perintah Tuhan. Dalam Ulangan 6:7 mengatakan “Haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.” Mengulang hukum tersebut secara berulang-ulang setiap saat, baik sedang berbaring, duduk ataupun berjalan kepada anak-anak mereka sehingga keturunan mereka dapat mengetahui dan melakukan perintah Tuhan. Hal ini disebabkan oleh karena sebelum bangsa Israel memasuki tanah perjanjian, mereka perlu mengetahui dan mengingat dengan benar akan hukum Allah.

Ulangan 6:7 menegaskan kepada para orang tua untuk mengajarkan dan membicarakan kepada anak mengenai hukum Allah secara berulang-ulang kepada anak. Kata asli dari kata mengajar ia shanan yang memiliki arti dalam bahasa Inggris ialah to sharpen, to teach & to whet yang artinya yaitu, menggembalakan, mengajarkan, dan mengasah. Sementara kata asli dari kata membicarakan ialah dabar yang artinya dalam bahasa Inggris yaitu to speak, declare, warn yang artinya ialah: membicarakan, mengumumkan, dan memperingatkan.

Secara keseluruhan dalam teks ini Musa ingin melakukan tiga model orang tua yang Musa harapkan ditengah-tengah bangsa Israel. Pertama ialah orang tua yang mau tetap setia untuk mengajarkan hukum Allah. Kedua, adalah orang tua yang dapat membimbing dan mengarahkan anak-anaknya dengan baik. Ketiga, orang tua harus memiliki kepekaan akan setiap peluang atau kesempatan yang ada untuk berkomunikasi dan mengajarkan hukum Allah kepada anak. Dalam hal ini dapat diketahui bahwa mengajarkan tentang hukum Allah (kerohanian) ataupun bentuk-bentuk ajaran yang mendatangkan kebaikan dalam diri anak, orang tua harus terus menerus setiap hari untuk selalu mengingatkan akan ajaran-ajaran tersebut kepada anak. Melalui didikan firman Allah yang diterapkan maka akan menghasilkan peribadi anak yang bertumbuh dalam Tuhan dan juga bertumbuh dalam moral.

Perjanjian Baru

    Alkitab memberikan perhatian besar terhadap pendidikan anak. Sejak Perjanjian Lama, Allah mengingatkan betapa pentingnya pendidikan bagi anak-anak. Sejumlah kata nouqetew muncul dalam Perjnajian Baru dan hanya digunakan oleh Rasul Paulus. Nouqesia dan paideia, adalah alat didikan atau asuhan umat Kristen dalam meja rumah tangga di Efesus (6:4b). Perlu untuk diketahui bahwa pada zaman itu nouqesia adalah kata-kata nasihat yang dibentuk untuk mengoreksi tapi tidak dengan mengancam ataupun menyakiti.

Kata “ajaran” dalam bahasa Yunani memakai kata παιδεία (paideia) yang artinya adalah pendidikan. Kasus ini merupakan kata benda feminim dalam bentuk tunggal. Dalam bahasa New Internasional Version (NIV) memakai kata “training” yang artinya pelatihan. Dalam konteks ini kata “paideia” yang artinya mendidik, melatih, dan marahi. Jadi oleh sebab itu dapat diketahui bahwa fungsi orang tua tidak hanya cukup mendidik anak melainkan orang tua harus melatih hal kerohanian anak secara terus menerus.

Paideuo berarti ‘memberikan bimbingan, mengajar, dan melatih’. Istilah umum ini digunakan dalam kaitan memelihara anak-anak. Kata istilah ini juga dimaksud sebagai tindakan korektif dan disiplin dalam pendidikan bahkan mendidik dengan mengajar serta menuntun dan menghukum. Paideia artinya seluruh pelatihan dan pendidikan anak-anak yang berhubungan dengan tumbuh kembangnya pikiran dan moral yang dibentuk melalui perintah, peringatan, teguran dan hukuman. Pendidikan yang berdasarkan Alkitab harus dapat mempersiapkan naradidik yang bersifat kekekalan. Dalam konsep didik ini diarahkan supaya dapat membentuk manusia-manusia ilahi yang siap melanjutkan kehidupan dalam hidup yang kekal. Pendidikan yang berdasarkan Alkitab harus menanamkan nilai-nilai Firman Tuhan didalam pendidikan yang diterapkan, jadi oleh karena itu setiap pendidikan yang dilakukan harus mengarah kepada Tuhan dan kemuliaan-Nya. Dapat diketahui bahwa disiplin dalam Perjanjian Baru itu ialah memberikan bimbingan, mengajar, dan melatih. Didikan dalam Perjanjian Baru ini tidak hanya bersifat sementara tetapi juga bersifat kepada kekekalan.

Dalam Ensiklopedia (/ensiklopedia/) adalah sejumlah tulisan yang berisi tentang penjelasan yang dapat menyimpan informasi secara komprehensif. Kata “ensiklopedia” diambil dari bahasa Yunani; enkylios paideia (ἐγκύκλιος παιδεία) yang memberikan arti sebuah lingkaran atau pengajaran yang lengkap, ensiklopedia adalah sebuah pendidikan paripurna yang mencakup semua ilmu pengetahuan. Paideia merupakan konsep pendidikan yang tua dari Yunani, konsep didikan ini dapat dipahami sebagai proses pembangunan manusia. Orang-orang Romawi menganggap bahwa pembangunan manusia dapat dilakukan dengan pola atau model pendidikan yang menetapkan prinsip humanitas. Melalui pernyataan diatas bahwa kata paidei ini lebih merujuk kepada suatu pengajaran yang dapat membangun diri manusia.

Dalam perjanjian Baru kata kerja yang digunakan yaitu paideuA dan kata bendanya paideia yang memiliki kesamaan dalam pergeseran arti seperti ysr dan musAr. “Dan Musa dididik dalam segala hikmat orang Mesir” (Kis. 7:22) dan “dimanakah terdapat anak yang tidak dihajar (didisiplin) oleh ayahnya?” (Ibr. 12:7). Kata paideia juga digunakan dalam kontekas disiplin ilahi (Ibr. 12:6). Dalam Ulangan 6:1-9 berbicara tentang perintah-perintah Allah sebagai tanda bahwa umatnya mengasihi Allah, dalam hal ini perlu untuk diketahui tentang susunan kerohanian anak yang dituliskan oleh Alkitab, secara keseluruhan dalam Ulangan 6:1-9 menegaskan bahwa keteladanan kerohanian orang tua dapat memberikan dampak yang positif terhadap pertumbuhan kerohanian anak. Jadi dapat diketahui bahwa orang tua tidak cukup hanya memberikan sebuah pengajaran, melainkan orang tua harus dapat melakukanya terlebih dahulu dalam dirinya sebab orang tua yang mampu mengajarkan adalah orang tua yang bersedia melakukannya.

Memukul

    Dalam kitab Efesus 4:26 mengatakan : "Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu." Dalam Efesus 6:4 mengatakan “Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan” dalam hal ini dapat dilihat bahwa disiplin atau latihan yang membina anak harus berdasarkan kasih. Dalam Ibrani 12:6 berfirman “Karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan ia menyesah orang yang yang diakui-Nya sebagai anak” menerima bentuk hajaran adalah hal yang baik untuk disyukuri sebab dikatakan bahwa hanya mereka yang diakuinya sebagai anak yang dapat menerima hajaran Tuhan, dalam Ibrani 5:8 menyatakan bahwa jika seorang yang mengaku dirinya sebagai orang percaya tapi tidak mengikuti bentuk disiplin dari Firman Allah maka orang tersebut disebut dengan anak gampang, dalam bahasa yunani “nothos” yang artinya “anak haram”.

Bentuk hajaran yang diterima harus dapat direspon dengan positif, memandang bahwa hajaran yang diterima adalah alat Tuhan untuk memurnikan dan mendewasakan. Kata hajar dalam hal ini menggunakan παιδεύω “paideuo”yang berarti untuk melatih seseorang dengan pengarahan atau ajaran, hajaran pendisiplinan yang dilakukan Tuhan sangat tidak menyenangkan tetapi dapat membuahkan hasil yaitu membentuk karakter seseorang yang dimotivasi oleh adanya kasih. Hukuman yang pantas kepada anak bukan semata-mata hanya memberi ganjaran terhadap kesalahan akan tetapi hukuman yang diberikan adalah benar-benar demi kepentingan yang terbaik bagi sang anak. Tongkat harus digunakan, yaitu tongkat orang tua yang memiliki kewenangan untuk mendidik anak dengan kasih dan bijaksana untuk kebaikan.

Dalam hal ini dapat diketahui bahwa Alkitab mengarahkan orang tua untuk mendisiplinkan anak dengan “tongkat” disepanjang masa pertumbuhannya, memukul anak hanya boleh dilakukan manakala anak dengan sengaja tidak mau taat dan memberontak. Tujuan pukulan yang diberikan oleh orang tua terhadap anak ialah hanyalah meniadakan kebebalan, pemberontakan dan sikap tidak hormat kepada orang tua. Jadi oleh sebab itu bentuk disiplin dengan cara memukul adalah hal yang dapat dilakukan oleh setiap orang tua. Memiliki motivasi atau tujuan yang benar bahwa disiplin itu harus senantiasa dilandaskan oleh karena kasih sebagaimana Allah mengasihi kita.

Melatih

    Dalam Kamus besar bahasa Indonesia kata melatih ialah mengajar seseorang agar terbiasa (mampu) melakukan sesuatu. Dalam Kolose 3:20 berbunyi “Hai anak-anak, taatilah orang tuamu dalam segala hal, karena itulah yang indah di dalam Tuhan” orang tua harus dapat mengajarkan ketaatan kepada anak-anak, karena ini merupakan salah satu tanggung jawab orang tua yang paling mendasar dalam mendidik anak. Sedangkan dalam Kolose 3:21 berbunyi: "Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu" hal ini merupakan bentuk present active, imperative dengan negative, yang didalamnya mengandung unsur menghentikan suatu tindakan dalam proses, “berhenti menjengkelkan anak-anakmu.”
    Dengan kata lain, bentuk perhatian dan kasih sayang orang tua yang harus lebih ditekankan dalam membangun hubungan yang baik antara orang tua dengan anak. Dalam Ulangan 6:6-7 berbunyi “Haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun” (Ulangan 6: 7) mengajarkan adalah cara utama untuk dapat mengungkapkan kasih kepada Allah melalui bagaimana orang tua memperdulikan kesejahteraan rohani dari anak-anak dan berusaha menuntun, mengajar secara “berulang-ulang.”
    Setiap orang tua memiliki kewajiban untuk mendidik dan mengajar anak agar hidup benar dan takut akan Tuhan, namun sebelum orang tua mengajar anak, orang tua harus terlebih dahulu menguasai dan memahami firman Tuhan sehingga pengajaran atau didikan yang dilakukan dapat selaras dengan prinsip Alkitab. Jadi dapat diketahui bahwa tanggung jawab orang tua dalam hal ini sangat besar terhadap anak, orang tua harus terus melatih anak untuk taat dan menghidupi firman Allah disepanjang hidupnya. Orang tua juga harus dapat melatih diri untuk memberikan bentuk perhatian dan kasih sayang yang cukup terhadap anak sebagai bukti bahwa orang tua mengasihi anak dan sama seperti Allah juga mengasihi setiap umatnya.

Paulus dalam suratnya kepada Efesus menekankan kepada orag tua agar sungguh-sungguh dalam mendidik anak dalam ajaran dan nasihat Tuhan (Ef. 6:4). Gambaran dalam mendidik anak ialah membentuk perilaku anak-anak sampai dapat mengambil keputusan sendiri dalam hidupnya. Paulus adalah salah satu murid Yesus yang mendapat didikan dalam keluarganya, juga dari gurunya, Gamaliel. Dalam sejarah kehidupan Paulus, umur lima tahun ia sudah masuk dalam rumah ibadat dan berada dalam bimbingan Gamaliel. Pada umur dua belas tahun, ia sudah menjadi anak Taurat yang memahami hukum Taurat. Dengan demikian, melalui didikan orang tua dan gurunya Gamaliel Paulus akhirnya memiliki pendidikan yang cukup tinggi serta wawasan yang luas.

Jadi dapat diketahui bahwa Allah memberikan perintah ini bukan hanya untuk dilakukan untuk diri sendiri, akan tetapi perintah ini juga harus diajarkan atau dilatih kepada anak-anak, agar kelak ketika mereka sudah dewasa mereka dapat mengambil suatu tindakan yang benar dalam hidupnya dan mengajarkan hal yang serupa terhadap generasi yang berikutnya.

Tujuan disiplin

    Segala sesuatu yang dilakukan oleh seseorang tentunya memiliki maksud dan juga tujuan, sama halnya dengan proses pendisiplinan terhadap anak. Secara umum, tujuan dari disiplin adalah untuk membentuk perilaku anak sedemikian rupa hingga anak akan sesuai dengan peran-peran yang ditetapkan oleh kelompok budaya tempat individu itu di identifikasikan. Dengan kata lain tujuan dari disiplin adalah agar anak-anak mampu untuk menaati peraturan-peraturan yang sudah ditetapkan oleh suatu lingkungan tertentu ataupun keluarga. Anak dengan sendirinya akan menaati dan mengetahui sanksi yang akan diberikan ketika melanggar peraturan-peraturan yang sudah ditetapkan. Akan tetapi tugas orang tua agar tujuan dari disiplin ini tercapai adalah orang tua harus terlebih dahulu menerangkan kepada anak apa keinginan atau manfaat disiplin bagi anak sebelum orang tua melakukan kegiatan disiplin kepada anak.

Disiplin dapat berfungsi sebagai motivasi pendorong ego yang dapat mendorong anak mencapai apa yang diharapkan. Melalui disiplin juga dapat di jadikan motivasi bagi anak dalam melakukan segala sesuatu hal yang dapat membuatnya berperilaku positif sesuai dengan apa yang diharapkan oleh orang tua maupun anak itu sendiri. Dengan disiplin, anak-anak dapat dengan mudah mencapai sesuatu yang di inginkannya. Menurut Charles Schaefer tujuan daripada disiplin terbagi menjadi dua tujuan, antara lain:

Tujuan jangka pendek : yaitu membuat seseorang terlatih dan terkontrol dengan mengajarkan bentuk-bentuk tingkah laku yang pantas dan yang tidak pantas bagi mereka.

Tujuan jangka panjang : yaitu perkembangan pengendalian diri sendiri dan pengarahan diri sendiri (self control and self direction) yaitu dalam hal di mana seseorang dapat mengarahkan dirinya sendiri tanpa pengaruh dan pengendalian dari pihak luar dalam waktu yang panjang.

Dengan mendisiplinkan anak, orang tua juga bertujuan untuk menolong anak. Disiplin dapat menjadi tujuan anak agar dapat bergantung pada motivasi-motivasi sendiri dalam mengendalikan dorongan, emosi, mengarahkan diri sendiri tanpa pengaruh dan pengendalian diri.12 Disiplin menjadi proses bimbingan yang bertujuan menanamkan pola perilaku tertentu. Dalam penanaman disiplin, orang tua mengutamakan perilaku untuk meningkatkan kualitas mental dan moral anak. Disiplin juga dapat memberikan kebiasaan-kebiasaan tertentu atau membentuk manusia dengan ciri-ciri tertentu.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penerapan disiplin adalah agar anak terlatih dan terkontrol. Ketika anak sudah mampu untuk berdisiplin, anak dapat mengarahkan dirinya sendiri tanpa pengaruh ataupun disuruh oleh orang lain. Dalam pengaturan diri ini berarti anak sudah mampu menguasai tingkah lakunya sendiri dengan berpedoman pada norma-norma yang jelas, standar-standar dan aturan-aturan yang sudah menjadi milik sendiri. Disiplin juga mampu menumbuhkan rasa tanggung jawab dalam diri anak. Dengan begitu disiplin juga dapat membantu anak untuk mengkontrol sikap dirinya, serta membantu anak mengetahui perilaku-perilaku yang salah dan yang benar. Melatih dan mendidik anak dalam keteraturan hidup kesehariannya akan memunculkan watak disiplin. Disiplin juga dapat membuat anak mengoreksi atau memperbaiki perilaku yang salah menjadi perilaku yang baik dan benar.

Unsur-unsur Disiplin

Harlock menyatakan bahwa ketika menerapkan disiplin kepada anak diperlukan beberapa unsur yang mampu mempengaruhi, sebagai berikut:

1. Peraturan

    Peraturan adalah sebuah pola yang ditetapkan untuk tingkah laku, dimana pola tersebut ditetapkan oleh orang tua, guru atau teman bermain. Tujuan daripada peraturan adalah untuk membekali anak dengan pedoman perilaku yang disetujui dalam situasi tertentu. Adapun peraturan memiliki dua fungsi, yaitu: Pertama, peraturan mempunyai nilai pendidikan, dikarenakan peraturan memperkenalkan pada anak perilaku yang disetujui anggota kelompok tersebut. Kedua, peraturan membantu mengekap perilaku yang tidak diinginkan. Agar peraturan dapat memenuhi kedua fungsi tersebut, maka peraturan seharusnya dapat dimengerti, diingat dan diterima oleh anak. Anak kecil lebih memerlukan peraturan dibandingkan anak yang lebih besar atau remaja, dikarenakan anak remaja sudah dianggap telah belajar dalam kelompok sosial mereka.

2. Hukuman

    Hukuman berasal dari kata latin yaitu, punire yang memiliki pengertian seseorang yang dijatuhkan hukuman karena suatu kesalahan, perlawanan atau pelanggaran sebagai ganjaran atau pembelajaran. Biasanya hukuman diberikan kepada orang-orang yang mengetahui bahwa yang dilakukan adalah sebuah kesalahan tetapi tetap melakukannya. Adapun tujuan daripada hukuman terbagi menjadi dua, yaitu: Tujuan jangka pendek dari menjatuhkan hukuman adalah untuk menghentikan tingkah laku yang salah. Sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah untuk mengajar dan mendorong anak untuk menghentikan sendiri tingkah laku mereka yang salah. Hukuman merupakan salah satu unsur kedisiplinan yang dapat digunakan untuk membuat anak berperilaku sesuai standar yang ditetapkan kelompok sosial mereka.

Fungsi daripada hukuman juga terbagi menjadi tiga, antara lain:

a. Hukuman dapat menghalangi pengulangan tindakan yang tidak diinginkan oleh masyarakat. Contohnya bila anak ingin melakukan sesuatu yang dilarang oleh orang tuanya, ia akan mengurungkan niatnya karena ia mengingat hukuman yang pernah diterimanya ketika ia melakukan hal tersebut di masa lampau.

b. Menghalangi, hukuman dapat menghalangi pengulangan tindakan yang tidak diinginkan oleh masyarakat. Contohnya bila anak ingin melakukan sesuatu yang dilarang oleh orang tuanya, ia akan mengurungkan niatnya karena ia mengingat hukuman yang pernah diterimanya ketika ia melakukan hal tersebut di masa lampau.

c. Motivasi, Fungsi hukuman yang ketiga adalah untuk menghindari perilaku yang tidak diterima masyarakat. pengalamannya mengenai akibat-akibat tindakan yang salah dan mendapat hukuman akan diperlukan sebagai motivasi untuk menghindari kesalahan tersebut. Bila anak mampu mempedapat belajar memutuskan apakah tindakan tersebut pantas atau tidak dilmenghindari tindakan yang tidak benar.

    Melalui penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Hukuman mempunyai peran antara lain menghalangi pengulangan tindakan yang tidak diinginkan oleh masyarakat, mendidik anak membedakan mana yang benar dan mana yang salah, serta memberi motivasi untuk menghindari perilaku yang tidak diterima masyarakat.


Penghargaan

    Penghargaan biasanya digunakan untuk seseorang yang sudah melakukan hal yang baik di dalam suatu hal yang benar. Istilah penghargaan tidak hanya berbicara mengenai materi belaka, akan tetapi berupa perkataan pujian, motivasi, senyuman dan juga tepukan di punggung. Penghargaan memiliki nilai mendidik, bagaikan motivasi buat mengulang sikap yang disetujui secara sosial, menguatkan sikap yang disetujui secara sosial.


Konsistensi

    Kata konsistensi berasal dari kata “konsisten” diserap dari bahasa Inggris, yaitu “consistent” yang artinya berdiri dengan kokoh atau berdiri tegak. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti konsisten adalah tetap (tidak berubah-ubah), taat asas atau selaras atau sesuai. Konsistensi memiliki pengertian yaitu tingkatan keseragaman ataupun stabilitas. Konsistensi merupakan sebuah pedoman sikap yang diperlukan dalam pelaksanaan peraturan. konsistensi dalam metode peraturan ini dianjurkan dan dipaksakan, dalam hukuman yang diberikan pada mereka yang tidak membiasakan pada standar serta dalam penghargaan untuk mereka yang membiasakan. Contoh dari sikap yang konsisten antara lain: Konsisten dalam ucapan, berarti ucapan yang dinyatakan selaras dengan perbuatan yang dilakukan merupakan contoh daripada sikap yang konsisten.

Mengapa disiplin penting?

    Banyak yang menerapkan disiplin dalam segala hal, baik dalam pekerjaan, pendidikan, dan juga kehidupan sebagai warga negara. Terlebih lagi kepada anak, karena umur anak-anak merupakan sebuah langkah awal untuk membagun sikap yang disiplin kepada anak-anak dan akan berdampak baik bagi tumbuh kembangnya. Secara umum ada beberapa manfaat atau pentingnya menerapkan sebuah disiplin, sebagai berikut:

1. Memberikan dukungan bagi terciptanya perilaku yang tidak menyimpang. Perilaku anak yang menyimpang apapun bentuknya biasanya bermula dari kurangya anak diajari kedisiplinan.

2. Membantu anak untuk memahami dan menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungan.agar anak dapat beradaptasi dengan lingkungan baru.

3. Cara menyelesaikan tuntutan yang ingin di tunjukan anak terhadap lingkungan.

4. Untuk mengatur keseimbangan keinginan individu satu dengan individu lainnya.

5. Menjauhi anak melakukan hal-hal yang dilarang sekolah.

Namun, ada beberapa manfaat disiplin menurut sudut pandang psikologis, menurut Adhvara, yaitu : Menumbuhkan kepekaan, sikap ini memudahkan dirinya untuk mengungkapkan perasaanya kepada orang lain. Menumbuhkan kepedulian, membuat anak memiliki integritas, belajar untuk bertanggung jawab dan mampu memecahkan masalah dengan baik, cepat dan mudah. Mengajarkan keteraturan, anak yang memiliki pola hidup yang teratur dan dapat mengelola waktu dengan baik. Menumbuhkan rasa percaya diri, sikap yang berkembang disaat anak diberikan kepercayaan dalam melakukan suatu pekerjaan yang dapat ia kerjakan dengan sendiri. Menumbuhkan kemandirian, anak yang dapat diandalkan. Menumbuhkan keakraban, anak yang mampu beradaptasi terhadap lingkungan. Dalam hal ini dapat diketahui bahwa manfaat dari beberapa disiplin dalam pandangan psikologi lebih mengarah kepada pembentukan pola hidup yang baik dan yang bermoral.

Pada bagian ini akan membahas secara mendalam mengenai manfaat disiplin dalam sudut pandang psikologis, sebagai berikut :

1. Menambah Kepekaan

Secara harafiah, istilah “kepekaan” berasal dari kata peka yang berarti mudah atau
cepat merasa terangsang. Apabila dikaitkan dengan kondisi sosial maka kepakaan sosial itu
adalah sebuah kemampuan untuk dapat mengamati reaksi-reaksi atau perubahan dari orang
lain. Menurut penelitian Hartup Astuti, kepekaan sosial adalah bagaimana cara untuk
membangun hubungan terhadap teman sebaya pada masa kanak-kanak, menurut Chaplin
Naim, mengatakan bahwa kepekaan sosial merupakan bentuk perilaku atau perbuatan
yang dilakukan oleh seseorang untuk dapat beriteraksi dengan orang lain dan dapat
menyesuaikan diri dengan kelompok lingkungan yang ada.
    Hurlock mengatakan masa peka adalah suatu masa atau periode dimana suatu fungsi tertentu perlu dirangsang dan diarahkan supaya perkembanganya tidak terhambat. Dapat diketahui bahwa kepekaan itu ialah suatu hal yang dapat merespon kejadian atau reaksi yang muncul didalam lingkungan. Kepekaan sosial (social sensitivity) secara sederhana dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk bereaksi secara cepat dan tepat terhadap suatu objek atau situasi sosial yang ada disekitar. Karena anak lahir dari orang tua dan besar dalam lingkungan keluarga, maka oleh sebab itu penenaman kepekaan sosial adalah tugas dan tanggung jawab dari orang tua kepada anak.
    Kepekaan sosial itu berawal dari sebuah kepribadian yang matang, yang dapat mengarahkan dirinya menurut kata hatinya yang sesuai dengan nilai-nilai moral didalam masyarakat. Kepekaan sosial sangat penting untuk ditanamkan dimasa kecil anak supaya anak kelak dewasa dapat memiliki kepekaan terhadap lingkungan sekitarnya. Adapun yang paling berperan penting untuk menumbuhkan kepekaan sosial pada anak adalah orang tua. Jadi dapat diketahui dalam pandangan psikologi bahwa betapa pentingnya melatih dan menumbuhkan tingkat kepekaan dalam diri seseorang, sehingga hal ini akan dapat membantu seseorang untuk dapat berinteraksi dan membangun hubungan dengan lingkungan.

2. Menumbuhkan kepedulian

    Kata peduli adalah sebuah nilai dasar dari sikap memperhatikan terhadap kondisi atau keadaan sekitar. Orang-orang peduli adalah orang yang terpanggil melakukan sesuatu yang dapat memberi inspirasi, perubahan, dan kebaikan terhadap lingkungan sekitarnya. Orang-orang yang memiliki kepeduliaan adalah orang-orang yang terpanggil untuk membantu orang yang lemah, miskin, membantu untuk mengatasi penderitaan, dan kesulitan yang dihadapi oleh orang lain. Kepedulian adalah sebuah perasaan yang muncul dalam diri seseorang yang kemudian ditunjukkan dengan sikap dan perbuatan untuk dapat menjalin hubungan yang baik dengan orang lain. Kepeduliaan berawal dari perasaan, namun bukan berarti berhenti pada perasaan, kepedulian itu mendorong adanya tindakan sebagai bentuk bahwa rasa kepedulian itu benar hadir dalam dirinya.

Jadi dapat diketahui bahwa manfaat dari kepedulian dalam psikologi itu ialah menumbuhkan rasa kepedulian orang tua terhadap anak. Pada dasarnya ketulusan, keluhuran dan kepedulian ada dalam diri setiap manusia, ketulusan yang dapat menyentuh nurani akan dapat mengulurkan tanganya untuk memberikan pertolongan, peduli adalah kata yang sudah sering diucapkan untuk dapat meyakinkan orang lain akan sikap dan perbuatan seseorang. Kata peduli atau kepedulian memiliki gambaran yang luas yang dapat hadir dimana saja kapan saja dan siapa saja, akan tetapi makna peduli ini menjadi kabur dan menjadikan kepedulian ini menjadi sesuatu yang langka dan mulai hilang dari setiap hati nurani manusia.

Orang tua pada umumnya banyak tidak perduli terhadap anak khususnya kepada anak remaja, menganggap bahwa anak remaja sudah mengerti arah hidupnya, akan tetapi masa remaja masih sangat membutuhkan bentuk arahan dan bimbingan dari kedua orang tua. Jadi oleh sebab itu keterlibatan orang tua dalam membentuk rasa kepedulian terhadap anak sangat dibutuhkan. Kepedulian menurut Triatmini ialah memperhatikan atau menghiraukan sesuatu, kepedulian sosial yang dimaksud bukan untuk mencampuri urusan orang lain akan tetapi lebih kepada membantu/menolong untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh orang lain dengan tujuan untuk memperbaiki dan memperdamaikan. Ahmadi dan Uhbiyati, mengatakan bahwa dari lingkungan rumahlah berkembangnya perasaan sosial antara anak dan orang tua, perasaan simpati anak kepada orang dewasa (orang tua) akan muncul apabila anak merasakan adanya kepedulian.

Leak Gary menandai beberapa sikap atau prilaku dari kepedulian sosial : Pertama, Persahabatan (Frendship) yang dapat membentuk hubungan akrab dengan sesama dan saling menghormati, saling menolong, saling mengerti, dan saling memahami dalam situasi ataupun kondisi. Kedua, cinta (Love) ialah tindakan atau sikap yang berbeda dengan yang lainya atau disebut dengan kata special. Ketiga, kerja (Work) ialah kegiatan yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan. Keempat, Self significance ialah yakin akan diri sendiri untuk dapat memecahkan suatu masalah dengan pendekatan yang efektif. Jadi dapat diketahui bahwa manfaat disiplin dalam psikologi dengan menumbuhkan kepeduliaan akan dapat memberikan rasa empati dan kasih terhadap seseorang.

3. Menumbuhkan kemandirian

Istilah kemandirian berasal dari kata dasar “diri” yang mendapatkan awalan “ke” dan
akhiran “an” dan membentuk kata keadaan atau kata benda, maka kata kemandirian tidak
pernah lepas dari tentang perkembangan diri seseorang. Kemandirian adalah suatu
kemampuan psikosial berupa kesanggupan untuk berani, berinisiatif dan bertanggung jawab
dalam mengatasi suatu masalah dengan rasa percaya diri, dikatakan juga bahwa kemandirian
itu dapat memberikan kebebasan dalam diri seseorang untuk melakukan sesuatu atas
dorongan dirinya sendiri. Menurut Erikson menyatakan bahwa kemandirian adalah usaha
untuk melepaskan diri dari orang tua dengan tujuan untuk menemukan dirinya melalui proses
pencarian identitas diri.
    Jadi dapat diketahui bahwa kemandirian itu tiba disaat seseorang mampu untuk mengerjakan pekerjaanya tanpa harus adanya bimbingan yang diberikan. Menurut Singgih Gunarsa dalam buku Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja 2004, mengatakan bahwa kemandirian dapat berkembang dengan baik apabila diberikan kesempatan untuk berkembang melalui latihan yang dilakukan dari sejak dini. Menurut Kartono, kemandirian adalah kesanggupan untuk berdiri sendiri, Chaplin, mengatakan bahwa kemandirian adalah kebebasan individu untuk dapat memilih dan menurut pandangan Maryam 2015 mengatakan bahwa kemandirian itu adalah prilaku yang memiliki inisiatif dan mampu mengatasi suatu masalah.

Ada tiga jenis kemandirian yang diberikan oleh Desmita, yang berdasarkan karakteristiknya yaitu : kemandirian emosional, kemandirian tingkah laku, kemandirian nilai. Kemandirian dibagi beberapa bentuk yaitu : kemandirian emosi, kemandirian ekonomi, kemandirian intelektual dan kemandirian sosial. Sedangkan menurut Ali dan Asrori, megatakan bahwa kemandirian itu dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu : kemandirian aman dan kemandirian tidak aman (insecure autonomy). Jadi dapat diketahui manfaat disiplin dalam psikologi yang dapat menumbuhkan kemandirian, akan memampukan seseorang untuk dapat mengontrol diri dan mampu mengambil keputusan yang benar tanpa harus dibimbing atau diarahkan.

Disiplin vs Kekerasan

    Penjelasan di atas sudah cukup jelas mengenai disiplin. Akan tetapi, perlu diketahui bersama bahwa disiplin yang ideal adalah ketika mampu menumbuhkan karakter seorang anak menjadi seseorang yang baik dan benar. Disiplin yang benar adalah mampu menumbuhkan karakter anak, kontrol diri, dan nilai moral serta membentuk perilaku. Untuk mencapai pertumbuhan karakter demikian terhadap anak, maka perlu menerapkan disiplin pada anak sejak usia dini. Akan tetapi tidak terlambat untuk menerapkan disiplin pada anak yang sudah memasuki usia remaja, hal inipun tergantung dalam hubungan antara orang tua dengan anak. Adapun penerapan disiplin yang harus dilakukan adalah penerapan disiplin secara positif, yaitu tidak adanya kekerasan yang dilakukan dalam penerapan pendisiplinan yang ada.

Kekerasan dan disiplin merupakan suatu hal yang berbeda. Kekerasan cenderung menggunakan penerapan hukuman secara fisik ataupun verbal, seperti memukul anak, memaki anak, dsb. Slade and Wissow, menyatakan bahwa jika seorang anak mengalami kekerasan fisik daripada orang tua, maka anak akan mengalami masalah-masalh perilaku dalam usia selanjutnya. Kondisi yang tidak mengenakkan itupun akan selalu diingat dan kecenderungan orang tua ataupun orang dewasa, tidak menyadari bahwa perilaku kekerasan yang didasarkan pada niat untuk mendisiplin merupakan pengaruh yang besar bagi anak dimasa yang akan datang.

Berikut beberapa contoh yang dinyatakan oleh Alit Kurniasari, dalam jurnalnya yang berjudul Kekerasan vs Disiplin mengenai kekerasan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak, antara lain:

1. Seorang ibu (30 tahun) menghukum anaknya (5 tahun), karena suka menuang sabun di kamar mandi, tidak mau makan, mengotori jemuran dan menganggu adik. Berikut tindakan ibu: “Kalau nakalnya di kamar mandi, ya saya pukul pakai gayung. Kalau tak mau makan, saya pukul pakai sendok atau piring. Kalau menggangu adiknya saya pukul pakai mainannya.” Menurut Ibu, bahwa anak harus dihukum agar jera dan tidak mengulangi perbuatan yang dilarang dan dia tidak ingin disalahkan suami karena tak mampu mendidik anak.

2. Guru memukul siswa (S) kelas 3 SD hingga bagian mata kanannya berdarah, karena suka ngobrol dengan temannya saat pelajaran berlangsung, mengakibatkan anak berhenti sekolah, mengaku trauma bersekolah. (September 2012, kasus di Kota Batu Malang).

3. Guru menampar pipi siswa (X) kelas 4 SD hingga berdarah, gara-gara (X) mencampur catatan dan latihan dalam satu buku, buku milik siswa dirobek dan dilempar.

4. Seorang ibu (tiri) memperlakukan anak tiri, Ad (6 tahun) karena selalu “bandel” dan tidak menurut perintah orang tua, kemudian menyiksa Ad, dan membuanngnya ke kebun sawit. Ad ditemukan dengan bekas luka di tubuh dan wajahnya, antara lain luka sayat di mulut dan lidah. Di alat kelaminnya juga terdapat bekas luka yang menurut Ad merupakan bekas digunting.

5. Kasus orang tua di Cibubur (Mei, 2015) yang menelantarkan anak-anaknya dan kerap melakukan tindak kekerasan pada anak semata-mata untuk mendisiplinkan anak.

Kasus-kasus tersebut memberi gambaran bahwa orang tua atau guru memperlakukan anak atau murid-muridnya dalam rangka mendisiplinkan anak melalui cara otoritarian yang memandang pentingnya kontrol dan kepatuhan tanpa syarat. Kemudian, orang tua atau orang dewasa, juga menentukan standard mereka terhadap anak, sehingga ketika anak tidak memenuhi standard yang ada ataupun melakukan pelanggaran. Orang tua akan memberikan hukuman ataupun kekerasan secara fisik atas pelanggaran yang telah dilakukan. Bukan hanya kekerasan secara fisik, bentuk hukuman secara verbal dengan mengatakan perkataan yang tidak mengenakkan seperti “bego, jorok, pelupa,” mengkritik yang berlebihan merupakan sebuah bentuk kekerasan emosional yang berlebihan.

Anak-anak yang mengalami kekerasan secara fisik dan juga emosional akan mendapatkan dampak yang negatif, yaitu anak-anak akan menarik diri dan tidak percaya pada orang lain. Kekerasan yang dilakukan ini biasanya bermula pada tindakan yang spontan, dengan tujuan untuk “mendisiplin anak” dan memberikan rasa jera kepada anak. Akan tetapi, banyak orang tua yang menerapkan hal itu menyadari dan menyesal bahwa tindakan tersebut tidaklah membentuk perilaku anak sesuai dengan harapan atau anak menjadi disiplan akan tetapi menanamkan kepada anak perilaku yang buruk dan mampu mempengaruhi pribadi anak ketika dewasa nanti.

Melihat penjelasan diatas, maka setiap orang tua mengetahui bahwa segala sesuatu kekerasan yang memiliki dasar untuk mendisiplin anak tidak benar untuk diterapkan kepada anak-anak. Hal ini dikarenakan ada banyaknya dampak baik secara fisik maupun emosional yang akan diterima oleh anak tersebut. Maka dari itu perlunya pengetahuan untuk mengajarkan disiplin anak dengan cara yang tepat dan benar.

Adapun cara mendisiplin anak secara efektif yakni dengan metode disiplin positif. Disiplin positif adalah tindakan mendisiplin anak dengan, cara yang positif, tanpa kekerasa, fokus pada pemecahan masalah, saling menghormati dengan didasarkan pada prinsip-prinsip perkembangan anak. Secara sederhana disiplin positif merupakan pengajaran dan penekanan perilaku baik dengan menghilangkan perilaku buruk, tanpa harus menyakiti anak dengan cara melakukan kekerasan. Disiplin positif ini dilakukan dengan dasar pemahaman bahwa tidak ada anak yang buruk/ nakal, yang ada hanyalah perilaku mereka yang buruk/nakal.

Disiplin positif dapat diterapkan di rumah maupun disekolah dengan menggunakan teknik yang berbeda-beda. Akan tetapi hal penting yang perlu diperhatikan dalam menerapkan prinsip-prinsip disiplin positif, yakni membantu anak merasa diterima sebagai seorang menusia; menghormati anak serta mendorong anak untuk berperilaku baik disertai kasih sayang dan tegas dalam satu waktu; kemudian memotivasi akan untuk menhargai kemampuannya.

Adapun beberapa tujuan daripada disiplin positif, yaitu mampu mengajarkan anak-anak tentang keterampilan sosial dan keterampilan hidup. Salah satu contohnya adalah belajar untuk saling menghormati, peduli terhadap sesama, serta mampu bekerjasama dalam memecahkan masalah. Kemudian dampak disiplin positif bagi orang tua adalah mengajarkan orang tua untuk tidak menggunakan kekerasan guna anak berhasil dalam mengatasi masalah, kemudian orang tua juga belajar untuk menghargai anak, dan belajar memberi informasi kepada anak serta mendukung tumbuh kembang anak. Melalui penjelasan diatas, makna daripada disiplin positif adalah cara orang tua ataupun guru yang menerapkan disiplin tanpa hmenggunakan kekerasan secara fisik ataupun verbal.

No comments:

Post a Comment

Jika anda Ingin Membantu pelayanan ini, silahkan kirimkan bantuan anda dengan menghubungi email charinmarbun@gmail.com. Jika anda diberkati silahkan Tuliskan dalam komentar. Jika ada pertanyaan dan permohonan Topik untuk dibahas, silahkan tuliskan dikolom komentar. Terimakasih sudah membaca, Tuhan Yesus memberkati selalu.