Showing posts with label Teologi. Show all posts
Showing posts with label Teologi. Show all posts

Makna Baptisan Air dalam Tulisan Paulus



BAPTISAN AIR DALAM TULISAN PAULUS


Pendahuluan


Baptisan air merupakan salah satu hal terpenting yang ada di dalam gereja dewasa ini. Baptisan air juga sudah menjadi salah satu tanda dari orang percaya yang bertobat kepada Kristus, yang mana petobat akan dideklarasikan menjadi milik Kristus melalui baptisan air tersebut. Tidak hanya sebagai tanda, baptisan air juga sudah menjadi doktrin dari semua gereja sekarang ini.

Latar Belakang

Kata baptisan jika ditelusuri berdasarkan sejarah yang ada dalam Perjanjian Lama, tradisi baptisan memberikan arti yang jelas dan terukur. Bagi orang Yahudi, baptisan merupakan sesuatu hal yang tidak asing lagi bagi mereka. Baptisan merupakan hal yang telah lama terlaksanakan bahkan ketika mereka mengalami diaspora atau non Israel yang menganut agama Yahudi.[1]

Kata baptisan juga ada dicatat dalam bahasa Ibrani yang mana baptisan berasal dari kata טבילה – tevilah dari kata טבל – taval, yang berarti mencelupkan atau membenamkan. Menurut tradisi Yudaisme, ritual baptisan dipelihara dengan baik oleh kaum Eseni. Kaum Eseni merupakan sebuah kelompok orang yang beragama Yahudi, mereka ialah orang-orang sangat menjaga dan menjalankan hukum agama dengan taat.[2]

Definisi


Dalam dunia Perjanjian Baru, kata Baptisan dikenal dengan istilah baptizomai atau baptisteis dari akar kata baptizo yang memiliki arti yaitu dibasuh, dicelupkan dan dipermandikan. Sedangkan dalam LXX kata baptisan memiliki arti yang hampir sama yaitu menenggelamkan atau menyelamkan.[3] Baptisan air juga sering disebut juga dengan baptisan selam. Baptisan adalah sebuah proklamasi dari keselamatan manusia, yang mana manusia tersebut digambarkan telah selamat dan menjadi milik Kristus. Gambaran ini menunjukan bahwa manusia tersebut telah meninggalkan manusia lamanya yang penuh dengan dosa.

Makna Baptisan Air dalam Tulisan Paulus


Satu Tubuh di dalam Kristus


Dibandingkan dengan pembenaran oleh iman, Paulus tidak begitu sering membahas tentang baptisan. Akan tetapi ia menyadari bahwa kedua hal ini yaitu pembenaran oleh iman dan baptisan, menjadi salah satu hal yang penting bagi gereja. Dalam I Korintus 12:13, dikatakan “dalam satu Roh kita semua telah dibaptis menjadi satu tubuh.” Paulus menjelaskan bahwa baptisan yang dilakukan sangatlah penting, hal ini akan menentukan pekerjaan Roh dalam satu tubuh.

Selain dari makna yang ada di atas, Paulus juga menekankan bahwa melalui baptisan adanya sebuah kesatuan dalam tubuh Kristus. Dalam Galatia 3:27-28, Paulus menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan antara orang Yahudi dan orang Yunani, tidak ada orang merdeka dan hamba, tidak ada laki-laki dan perempuan karena semuanya adalah satu di dalam Kristus Yesus. Pernyataan tersebut bukan sekedar pernyataan secara teologis, melainkan sebuah ekspresi dari kebenaran eskatologis keselamatan – historis yang memiliki konsekuensi bagi mereka yang percaya kepada Kristus.[4]


Simbol dari Keselamatan dalam Kristus


Jika dipahami dengan baik-baik, peranan baptisan menjadi jembatan bagaimana Roh bisa bekerja dalam tubuh Kristus.[5] Jika dibandingkan dengan Matius 3:11, Paulus menekankan ajarannya bahwa baptisan air hanyalah tanda pertobatan untuk mengikut Kristus, tetapi baptisan Roh Kudus adalah aktivitas dari Roh yang membuat orang menjadi percaya.[6]

Setelah Paulus meresponi panggilannya, ia menjadi alat Tuhan yang sangat hebat pengaruhnya di antara orang Yahudi, terkhususnya dalam pemberitaan Injil. Paulus mengimplementasikan ajaran-ajaran Yesus dalam pelayanannya yaitu baptisan air. Dalam Roma 6:6-7, Paulus menjelaskan makna rohani dari baptisan air sebagai wujud lahiriah kesatuan orang percaya dengan Kristus Yesus.[7]


Kematian dan Kebangkitan dalam Kristus


Baptisan yang dijelaskan oleh Paulus memiliki keterikatan dengan sebuah kematian dan kebangkitan bersama dengan Kristus. Paulus sering menggunakan idiom tentang kematian dan kebangkitan dalam suratnya, yang mana pesan ini sering sekali diartikan sebagai pengalaman mistik seseorang dalam pertobatannya di dalam Kristus.[8] Makna kematian dan kebangkitan di sini bukanlah secara lahiriah melainkan rohani.[9]

Paulus dalam misinya, ia sangat menekankan pada pertobatan semua orang. Setelah ia bertobat dari dosanya, Paulus memiliki banyak sekali misi yang ia ingin lakukan. Karena sang rasul sangat menekankan kepada pertobatan, oleh karena itulah baptisan ini juga sangat menjadi faktor penting dalam misinya.

Tanda Pertobatan


Setelah sekian lama menjadi penganiaya orang Kristen, kini Paulus menjadi orang yang menobatkan orang dari dosanya. Paulus menobatkan orang lain melalui pengajaran yang ia sampaikan kepada banyak orang. Sehingga baptisan menjadi faktor yang mencolok pada tanda dari pertobatan banyak orang. Bagi Paulus bukti orang yang telah bertobat adalah baptisan, meskipun orang diselamatkan bukan karena dibaptis, tetapi ia menekankan bahwa baptisan adalah tanda orang yang telah diselamatkan oleh Kristus.

Mempersiapkan Seseorang untuk Memberitakan Injil


Rasul Paulus melalui misinya yaitu baptisan, ia sangat bergairah pada pemberitaan Injil ke semua orang (Rm. 1:1). Paulus juga memahami tugasnya sebagai rasul yang telah dipilih oleh Allah yaitu sebagai pembawa injil. Paulus dalam misinya melalui baptisan, ia telah melatih beberapa orang untuk menjadi misionaris seperti dirinya. Paulus menggunakan beberapa panggilan khusus untuk rekan sekerjanya, yaitu saudara, pelayan, hamba, teman atau partner dan sebagainya. Rekan sekerja yang sering ia sebutkan antara lain: Barnabas, Timotius, Lukas dari Antiokhia (Siria), Akwila dan Priskila dari Roma, Silwanus, Titus, Tikhikus, Apolos dan sebagainya.[10]

Implikasi Baptisan Pada Keselamatan


Dalam Perjanjian Baru, konsep keselamatan dikenal dengan kata yasa yang artinya lebar, luas, bebas dari sesuatu yang mengikat. Dalam konteks yang rohani, maka yasa diartikan sebagai keselamatan dari kematian kekal oleh dosa.[11] Sedangkan dalam Perjanjian Baru, konsep keselamatan dikenal dengan kata dasar soterio dari kata dasar sozo yang artinya menyehatkan, menyembuhkan, menyelamatkan. Dalam konteks yang rohani, ini berarti menyelamatkan manusia dari kematian akibat dosa.[12] Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru melihat keselamatan merupakan sebuah anugerah yang cuma-cuma. Anugerah keselamatan tersebut hanyalah berasal dari Yesus Kristus sendiri. Keselamatan yang ditawarkan oleh Yesus adalah inisiatif Allah terhadap manusia dalam bentuk pengorbanan Kristus di salib.

Baptisan Sebagai Sarana Memperoleh Janji Allah


Jika membahas tentang keselamatan pasti kita akan langsung berpikir kepada seseorang yang telah dibaptis. Hal ini terjadi karena orang yang telah selamat dan hidup di dalam anugerah Tuhan pasti telah dibaptis. Keselamatan memiliki hubungan yang erat dengan baptisan, ini akan menjadi jelas jika kita melihat dalam Alkitab. Hubungan yang kuat terdapat pada penerimaan janji Allah.

Baptisan merupakan sebuah sarana pengampunan dosa, penerimaan Roh Kudus dan untuk menerima keselamatan. Sebab janji itu adalah milik mereka yang meresponi berita Injil dengan bertobat dan memberi diri dibaptis (Kis. 2:37-41). Dalam Kisah Para Rasu 16:30-33, kepala penjara bertanya tentang keselamatan “tuan-tuan, apakah yang harus aku perbuat, supaya aku selamat?” Paulus dan Silas menjawab kepala penjara tersebut dengan jawaban bahwa ia dan seisis rumahnya akan diselamatakan ketika mereka percaya kepada Yesus Kristus. Tidak lama kemudian kepala penjara dan seluruh keluarganya pun memberikan diri untuk dibaptis. Paulus dan Silas memahami bahwa orang yang telah bertobat dibuktikan dengan tanda deklaratif yaitu melalui baptisan air.[13]


Baptisan Air sebagai Deklarasi Seseorang Menjadi Milik Kristus


Dalam Roma 6:3-4, Paulus telah menyatakan bahwa baptisan merupakan sebuah simbol dari dari kematian seseorang terhadap dosa-dosanya dan sebagai simbol kebangkitan dalam kehidupan yang baru. Frederik berpendapat bahwa manusia yang dipersatukan dengan Kristus akan mengalami transformasi kehidupan, bukan saja pengampunan dari dosanya tetapi juga kehidupan yang baru.[14]

Kesatuan dengan Kristus ini tidak bisa begitu saja diartikan secara lahiriah, tetapi dimaknai secara rohani. Ini berarti pada saat seseorang masuk ke dalam air atau ditenggelamkan maka hal tersebut dimaknai sebagai kematian dan penguburan bersama dengan Kristus. Ketika seseorang tersebut keluar dari air diartikan sebagai seorang pribadi yang telah bangkit dan hidup kembali bersama dengan Kristus. Dalam hal ini, pribadi yang keluar dari dalam air merupakan pribadi yang mengenakan hidup baru (Gal. 3:27).[15]




Kesimpulan


Baptisan ialah tindakan iman lahiriah seseorang yang menghasilkan sebab dan juga akibat pada keselamatan. Baptisan merupakan sebuah simbol yang harus dialami oleh semua orang yang telah hidup benar di hadapan Allah. Dengan dilakukannya baptisan, seseorang telah dinyatakan sebagai milik Kristus. Dicelupkan berarti penyucian, pembasuhan dan pembenaran. Keluar dari dalam air berarti bangkit dan hidup kembali bersama dengan Kristus dalam hidup dan tubuh yang baru. Baptisan memberikan batasan bahwa seseorang tersebut telah terpisah dari dosa-dosanya dan ia dikhususkan kembali untuk melakukan pekerjaan Allah.

KEMAHAKUASAAN ALLAH DALAM PENCIPTAAN (Kejadian 1:1).



KEMAHAKUASAAN ALLAH DALAM PENCIPTAAN

Oleh: Christiana Lim

Pendahuluan

    Alam semesta, manusia dan segala jenis binatang yang ada dibumi adalah ciptaan Allah. Hal ini membuktikan Kemahakuasaan Allah dan kedaulatan-Nya sehingga Ia dapat menciptakan langit dan bumi serta segala isinya. Manusia merupakan salah satu ciptaan-Nya sehingga manusia juga bergantung pada ciptaan-ciptaan Allah yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa Allah adalah pribadi yang berkuasa. Makhluk-makhluk ciptaanNya saling bergantung satu dengan yang lain. Dalam kitab Kejadian telah ditulis tentang penciptaan Allah akan alam semesta dan segala isinya hal ini sangat menakjubkan karena dalam kejadian 1 dikatakan bahwa ketika Tuhan berfirman maka apa yang Ia katakan terbuat.

    Salah satu atribut Allah adalah kemahakuasaan. Allah adalah Allah yang memiliki kuasa yang tak terbatas, sehingga apapun yang tidak mungkin bagi manusia untuk dilakukan dapat dilakukan oleh Allah membuktikan Allah berkuasa. Tidak hanya itu Allah juga memiliki banyak sifat. Ada beberapa diantaranya ialah: kedaulatan Allah, Kekudusan Allah, Kemahadiran Allah dan lain sebagainya. Kemahakuasaan Allah adalah hal yang menjelaskan tentang keagungan dan kehormatan yang tida dapat dibandingkan dengan apapun.

    Kemahakuasaan Allah dalam menciptakan semesta Ia tidak serta merta menciptakan dan meninggalnyakannya begitu saja, tetapi Ia adalah Allah yang bertanggung jawab atas semua ciptaan-Nya. Dengan memberikan tanggung jawab kepada manusia atas semua ciptaan-Nya karena Allah memberikan kuasaNya kepada manusia untuk memelihara semua ciptaan-Nya.

Definisi Kemahakuasaan dan Penciptaan

    Kata Yunani “Kuasa” adalah dynamis. Kata ini berarti “kekuatan yang kuat, potensi, atau kuasa yang melekat.” Dynamis adalah kemampuan untuk melakukan hal yang tidak mungkin dilakukan itu merupakan kuasa Alla yang dinamis, eksplosif dan kemampuan supranatural-Nya.[1] Kemahakuasaan Allah adalah hal yang menjelaskan tentang kemuliaan, keagungan, dan kehormatan yang tidak bisa dibandingkan dengan apapun.[2]

    Dalam KBBI arti kemahakuasaan diambil dari kata dasar yaitu kuasa yang berarti kemampuan atau kesanggupan (untuk berbuat sesuatu); kekuatan; wewenang atas sesuatu atau untuk menentukan (memerintah, mewakili, mengurus, dan sebagainya). Tidak ada sesuatu pun yang tidak dapat dilakukan oleh Allah, semua hal yang tidak mungkin bagi manusia dapat dibuat oleh Allah, itulah yang disebut kemahakuasaan Allah.[3] Tidak ada hal yang tidak diketahui oleh Allah. Dia adalah Allah yang mahatau, disamping itu tidak ada yang tidak dapat dibuat oleh Allah, itulah yang disebut kemahakuasaan-Nya.[4]

    Penciptaan menurut KBBI dari kata cipta yang memiliki arti kemampuan pikiran untuk mengadakan sesuatu yang baru; angan-angan yang kreatif. Menciptakan yang artinya menjadikan sesuatu yang baru tidak dengan bahan. Penciptaan merupakan tindakan bebas Allah, melalui tindakan ini Allah pada mulanya menciptakan langit dan bumi.

Kemahakuasaan Allah dalam Penciptaan

    Berdasarkan pengertian diatas yang telah dijelaskan bahwa Kemahakuasaan Allah dalam penciptaan sangat luar biasa. Melalui tindakan-Nya Allah pada mulanya menciptakan segala sesuatu dari yang tidak nampak menjadi nampak.[5] Kekuasaan Allah tidak memiliki batas, karena Allah adalah Roh yang tak terbatas dan sempurna serta Allah pun berkuasa atas segala yang hidup.[6] Dalam Yesaya 40:28 mengatakan, “Tidakkah kautahu, dan tidakkah kau dengar? Tuhan ialah Allah yang kekal yang menciptakan bumi dari ujung ke ujung; Ia tidak menjadi lelah dan tidak menjadi lesu, tidak terduga pengertian-Nya”. Kemahakuasaan Nya yang tak terbatas itu sehingga Allah dapat melakukan apa saja yang ingin dibuatNya karena diriNya sendiri tidak terbatas. Kekuatan Allah yang kreatif dapat menciptakan langit dan bumi.[7] Kemahakuasaan Allah bersifat independensi, artinya Allah tidak bergantung pada manusia. Apapun yang ingin Allah lakukan dapat dilakukan-Nya.

    Identifikasi Allah sebagai sang pencipta dalam Kejadian 1:1, menunjuk kepada istilah umum untuk keAllahan yang merupakan sebutan Allah yang sejati. Kata yang digunakan adalah Elohim. Istilah Elohim memiliki makna majemuk berhubungan dengan ilahi , yaitu yang kuat, pemimpin yang perkasa , keallahan yang tertinggi.[8] Segala sesuatu yang telah dijadikan Allah, tanpa Allah maka tidak akan terjedi. Dalam Ibrani 11:3 mengatakan “Karena iman kita mengerti, bahwa alam semesta telah dijadikan oleh Firman Allah”. Hal ini membuktikan kemakuasaan Allah hanya dalam berfirman maka terjadilah.[9]

    Dalam kejadian 1:1 dikatakan “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi”, ayat ini jelas menekankan kemahakuasaan Allah karena dapat menciptakan. Allah memiliki kebebasan dan kuasa untuk melakukan apa saja dengan keAllah-anNya. Ia berkuasa atas alam semesta.[10] Kekuasaan Allah terlihat jelas ketika Allah menciptakan alam semesta, Allah hanya berfirman maka apa yang Ia katakan ada kuasa. Oleh karena itu tidak ada yang dapat menyamakan kekuatan Allah.[11]

Pandangan tradisi Gereja

    Gereja mengakui kemahakuasan Allah dapat dibuktikan pengakuan iman Rasuli yang berbunyi “ Aku percaya kepada Allah Bapa yang Mahakuasa, pencipta langit dan bumi”.[12] Pernyataan pengakuan ini merupakan iman dari gereja mula-mula Allah adalah Allah yang berkuasa yang dapat menciptakan alam semesta.[13] Dalam gereja mula-mula ternyata arti kata menciptakan memiliki arti yaitu membuat sesuatu tanpa apa-apa.

Relevansi Kemahakuasaan Allah bagi manusia

    Kekuasaan Allah memberikan dasar moral. Allah tidak hanya melakukan sesuatu untuk memberikan kesan baik kepada manusia.[14] Allah menciptakan Langit bumi dan segala isinya, semua yang telah Allah ciptakan memiliki kegunaannnya masing-masing sehingga pada akhirnya manusia diciptakanNya diakhir, artinya ialah Tuhan telah menyediakan semua yang dibutuhkan oleh manusia, Dia tidak membuat manusia menjadi susah sendiri.[15] Manusia adalah mahkluk special yang serupa dan segambar dengan Allah, oleh karena kemahakuasaan Allah manusia hanya menjalankan tugas yaitu memelihara yang telah Allah ciptakan dan manusia hanya menikmati dan mengelolanya saja.

Alam merupakan ciptaan Allah yang ada di langit dan di bumi seperti tumbuh-tumbuhan dan binatang, dari Karya Allah ini sehingga manusia dapat menggunakan segala yang tersedia dialam guna kebutuhan yang merupakan ciptaan Allah. Kemakuasaan Allah dalam penciptaan sangat berdampak besar bagi manusia sehingga manusia dan karya ciptaanNya saling bergantung dan saling membutuhkan.

Kesimpulan

    Kemahakuasaan Allah dalam penciptaan terlihat jelas bahwa Allah berkuasa dibuktikan dari kisah penciptaan-Nya, Ia mampu menciptakan langit dan bumi dengan Firman yang keluar dari mulut Allah.Ia mampu membuat sesuatu tanpa bahan apapun hal ini membuktikan Kuasa Allah bahkan kemahkuasaan Allah sangat berdampak bagi ciptaan-ciptaanNya salah satunya ialah manusia. Allah adalah pribadi independensi yang tidak bergantung pada ciptaan-Nya tetapi ciptaan-Nyalah yang bergantung pada Allah. Manusia memiliki peran penting dalam Kemahakuasaan Allah yaitu memiliki tugas untuk merawat dan memelihara alam semesta dengan baik, sebagaimana Allah telah merawatnya.


DAFTAR PUSTAKA

https://www.kehidupanrohani.com/2022/06/keadilan-allah-ayub-421-30.html
C, Thiessen Henry, Teologi Sistematika.Malang : Gandum Mas. 2000.

Charitoun,Erward Sarmawando Gawa. Apologetika Kristen tentang Kemahakuasaan Allah serta Misi Apologetika Kristen. institut Agama Kristen Negeri toraja.

Evans, Anthony T. ”Teologi Allah, Allah Kita Maha Agung” Jawa Timur: Malang Gandum Mas, 1999.

Evas, Tony. Teologi Allah, Malang: Gandum Mas 1999.

J, Erickson Millard. Teologi Kristen, Malang :Gandum Mas, 2004.

Johnson, Djonly Relly Rosang, “Studi Kritik Teori Penciptaan Dalam Kejadian 1:1-2” HUPĒRETĒS 1.1 (2019): 62–78.

Maldonado, Guillerom. Kuasa Supernatural Tuhan Liht Publishing. 2011.

Pendidikan Agama Kristen, Allah Maha Kuasa, Jakarta: Gunung Mulia, 2007.

Tong, Stephen. Teologi Sistematika Volume 1 Dokrin Allah. Surabaya: Momentum 2008.

W.Menzies. William & Stanley M. Horton. Doktrin Alkitab, Malang: Gandum Mas 2003.







[

KEADILAN ALLAH AYUB 42:1-30



KEADILAN ALLAH (AYUB 42:1-30)


Oleh Gusmernia.

Pendahuluan

    Keadilan sangat di butuhkan dalam hidup ini sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Orang –orang sekarang ketika mengalami persoalan mereka berharap dan menuntun keadilan itu ada dalam hidupnya. Salah satu kisah dalam alkitab yang mencari keadilan Tuhan dalam hidupnya ketika mengalami pencobaan yang terdapat dalam kitab Ayub. Cerita Ayub merupakan kisah yang mewakili manusia secara umum. Ayub adalah orang yang hidup saleh dan takut akan Tuhan serta dia juga termasuk orang yang terkaya pada zamannya. Tetapi Tuhan menginjikan Ayub di cobai oleh iblis untuk menguji Ayub bagaimana Ayub mengatasi persoalan yang dihadapinya. Tuhan menginjikan Ayub kehilangan semua yang dimiliki, harta kekayaanya dalam satu hari. Dalam penderitaan Ayub sebagai orang saleh, dalam ketidak mampuannya dalam menghadapi cobaan yang dialaminya ia mulai menuntun keadilannya sebagai orang yang saleh atau taat pada Tuhan. Sehingga dalam kisah Ayub ini menceritakan bahwa penderitaan yang dialami oleh seorang yang benar dan jujur.[1]

KEADILAN ALLAH  AYUB 42:1-30

    Maksud dari Allah memberikan penderitaan, agar manusia sadar bahwa dia makhluk yang terbatas.[2] Seringkali umat manusia menuntun keadilan lewat apa yang telah mereka lakukan kepada Allah namun dibalik itu semua ada banyak yang membuat keadilan itu tidak nyata dalam diri manusia.

Definisi Keadilan

    Keadilan dalam kamus besar bahasa indonesia adalah sifat perbuatan, perlakuan yang adil.[3] Sedangkan kalau berbicara keadilan Allah dalam buku Erickson mengatakan bahwa Allah itu adil dalam pelaksanakan hukum-Nya.[4] Allah juga menuntut hukumnya di patuhi dan menjaganya dengan sama rata.[5] Sedangkan istiliah-istilah yang dipakai dalam perjanjian baru, keadilan pada umumnya sering di hubungkan dengan hukum Allah, kebaikan Allah dan penyelamatan Allah.[6] Dapat disimpulkan bahwa keadilan merupakan suatu sifat atau perbuatan yang dimiliki seseorang untuk melaksanakan setiap hukum atau aturan dengan sama rata tanpa berat sebelah atau pilih kasih.

    Dalam bahasa inggris tidak lepas dari Istilah kebenaran dan Keadilan karena merupakan kata yang berbeda, tetapi dalam perjanjian Lama Ibrani dan Perjanjian Baru Yunani hanya ada satu kelompok kata dibelakang kedua istilah inggris ini. Dalam buku Thiessen menuliskan dua kata yang tidak bisa terpisah yakni kebenaran dan keadilan merupakan unsur kekudusan Allah yang nampak di dalam cara Allah menghadapi manusia ciptaan-Nya.[7] Keadilan atau kebenaran dapat diartikan suatu keadaan tak bernoda atau layak, tepat.[8] Sedangkan dalam buku Marie Prys mengaitkan antara keadilan dan hukum merupakan aspek-aspek kekudusan Allah yang dilihat dalam cara-Nya bertindak terhadap ciptaan-Nya.[9] Keadilan Allah terlihat jelas pada kenyataan bahwa Dia menghukum kejahatan dan menganugerahkan pahala bagi kebaikan.[10] Untuk itu keadilan Allah tidak bisa diukur dalam jangka pendek, karena setiap perbuatan akan menerimanya walaupun prosesnya lama namun Tuhan tetap menjalankan keadilan bagi manusia ciptaan-Nya.

Kisah Ayub (Ayub 1-42)

    Ayub diperkenalkan sebagai orang yang saleh dan juga kaya sekali (1:1-5).[11] Dengan izin Tuhan, Ayub ditimpa pencobaan oleh iblis yaitu semua harta miliknya termasuk anak-anaknya dibinasakan pada hari yang sama (1:6-19). Allah menginjikan itu semua terjadi karena iblis menuduh Allah sebagai pribadi yang bodoh; sipenipu ulung itu mengklaim bahwa Ayub bersikap baik dan setia hanya karena hal itu membantunya untuk memperoleh berkat besar.[12] Iblis juga menyangka, Ayub memiliki hidup yang saleh karena Tuhan memberikan banyak kekayaan dan perlindungan kepada Ayub (Ayub 1:8-10).[13] Iblis mencoba menghancurkan Ayub dengan cara mengambil semua apa yang menjadi kekayaan dan kebanggaan Ayub yaitu kambing, domba, unta, lembu, keledai betina, para budak dan anak-anak Ayub.[14] Sehingga dapat dikatakan bahwa tujuan kitab Ayub ini adalah menyelidiki keadilan perlakuan Allah terhadap orang benar.[15]

    Dalam penderitaan Ayub, ia tetap bertahan dan tidak tergoyangkan imannya kepada Allah (1;20-22). Tuhan juga melihat iman Ayub dan juga iblis ingin mencobai Ayub dan Tuhan juga menginjikan Ayub mengalami pencobaan itu lagi dari iblis yaitu penyakit yang sangat keras sehingga nyawanya terancam (2;1-8), istrinya sendiri mengejeknya bahkan menganggap Ayub gila. Namun dari semua yang dialaminya, ia tidak mengutuk tetapi ia berkata: dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan (1:21-22).

    Di pasal 3 Ayub memulai membuka mulutnya. Ia merasa terasing dari Allah, mengkritik Allah kerena berlaku tidak adil dengan mengutuki hari kelahirannya, namun ia tidak mengutuki Allah.[16] Selain itu juga dia dikejutkan dengan sahabat-sahabatnya yang menuduh dia berdosa sehingga pencobaan itu menimpa dia (2:9-13). Ketika teman-teman Ayub memberikan pendapat kepadanya, respon Ayub mengatakan bahwa dirinya tidak salah dan ia sebagai orang benar dan Allah sebagai penuntut yang memojokkan dirinya. Ayub telah dikuasai oleh sikap memprotes dan kepandaian bicara sehingga ia tidak peka lagi terhadap Allah, Ayub memprotes karena Allah diam saja, (35:12-13).[17] Namun dalam pembicaraan terakhir pada pasal (36:1-37:24), seorang sahabat Ayub berbicara yakni Elihu dengan menggarisbawahi keadilan Allah serta kemungkinan bahwa penderitaan digunakan-Nya untuk mendidik manusia, tetapi Ayub sebagai manusia yang kecil tidak dapat mengharapkan suatu jawaban pasti dari yang Mahakuasa.[18] Dalam buku Prys mengatakan bahwa hal yang paling menyakitkan bagi Ayub adalah Allah tampaknya telah meninggalkannya-suatu tanda bahwa bukanlah penderitaan atau kesengsaraan duniawi yang seharusnya ditakuti, melainkan penderitaan rohani karena terpisah dari Bapa surgawi.[19] Meskipun Ayub di sisi lain ia merasa lelah atau kecewa dalam penderitaan nya dan menganggap apa yang dialaminya bukan karena dosanya yang mengakibatkan penderitaan itu terjadi, Tetapi pada kesempatan berikutnya dia mengakui kemahakuasaan Allah dan ketidakmampuan manusia, sambil bertobat dengan sikap rendah hati yang sungguh-sungguh (42:1-6).[20] Di pasal 42 menceritakan Ayub bertobat dan juga teman teman Ayub ditegur, sehingga hubungan Ayub dengan Allah dan juga semua keadaannya di pulihkan kembali.

Keadilan Allah bagi Ayub (42:1)

Keadaan Ayub di pulihkan

    Sering kali yang menjadi pertanyaan bagi orang-orang mengapa orang benar selalu nasibnya tidak mujur?. Kitab Ayub menujukkan dengan jelas tentang keadilan Allah dalam terang penderitaan manusia, bergumul dengan penderitaan dan bergumul dengan Allah.[21] Walaupun Ayub mengalami penderitaan dan bergumul dalam penderitaannya itu, namun Tuhan tidak meninggalkan orang yang hidup takut akan Dia. ketiga teman Ayub sependapat bahwa Allah adalah hakim yang adil, yang menilai setiap orang sesuai dengan tingkah-laku amal baktinya.[22]

Dilihat dari perjalanan kerohanian Ayub yang diwarnai dengan kehidupan penderitaan namun diakhiri dengan kebahagiaan. Walaupun Ayub mengalami penderitaan dan kehilangan miliknya, namun Allah memperlihatkan keadilan-Nya bagi Ayub dengan memulihkan keadaanya. Allah sangat menghargai kesetiaan Ayub.[23] Ketika Ayub menyadari dari maksud dari penderitaannya, Tuhan memulihkan Ayub dengan mendapatkan penghiburan dari sahabat-sahabatnya setelah dia mendoakan dan mengampuni mereka, Ayub 42:10-11 mengatakan bahwa “lalu Tuhan memulihkan keadaan Ayub, setelah ia meminta doa untuk sahabat-sahabatnya, dan Tuhan memberikan kepada Ayub dua kali lipat dari segala kepunyaannya dahulu. Kemudian datanglah kepadanya semua saudaranya laki-laki dan perempuan dan semua kenalannya yang lama, dan makan bersama-sama dengan dia di rumahnya. Mereka menyatakan turut berdukacita dan menghibur dia oleh karena segala malapetaka yang telah ditimpakan Tuhan kepadanya, dan mereka masing-masing memberi dia uang satu kesita dan sebuah cincin emas.” Dan kedua yaitu Tuhan memberikan kekayaan kepada Ayub dalam jumlah yang lebih banyak dari sebelumnya, Ayub 42:12 mengatakan Tuhan memberkati Ayub dalam hidupnya yang selanjutnya lebih dari pada dalam hidupnya yang dahulu; ia mendapat empat belas ribu ekor kambing domba, dan enam ribu unta, seribu pasang lembu, dan seribu ekor keledai betina. Selain itu juga Ayub mendapatkan 10 orang anak, bahkan anak-anak perempuan Ayub memiliki kecantikan melebihi semua perempuan lainnya, (Ayb 42:13-15).

Keadilan Allah Menurut Para Ahli

    Menurut shedd mengatakan bahwa keadilan Allah adalah sebagai suatu cara pengungkapan dari kesuciannya; dan strong juga mengatakan bahwa kesucian sebagai transitif.[24] Sedangkan menurut John shea mengatakan bahwa keadilan adalah jantung Allah, inti dari keberadaa-Nya.[25] Menurut Paul Enns, keadilan Allah dibagi dalam beberapa kategori. Keadilan rektoral Allah, yaitu pengakuan Allah sebagai penguasa moral yang menerapkan hukum moral-Nya di dunia ini, berjanji akan memberikan upah bagi yang taat dan penghukuman bagi yang tidak taat. Keadilan distribusi adalah positif dan negatif. Segi positifnya adalah dalam arti keadilan retributif (suatu refleksi dari kasih Allah), yang memberikan upah kepada yang taat. Segi negatif adalah dalam arti keadilan retributif, sesuatu ekspresi dari murka ilahi di mana Allah menghukum orang jahat.[26] Dapat diambil kesimpulan bahwa keadilan Allah itu perlakuan Allah kepada ciptaannya yang melakukan kehendaknya dengan menerima yang baik dan yang berbuat tidak baik akan menerima murka Allah.

Relevansi Keadilan Allah Masa Kini

    Sebagai hubungannya tentang keadilan Allah pada orang Kristen pada masa kini, keadilan Allah memang sudah nyata. Dimana orang yang berbuat jahat akan menerima yang jahat dan yang baik akan menerima upah yang baik dari Allah. Namun ada juga yang terjadi pada saat ini sama seperti yang dialami Ayub. Dimana orang yang mengikut Tuhan sangat menderita dan mengalami penganiayaan dari orang-orang lain. Hidup orang yang benar saat ini sedang berada dalam dunia kecurangan. Dimana keadilan dapat dibeli oleh orang-orang yang menuntut keadilannya. Sehingga kadang-kadang orang-orang percaya pada saat ini meminta atau menuntut keadilannya kepada Allah dengan alasan bahwa mereka setia dalam pelayanan bahkan perilaku mereka yang baik, di saat kondisi mereka jatuh dalam pencobaan atau masalah. Salah satu contoh sederhana yang sudah terjadi, yakni masa pandemi covid-19 dimana orang Kristen bahkan semua orang mengalami penderitaan. Bisa saja orang Kristen beranggapan bahwa orang yang percaya Kristus akan terlindungin dari semuanya itu karena ada Allah yang melindungi. Untuk itu, apa pun perilakuan terhadap Allah, orang-orang tidak bisa menuntut Allah karena Tuhan mempunyai tujuan yang baik dalam hidup umat-Nya dan juga segala sesuatu yang terjadi pasti Allah turut bekerja untuk mendatangkan kebaikan. Dibalik pencobaan yang dihadapi orang Kristen akan menjadi kekuatan dan pertumbuhan iman kepada Tuhan.

Kesimpulan

    Keadilan Allah adalah perlakuan Allah terhadap ciptaan-Nya. Memahami keadilan yang diinginkan Allah bagi kehidupan setiap manusia yaitu menerima kebenaran dari pada Allah (Firman-Nya) dan mentaati firman-Nya. Maka sifat keadilan Allah berdasarkan kepada keputusa Allah sendiri, segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan manusia atau yang dilakukan manusia akan menjadi bahan pertimbangan. Selain adanya paraturan yang ditentukan oleh Allah, adanya juga yang menjadi hasil dititik akhir yang akan menentukan hukuman kepada manusia yang melanggar peraturan-Nya. Allah memberikan keadilan-Nya kepada setiap ciptaan-Nya berdasarkan pertimbangan akan ketaatan atau ketidaktaatan manusia dalam mematuhi aturan yang telah Allah tetapkan. Allah juga menginjikan segala sesuatu terjadi dalam hidup manusia tetapi Allah tidak pernah meninggalkan atau mengabaikan orang yang setia di dalam Tuhan. Tuhan selalu menujukan keadilan-Nya bagi orang yang percaya maupun tidak percaya kepada-Nya.

Daftar Pustaka

Ateek, Naim Stifan. Semata-Mata Keadilan: Visi Perdamaian Seorang Kristen Palestina diterjemahkan oleh Wiliams Bill Mailoa. Jakarta: Gunung Mulia, 2009.

Bella Donna Nova, Pendidikan Agama Katolik . book on-line. diambil dari https://www.google.co.id/books/edition/Bella_Donna_Nova/psFvbZestlQC?hl=id&gbpv=0 diakses pada 28 April 2022.

Berkhof, Louis. Teologi Sistematika, Vol 1: Doktrin Allah. Surabaya: Momentum, 2008.

Dani, Supriatno, Onesimus. Merentang Sejarah Memaknai Kemandirian. Jakarta: Gunung Mulia. 2009.

Dennis Green, Pengenalan Perjanjian Lama. Malang: Gandum Mas, 2004.

Enns,Paul. The Moody Handbook Of Theology: Buku Pegangan Teologi. Malang: Literatur SAAT, 2006.

Erickson, Millard J. Teologi Kristen. Malang: Gandum Mas, 2004.

Kamus Besar Bahasa Indonesia jilid III “Keadilan” oleh Hasan Alwi.

Mutak, Alfius Areng. Pentingnya Formasi Spiritualitas Bagi Pendidikan Pembinaan Iman Warga Gereja. book On-line. diambil dari https://www.google.co.id/books/edition/pentingnya_formasi_spiritualitas_bagi_pe/0nrmeaaaqbaj?hl=id&gbpv=0 diakses pada tanggal 27 April 2022.

Prys Jerry MacGregor. Marie. 1001 Fakta Mengejutkan Tentang Allah. Yogyakarta: ANDI, 2002.

Richard W. Conish, 5 Menit Teologi. Bandung: Pionir Jaya, 2007.

Santoso, Benny. Pertobatan Yang Membawa Kelimpahan. Yogyakarta: Andi, 2005.

Thiessen, Henry Clarence. Teologi Sistematika. Malang: Gandum Mas, 2000.

Wahono, Wismoady. Petunjuk Mempelajari dan Mengajarkan Alkitab. Jakarta: Gunung Mulia, 2009.

Walton, Andrew E. Hiil dan John H. Survei Perjanjian Lama. Malang: Gandum Mas, 2001.









MURKA ALLAH BERDASARKAN 1 YOHANES 1:9



MURKA ALLAH BERDASARKAN 1 YOHANES 1:9

OLEH: Zuni Berkat Zai

Pendahuluan

    Murka merupakan respon sesuatu yang tidakadilan seringkali juga manusia mengalami tentang kemarahan, kejengkelan kesesalan, atau gangguan. Bukan hanya juga manusia yang mengekpresikan kemurkaan, tetapi juga Allah juga menjadi sifat-Nya. Namun ada perbedaan jauh antara murka Allah dengan murka Manusia. Murka Allah itu pasti kudus dan benar, sementara murka Manusia tidak pernah kudus dan jarang benar, maka hal tersebut manusia harus membedakan mana sebenarnya yang adil dan tidakadilan.

MURKA ALLAH BERDASARKAN 1 YOHANES 1:9

    Dalam Perjanjian Lama Murka Allah itu respon ketidaktaatan manusia, kemurkaan Allah kosisten ditujukan kepada kepada mereka yang tidak mengikuti kehendaknya (Ulangan 1:2-46; Yosua 7:1; Mazmur 2:1-6). Murka Allah terhadap dosa dan ketidaktaatan di benarkan sepenuhnya karena rencana-Nya atas umat manusia adalah kudus dan sempurna, sama seperti Allah sendiri adalah kudus dan sempurna. Sedangkan Kiasan antara Lazarus menceritakan tentang penghakiman Allah dan konsekuensi yang serius bagi pendosa yang tidak mau bertobat (Lukas 16:19-31). Begitu juga Yohanes 3:36 berkata, “barangsiapa percaya kepada anak, ia tidak akan melibat hidup, melaikan murka Allah tetap ada diatas-Nya.
    Setelah itu murka manusia di peringatkan dalam Roma 12:19, Efesus 4:26, dan Kolose 3:8-10. Allah sendiri dapat membalas karena pembalasan-Nya sepurna dalam kudus sementara murka manusia adalah penuh dosa, membuka dirinya kepada yang jahat. Bagi orang yang percaya kemarahan dan kemurkaan bertentangan dalam karakter yang seharusnya, yaitu menjadi serupa dengan karakter Kristus itu sendiri (2 Korintus 5:17). Untuk terbatas dari kemurkaan, orang-orang percaya membutuhkan pertolongan Roh kudus dalam menguduskan dan membersikan hati kita dari perasaan murka dan marah.

Definisi Murka Allah

    Di dalam Alkitab Murka Tuhan Allah sering di beritakan sebagai hukuman yang baru akan terjadi kelaka pada akhir zaman. Murka Allah bukan hanya dinyatakan kepada orang yang tidak mengenal Allah, bukan hanya kepada orang yang tidak bertuhan, melaikan juga kepada bangasa Israel, yang hidup dengan Tuhan, yang telah diberi hukum Taurat. Hal itu di sebabkan karena pikiran Israel juga telah di gelapkan oleh murka Allah, sehingga mereka tidak menganal Allah sehingga mareka tidak menganal kebenaran mereka sendiri (Rm. 10:3).[1] Jadi murka Allah yang dinyatakan kepada semua keturunan Adam dan yang juga menimpa Israel itu, bukan menjadi Israel melakukan hal-hal yang tidak pantas, melainkan menjadi israel ingin memperoleh keselamatan dengan amal-amalnya.

    Menurut Witness Lee, bahwa Yesus yang menyalamatkan manusia dari murka yang akan datang ( 1 Tes. 1:10), asalnya murka keadilan Allah, karena dosa manusia seperti bom waktu, menunggu untuk meledak di atas diri manusia. Sekarang Tuhan Yesus menurut tuntutan keadilan Allah, menerima hukuman murka Allah, lalu ia menebus dosa manusia, supaya manusia terhindar dari murka Allah pada masa yang akan datang.

    Alkitab berbicara tentang murka Allah dengan bahasa yang berintensitas tinggi ( Yes. 14:4, 6, 9; Yeh. 5:11-17). Ayat-ayat ini yang mendeskripsikan kemarahan Allah dapat di lipat gandakan hingga seratus kali. Bahkan di Wahyu, yang di tulis dalam genre apokaliptis, murka Allah di ekspresiakan dengan cara yang paling keras (wahyu 14).[2]

Perbedaan Murka Allah dengan Murka Manusia

Murka Allah

    Namun murka Allah jika di lihat dalam Alkitab bahwa di dalam kitab Roma 1:18. Paulus berbicara tentang Murka Allah yang telah dinyatakan (apokaluptetai) dengan cara yang persis sama seprti yang telah di katakan sebelumnya bahwa kebenaran Allah telah dinyatakan. Murka Allah bukan sesuatu luapan kemarahan yang sama seperti kemarahan manusia yaitu suatu luapan nafsu yang tak terkendali.[3] Oleh karena itu ada perbedaan dalam hubungan Allah yang dengan murka.

Paulus berbicara mengenai Murka Allah hanya tiga kali. Dalam Roma 1:18, Efesus 5:6 dan Kolose 3:6 dimana ia berbicara mengenai murka Allah dengan menimpa orang-orang durhaka. Tetapi seringkali paulus berbicara mengenai murka itu tanpa menyebutnya sebagai murka Allah, seolah-olah di tulis dengan huruf besar Murka itu sebagai suatu kekuatan yang sedang berlaku di bumi. Dalam Roma 3:5, terjemahan harfiahnya adalah “Allah menampakan murka”. Dalam Roma 5:9, ia berbicara mengenai di selamatkan dari murka itu. Dan dalam Roma 12:9, ia menasehatkan untuk tidak membalas dendam, tetapi menyerahkan orang yang berbuat jahat itu kepada murka itu. Dalam Rom 13:5, ia berbicara mengenai murka itu sebagai suatu dorongan, supaya orang tetap taat. Dalam Roma 4:15, ia mengatakan bahwa hukum Taurat membangkitkan murka itu. Dan 1Tes. 1:10, ia mengatakan Bahwa Yesus yang membebaskan manusia dari murka yang akan datang itu.[4] Sekarang, ada sesuatu di sisni yang cukup aneh. Paulus berbicara mengeani murka itu, dan sekaligus dari murka yang sama itulah Yesus yang menyalamatkan manusia. Kemurkaan Allah adalah tanggapan-Nya terhadap sesuatu yang pada dasarnya melawan kodratnya. Kemurkaan Allah tidak kejam melainkan adil.[5]

Murka Manusia

    Murka Allah jika diartikan lewat pemikiran manusia. maka, murka Allah bisa diartikan bahwa membawa dampak yang negatif bagi manusia atau seseorang yang bisa membuatnya sial ataupun bencana dan masalah yang diluar kendali manusia. Murka manu
sia sangat beda jauh dengan murka Allah karena amarah manusia lazimnya bersifat egois, sedangkan murka Allah tidak lepas dari kerinduannya akan kebahagiaan obyeknya, yakni manusia.[6]

    Menurut pemahaman “Fiman Menampakan Diri dalam Rupa Manusia” Tanpa murka Tuhan, manusia akan turun kedalam kondisi hidup yang tidak normal, dan semua hal yang adil, indah, dan baik akan di hancurkan dan tidak akan ada lagi. Tanpa murka Tuhan, hukum dan aturan keberadaan bagi makluk ciptaan manusia, Tuhan Telah terus menerus menggunkan watak benar-Nya untuk menjaga dan memelihara keberadaan normal untuk manusia.

    Dalam Alkitab berulangkali dijelaskan bahwa Allah “Murka” atas manusia yang menetang Tuhan (Keluaran 4:14; Ayb 42:7; Ul. 29:23; Rm. 1:18), tetapi murka Allah yang di maksudkan di sini, tidak sama dengan murka manusia. Murka Allah “tidak setujuan” Allah terhadap perbuatan manusia atas dasar pertimbangan yang benar-benar dituntut oleh keadilan dan kekudusannya. Kemurkaan Allah menuntut manusia kepada pertobatan yang sungguh-sungguh dan kesedian untuk tidak melakukan/berbuat dosa lagi ( Yoh. 4:1-42; 8:1-11). Allah mencari manusia dengan penuh kasih dalam kristus datang kedalam dunia untuk orang berdosa, orang-orang yang dalam masyarakat karena dosanya.[7]

    Murka diartiakan sebagai “Respon emosional atas sesuatu yang salah atau ketidakadilan”. Seringkali juga diibaratkan sebagai “kemarahan,” “kejengkelan,” “kekesalan,” atau “kegeraman.” Baik manusia ataupun Allah bisa mengekspresikan kemurkaan. Namun ada perbedaan jauh antara murka Allah dengan murka manusia. Murka Allah itu pasti kudus dan benar; sementara murka manusia tidak pernah kudus dan jarang benar.

Dampak Murka Allah dalam PL dan PB

Murka Allah dalam PL

    Dalam hukuman besar yang segera datang (Zef. 1:2-3:7) dan harapan akan keselamatan kelak (Zef 3:8-20). Selain seruang singkat untuk bertobat dalam 2:1-3, Zef 1:2-3:7 tetap menenkankan murka Allah. penghukuman Allah secar universal akan membawa dampak yang sedahsyat air bah pada masa Nuh (keajadian 6).[8] Zefaya melukiskan murka Allah yang menyala-nyala dengan cara yang hampir tidak ada bandingannya dalam Alkitab.

Segala sesuatu pasti ada dampaknya bagi diri sendiri begitu juga jika Allah murka kepada umatnnya. Dalam Perjanjian Lama murka Allah datang kepada Uza, Dalam PL kematian mendadak atau petaka yang mendadak dimengerti sebagai penyataan amarah/murka Allah dan dicarikan alasannya, seperti pada waktu Uza menyetuh Tabuh perjanjian dengan tangan yang najis (2Sam. 6: 7).[9]

Murka Allah dalam PB

    Dalam Perjanjian Baru juga berbicara tentang hari amarah, yaitu hari penghakiman mutlak (Matius. 25: 31-45).[10] Dampak dari keseluruhan murka Allah lebih penting dari perincian kejadiannya secara terpisah-pisah. Pada hal dalam Perjanjian Baru banyak di kemukakan tentang murka Allah terhadap dosa. Pada waktu paulus berkata dalam kolose 3:6 bawa murka Allah akan datang, tentu yang di maksudkan-Nya lebih dari pada bahwa hukum pembelasan akan datang.[11]

    Dalam kitab-kitab injil hanya terdapat satu pernyataan lansung mengenai murka Allah. dalam Yohanes 3:36 Yesus menegaskan bahwa murka Allah tetap di atas mereka yang tidak taat kepada anak, dalam hal ini murka Allah di hubungkan dengan kasih Allah kepada anak-anaknya. Dalam Wahyu 14:10 penghakiman di gambarkan sebagai anggur murka Allah yang di tanggukan kedalam “cawan murkaNya”, dengan gagasan ini di kembangkan lebih lanjut ketika melaikat penuai meleparkan anggur itu kedalam “kehilangan besar, yaitu murka Allah” (Wahyu 14:19).[12] Penglihatan ini menggambarkan murka Allah yang menakutkan yang tidak mungkin di tiadakan. Demikian juga dengan tujuh cawan yang di sebut sebagai murka sebagai anak Domba; jelas hal ini menghubungkan murka itu dengan salib dan menetapkan perwujudannya dalam sejarah.

Hubungan Kasih dengan Murka Allah

    Menurut Dodd, Walaupun ia berbicara menenai murka Allah, ia tidak pernah bicara mengenai Allah murka. Oleh karena itu ada perbedaan dalam hubungan Allah yang kasih dengan Murka.[13] Timbul peranyaan bahwa, bagimana hubungan “murka” ini dengan “kasih” Tuhan, jelaskan pengertian murka tidak mungkin lepas dari pengertian kasih, bahkan harus di tafsirkan di dalam terang kasih itu.[14]

    Perlu disadari bahwa dalam membicarakan “kasih”, “Murka” Tuhan, kita memang memakai bahasa kiasan. Bertolak dari pengalaman yang timbul dan pergulangan antar manusia, kita membahasakan pengalaman diri sendiri mengenai Tuhan.[15] di simpulkan bahwa murka dengan kasih adalah suatu interaksi yang tidak lepas antara menusia dengan satu yang lain.

    Kasih Ilahi pasti jauh melebihi kasih manusiawi, maka lebi dari murka Tuhan lain dengan amarah manusia lazimnya bersifat egois, sedangkan murka Allah yang tidak lepas dari karinduannya akan kebahagiaan obyeknya, yakni manusia.[16] Sebanarnya kasih dan kemarahan sama sekali tidak bertentangan karena kita jarang sekali marah atas sesuatu atau orang yang terhadapnya kita tidak menaruh perhatian yang dalam. Hal yang sama berlaku bagi pandangan profetis tentang murka Allah. ia marah kepada Israel karena ia memperhatikannya dan telah memilihnya.[17] Dalam 1 Yohanes merumuskan bagaiman rupa kasih itu atau apa yang dibuatnya.[18]

    Jika kita membaca di 1 Yohanes 1: 9 mengatakan bahwa: “jika kira mengaku dosa kita, maka ia adalah setia dan adil, sehingga ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan kita”. Tetapi jika kita melihat di terjemahan Alkitab sederhana mengatakan bahwa “tetapi kalau kita mengakui dosa-dosa kita kepada Allah, maka sesuai dengan janjinya, Allah yang sangat adil dan setia itu pasti mengampuni kita dan membersihkan hati kita dari setiap perbuatan jahat yang sudah kita lakukan.”[19]

    Murka Allah adalah suatu yang tindakan yang tidakadilan kepada umat manusia. Murka itu terbagi dua dalam Alkitab yaitu murka Allah dan murka manusia. Murka ini ciri emosianal dan kemarah dan sebaginya. sebagai orang percaya di dalam dunia kekristenan ini, konsep tentang murka Allah kadang menimbulkan reaksi yang kurang positif. Beberapa pihak menunjukkan keengganan ketika mencoba membahas doktrin tentang murka Allah karena doktrin ini dianggap bisa menyebabkan keresahan dan bersifat tidak toleran. Di zaman ini, kita lebih sering dan lebih terbiasa mendengar tentang Allah yang kasih, baik, dan peduli terhadap manusia.

    Dalam hal ini penting bagi kita untuk memahami murka Allah sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sifat Allah yang kudus dan adil. kita sebagai orang percaya mengerti apa itu murka Allah? Murka Allah itu kemarahan Allah yang disadari pertimbangan yang benar-benar mantang yang memancar dari kekudusannya. Murka Allah bukanlah permusuhan yang timbul dari hati yang jahat, melaikan kemarahan yang benar dan tempatnya

Kesimpulan

    Murka Allah adalah ketidakadilan. Murka Allah juga di pahami sebagai suatu reaksi Allah pada suatu tindakan dosa atau tindakan kejahatan manusia. Allah tidak pernah berkopromi dengan dosa karena itu ia akan selalu menghukum setiap tindakan tercela khususnya penyembahan barhala yang masih di partekkan sekarang ini. karena itulah jemaat tidak boleh terpengaruh dan menjauhkan diri dari perbuatan dosa dan penyembahan kepada berhala, serta harus lebih mendekatkan diri pada Allah serta membangun iman yang setia, agar mendapat kehidupan yang terpelihara di dalam kasih Allah.

    Belajar dari teks Yeremia bahwa Allah tidak pernah mentolerir dosa, dan menghacurkan perbuatan dosa di dalam diri setiap manusia, yakni mematikannya dengan kasih karunia-Nya dan meyembuhkan kita kembali dari hal-hal yang jahat, sebesar apapun itu.




DAFTAR PUSTAKA

Albata, Alkitab Perjanjian Baru dalam Terjemahan Sederhana Indonesia, (Jakarta: Yayasan Alkitab Bahasa Kita, 2015)

Berclay, William, Pemahaman Alkitab Setiap Hari: surat Roma, ( Jakarta: Gunung Mulia 2007)

Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru I, (Jakarta: Gunung Mulia, 2008)

Guthrie, Donald, Teologi Perjanjianbaru 1: Allah, Manusia, Kristus, (Jakarkata: Gunung Mulia 2008)

Harry Mowvley, Penuntun ke dalam Nubuat Perjanjian Lama, (Jakarta: Gunung Mulia, 2006)

Harun Hadiwijono, Iman Kristen, (Jakarta : Gunung Mulia, 2007)

Iswara Rintis Purwantara, Sepuluh Ajaran yang Keliru Tentang Kasih ( Yogyakarta : Andi 2018)

I.J. Cairns, Tafsiran Alkitab: Kitab Ulangan Pasal 1-11, (Jakarta: Gunung Mulia, 2008)

Lasor, W,S. Perjanjian Lama 2 (Jakarta : Gunung Mulia 2003)

Novi Huang, Allah yang Berkarya, (Jakarta : Gunung Mulia 2009)

Tony Evas, Teologi Allah: Allah Kita Maha Agung, (Malang: Gandum Mas, 1999)

W. R. F. Browning, Kamus Alkitab(A Dictionary of The Bible): Panduan Dasar ke Dalam Kitab-kitab, Tema, Tempat, Tokoh, dan Istilah Alkitabiah, (Jakarta: Gunung Mulia, 2007),







DOA BUKAN SEKEDAR MEMINTA (Matius 6:5-8)

DOA BUKAN SEKEDAR MEMINTA

Matius 6:5-8

Oleh: Jenny

    Dalam ayat perikopnya di bagi menjadi 5 perikop, yang pertama dalam ayat 1-4 itu berbicara tentang ‘hal memberi sedeka’ disini penekanannya lebih kepada bagaimana cara memberi persembahan yang benar, yang kedua dalam ayat 5-14, berbicara tentang bagaimana cara berdoa yang benar dan ini yang menjadi perenungan kita pada hari ini. Ketiga Ayat 16-18 itu berbicara tentang berpuasa, disini penakanannya tentang bagaimana kita kita berpuasa kita tidak hanya menahan lapar dan haus namun apakah puasa yang kita lakukan itu benar dan seperti yang Tuhan kehendaki. keempat Ayat 19-24 itu berbicara tentang ‘ hal mengumpulkan harta’ bagaimana apa yang sedang menjadi fokus kita dalam mengumpulkan harta. Apa fokus kita adalah mencari kenikmatan yang sementara atau kenikmatan yang kekal . Kelima atau yang terahir dalam ayat 25-34. Berbicara tentang ‘kekuatiran’ penekanannya tentang kepercayaan kita kepada Tuhan, sebab orang yang percaya kepada Tuhan tidak akan kuatir dalam hidupnya.

DOA BUKAN SEKEDAR MEMINTA (Matius 6:5-8) 

    Kalau kita melihat apa itu doa, Alkitab mengatakan bahwa doa adalah nafas hidup orang percaya, doa juga adalah alat komunikasi antara umat-Nya dengan Tuhan. Calvin juga berpendapat bahwa doa adalah nafas hidup orang percaya. Dengan kata lain doa menjadi kebutuan setiap orang percaya dan itu harus menjadi gaya hidup kita. Dengan doa juga kita bisa menaikan permohongan kita kepada Tuhan agar dengan harapan bahwa Tuhan akan menjawab pergumulan kita. Seorang Derek Prince mengatakan bahwa doa merupakan saar paling utama bagi orang kristen dalam memasuki hadirat Tuhan dengan Tujuan untuk mendapatkan pertolongan dari Tuhan.

MEMPERBAHARUI PEMAHAMAN YANG SALAH TENTANG DOA (Ayat 5-6)

Penjelasan.

    Kebanyak orang salah memahami tentang doa, kalau kita melihat latar belakang penulisannya. Kitab ini ditujuhkan kepada orang yahudi. Dalam teks ini dimulai dari kata jangan berdoa seperti oang munafik. Siapa orang munafik yang dimaksuda disini? Yaitu orang yahudi. Kenapa orang yahudi disebut sebagai orang munafik Kalau kita melihat orang yahudi adalah orang yang sangat mengutamakan yang namaya doa. bahkan mereka mempunyai waktu-waktu tertentu untuk berdoa yaitu jam 9, jam 12, jam 15 atau jam 3 sore. Namun ada yang salah dengan cara mereka mereka melakukan sesuatu baik itu memberi sedeka bahkan berdoa tujuannya adalah untuk dilihat orang, Karena mereka yang memiliki konsep doa yang seperti ini membuat mereka berada dimana pun pada jam ini maka mereka akan berdoa baik itu di jalan atau dimana pun tujuannya untuk dilihat orang dengan kata lain mereka melakukan hal itu dengan ada suatu maksud tersembunyi dalam hati mereka, dan hal ini mereka sudah dapatkan bagaiannya diamana mereka suda h mendapatkan penghormata namun tidak mendapatkan apa-apa dari Tuhan karena memiliki konsep yang salah akan doa membuat doa itu seperti formalitas saja, yang tidak memiliki makna sama sekali. Dalam ayat 6 menjelaskan tentang bagaimana kita harus berdoa yaitu dengan masuk kekamar kita dan bedoa kepada bapa yang ditempat tersembunyi maksudnya adalah Tuhan mau agar anak-anak-Nya yeng berdoa bukan sesuatu pertunjukan di muka orang melainkan pembicaraan yang sungguhh-sungguh di tempat tersembunyi.kita mengkhususkan waktu kita untuk bersekutu dengan Tuhan karena doa bukan hanya sekedar meminta atau menyampaikan apa yang mejadi kerinduan kita kepada Tuhan.
    Namun dalam doa kita ada hal harus kita perhatikan yaitu apakah dalam doa kita ada relasi atau hubungan yang intim dengan Tuhan apakah dalam doa kita merasakan kehadia. Yang Tuhan harapkan adalah waktu kita berdoa hubungan kita dengan Tuhan itu seperti seorang anak dan ayah.dimana ketika seorang anak meminta sesuatu kepada ayahnya diakan meminta dengan penuh harapan bahwa ayahnya akan meberikan apa yang dia minta. Sama halnya kita dengan Tuhan apakah doa kita betul-betuk kita berharap kepada Tuhan ataukha sekedar kita upackan seperti yang di lakukan oleh orang yahudi. Konsep yang salah tentang doa membuat kita mengerti makna dan tujuan kita berdoa kepada Tuhan.

MEMPERBAHARUI PEMAHAMAN TENTANG ALLAH. AYAT 7-8

    Dalam pasal 7 menjelaskan kepada kita bahwa janganlah kita berdoa seperti orang yang tidak mengenal Allah. Karena Allah kita adalah Allah yang maha tahu, maha mengenal, orang yang tidak mengenal Allah orang yang berdoa dengan bertele-tele atau panjang, namun bukan maksudnya bahwa kita tidak boleh berdoa dengan panjang-panjang, namun Tuhan mau adalah dalam doa kita itu ada ketergantungan antara kita dengan Allah. Dalam teks ini Yesus mengunakan gela bapa , dengan kata lain sebagai para pengikutnya bisa memanggil dia dengan sebutan bapa agar kita dapat mendekat kepada-Nya dengan kepercayaan yang penuh seperti seorang anak yang percaya kepada bapanya.
        Namun pemahaman yang salah tentang Allah mempengeruhi pandangan kita tentang kemahakuasaan Allah pada hal dalam ayat 8 dikatakan bahwa Allah mengetahui sebelum kita memimta, Allah kita bukan Allah yang harus paksa-paksa untuk menjawab doa kita, Dia dalah pribadi yang penuh dengan kasih yang akan memberikan anugerahnya kepada kita saat kita meminta dengan sepenuh hati. Namun terkadang manusia berdoa seperti orang yang tidak mengenal Allah. Allah tidak perna mengatakan bahwa yang dijawab daonya adalah orang yang paling panjang doa sampai menulisakan doanya di kertas agar banyak. Allah kita bukan Allah yang seperti itu. Tampah kita berdoa pun Than sudah tahu masalah kita, pergumulan kita. Namun yang terpenting dalam doa adalah bagaimana kita mengantukan diri kita kepada Tuhan.  Dalam ayat selanjutnya 9-10 Yesus memberikan contoh doa yang pendek namun memiliki makna yang sangat dalam

Kesimpulan

    Doa bukan sekedar meminta namun ada relasi antara orang yang berdoa dengan Tuhan. Dalam doa kita juga perlu kita ketahui bahwa doa bukan sekedar kita ucapkan seperti orang yang tidak mengenal Allah. Allah tidak menghendaki doa yang panjang namun tidak berfokus kepada Tuhan.

Teologi Kitab 1 dan 2 Raja raja


Teologi Kitab 1 dan 2 Raja raja

1. Kerajaan Allah dan Kerajaan Daud

    Setelah seseorang membaca mulai dari judul I dan II Raja-Raja sampai pada kisah tentang raja Yehuda terakhir, maka terlihat tema kerajaan sangat menonjol. Kedua kitab menceritakan perkembangan kerajaan-kerajaan, pertama di Israel, kemudian Yehuda sampai kehancuran kerajaan-kerajaan asing.

Teologi Kitab 1 dan 2 Raja raja

    Bagaimanapun juga, fokus perhatian terhadap kedua kerajaan ini bukan hanya kepada lembaga-lembaga politiknya. Seperti dinyatakan CE Keil, “Perkembangan historis kerajaan atau lebih tepatnya kerajaan Allah melalui raja-raja, menjadi inti persoalan dalam kedua kitab ini."73 Secara saksama keduanya melaporkan nasib kehidupan rohani dua bangsa, dan menunjukkan bagaimana nasib kehidupan politik mereka terkait dengan kondisi kerohaniannya.
    Figur Daud sebagai raja memberikan gambaran mengesankan dan membekas di seluruh halaman kitab I dan II Raja-Raja. Secara lahiriah dia ditampilkan hanya dalam kedua pasal pertama I Raja-Raja (di sana dia dalam keadaan lemah), namun Kitab I Raja-Raja dengan jelas bermaksud menyambung bagian penutup Kitab II Samuel. Klimaks dari kitab ini ada pada II Samuel 7, di mana Nabi Natan menyatakan Perjanjian Allah kepada Daud. Seperti dicatat dalam pasal sebelumnya, ini merupakan janji-janji tanpa syarat kepada Daud tentang pemberian kerajaan secara turun-temurun kepada dinastinya, sekaligus memperkenalkan konsep raja sebagai “anak” dari Allah Sendiri.
    Kitab Raja-Raja menunjukkan bagaimana janji-janji kepada Daud ini digenapi dalam sejarah. Di sini kita melihat, meskipun banyak pembunuhan terjadi di Israel dan berulang-ulang dinasti baru menguasai kerajaan, namun kerajaan Yehuda dan kekuasaan dinasti Daud tetap berlanjut. Rumusan khas dari akhir masa pemerintahan tiap-tiap raja Yehuda menyatakan bahwa mereka dikuburkan “di samping nenek moyangnya di Kota Daud, bapa leluhurnya.” Memang banyak keturunan Daud yang berlaku jahat, tetapi janji-janji Allah untuk memelihara kelanjutan dinasti Daud tidak pernah diingkari.
    Selanjutnya, penulis I dan II Raja-Raja secara khusus menunjukkan bahwa kesinambungan tetap terpelihara, bukan hanya dalam hubungan silsilah atau keturunan yang bisa dilihat, tetapi juga dengan keterangan-keterangan yang jelas." Berkali-kali pengarang menyatakan bagaimana Allah menunjukkan panjang sabarnya demi hamba-Nya Daud. 80 Pada peristiwa-peristiwa lain, disebut bagaimana Daud telah menerima janji-janji Allah.
    Wujud lahiriah kerajaan Israel dan Yehuda - khususnya Yehuda. menjadi simbol kerajaan Allah sendiri. Raja - sebagai anak dan Allah (Il Sam. 7:14) - adalah wakil Allah di bumi. Jika tidak ada lagi raja maka bangsa pun tidak ada.
    Jadi, jika nasib baik dari kehidupan rohani maupun politik kerajaan Daud hilang, demikian juga dengan Kerajaan Allah di bumi. Itu bukan karena dalam diri Daud atau kerajaannya ada kebaikan khusus melainkan karena Allah telah memilih dia dan menjadikannya pelaksana tujuan-Nya di bumi ini. Pada hampir seluruh bagian I dan Ji Raja-Raja ada satu fakta menyedihkan, yaitu nasib kehidupan rohani yang dialami bangsa ini.

2. Harapan dan Anugerah Allah Untuk Masa Depan

    Pesan penuh harapan. Yang terkait pada gagasan mengenai Kerajaan Allah dalam I dan II Raja-Raja adalah gagasan tentang karunia Allah. Berbeda dengan Martin Noth (lihat di atas), pesan dari Kitab I dan II Raja-Raja bukan bersifat negatif, atau menjelaskan tentang keruntuhan kedua kerajaan. Sebaliknya, ada pesan positif yang kuat di seluruh bagian kedua kitab. Pesan ini bisa dinyatakan dalam berbagai bentuk, misalnya G. von Rad menegaskan adanya tema “mesianik” (“penyelamatan”), sementara H.W. Wolff menekankan tentang pertobatan, sedang W. Brueggenmann menyebutnya anugerah (kemurahan) Allah, dan J.G. McConville merumuskan sebagai harapan (lihat catatan 31-34).
    Misalnya, penekanan kedua kitab janji-janji kepada Daud yang penuh rahmat merupakan pesan tentang harapan bagi umat Allah, khususnya gagasan yang menganggap janji-janji itu “untuk selama-lamanya” (II Sam. 7:13, 16; I Raj. 2:45; 9:5; II Raj. 8:19). Figur Daud selalu menjadi “pertimbangan” bagi Tuhan saat menyatakan kemurahan-Nya bagi keturunannya di Yerusalem (I Raj. 11:36; 15:4; II Raj. 8:19).
    Bagaimanapun juga, pesan tentang harapan tidak dikaitkan semata-mata kepada Daud. Pada bagian awal I Raja-Raja ada satu isyarat penting, di mana Salomo (dalam doa yang indah saat penahbisan Bait Suci) mengakui bahwa orang-orang buangan akan kembali suatu saat (8:46-53) dan memohon belas kasihan Allah. Dia melakukan ini bukan karena janji-janji Allah kepada Daud, tetapi untuk kedua kalinya menunjuk ke belakang pada zaman Musa dan pada status Israel sebagai umat pilihan Allah sejak saat itu (ay. 51, 53). Bagian akhir kitab ini (II Raj. 25:27-30) adalah yang terpenting dalam kaitannya dengan pesan tentang harapan pada masa depan. Sementara catatan tentang hal-hal yang negatif (menceritakan kehancuran Yerusalem) begitu menonjol pada bagian akhir Kitab II Raja-Raja. Itulah sebabnya empat ayat terakhir kitab ini menceritakan tentang Yoyakin, raja Yehuda terakhir - yang telah ditawan dalam pengasingan pada tahun-tahun sebelumnya - kini dilepaskan dari tahanan dan diperlakukan baik oleh raja Babel. Sebenarnya, dia diberi tempat lebih terhormat dibanding rajaraja lainnya yang juga ditawan ke Babel (25:28). Kebanyakan sarjana mengabaikan keterangan tambahan di bagian akhir ini, sebab dianggap kurang cukup berbobot” untuk mengimbangi nada negatif yang terlihat menonjol di seluruh bagian Kitab I dan II Raja-Raja. 82 Bagaimanapun, hal itu tidak bisa diabaikan sama sekali, dan perlu dianggap sebagai upaya memberikan sedikit harapan kepada orang-orang dalam pengasingan bahwa raja mereka masih hidup dan bahwa janji-janji luar biasa kepada Daud sama sekali tidak hilang. 83
    Tentang syarat dan anugerah cuma-cuma dalam I dan II Raja-Raja. Kita bisa melihat, bahwa dalam kedua kitab ini terdapat pertentangan penekanan antara janji Allah tanpa syarat kepada Daud dengan tuntutan yang harus dipenuhi raja-raja keturunan Daud untuk mendapatkan berkat Allah sepenuhnya. Kita perlu mengakui perikop-perikop yang menyatakan bahwa kerajaan akan diberikan kepada keturunan Daud “selamalamanya" dan pernyataan dalam II Samuel 7:15-16: “Tetapi kasih setiaKu tidak akan hilang dari padanya, seperti yang Kuhilangkan dari pada Saul, yang telah Kujauhkan dari hadapanmu. Keluarga dan kerajaanmu akan kokoh untuk selama-lamanya di hadapan-Ku, takhtamu akan kokoh untuk selama-lamanya." "84
    Namun, di sisi lain ada banyak petunjuk dalam I dan II Raja-Raja tentang syarat bagi pemenuhan janji-janji ini. Dari pernyataan dalam II Samuel 7:14 - “Apabila ia (anak Daud) melakukan kesalahan, maka Aku akan menghukum dia dengan rotan yang dipakai orang dan dengan pukulan yang diberikan anak-anak manusia” - kita mengetahui bahwa janji-janji Allah bukan diberikan tanpa syarat sehingga rajaraja boleh berbuat apa saja yang mereka kehendaki. Hal ini terlihat khususnya dalam “Perjanjian Salomo,” di mana janji-janji kepada Daud diucapkan kembali kepada Salomo, namun dengan syarat-syarat penting mengenai integritas (kejujuran), keadilan, dan ketaatan sebagai tuntutan agar negeri tetap jadi miliknya (1 Raj. 9:2-9; lih. juga 2:4). Jika Israel berkali-kali tidak taat, dan jika bangsa ini melanggar ketetapan-ketetapan dalam Perjanjian Musa, mereka bisa kehilangan negerinya. Pada akhirnya, demikian juga dengan Israel dan Yehuda akan kehilangan negerinya, di sini si penulis mengaitkan hal itu dengan ketidaksetiaan mereka II Raj . 17:7-23; 24:3-4).
    Menyinggung tentang Perjanjian Daud yang mengabaikan syarat dengan Perjanjian Musa yang mengutamakan syarat, menimbulkan tuntutan-tuntutan betapa masing-masing raja harus bertanggung jawab mematuhi perjanjian itu agar berkat atau anugerah Allah bagi mereka tidak hilang. 85 Bagaimanapun juga, janji-janji itu sendiri tidak akan pernah tidak berlaku; pada akhirnya maksud Allah tentu tetap digenapi oleh kesinambungan kekuasaan garis keturunan Daud, kitab I dan II Raja-Raja sendiri menguatkan hal ini.
    Keberadaan anggota keturunan Daud dalam II Raja-Raja 25 memberikan harapan kepada Israel, namun kedudukannya - sebagai wakil Allah - yang lebih lemah secara efektif menjadi peringatan, bahwa pada akhirnya Allah-lah yang harus menjadi tumpuan kepercayaan bangsa Israel. Hanya melalui anugerah Allah, maka Yoyakhin atau raja-raja lainnya tetap bertahan.

3. KOMITMEN TERHADAP PERJANJIAN

    Seperti baru saja dicatat, raja (dan rakyat) dituntut menaati perjanjian yang Allah buat bersama Israel di Sinai. Itu dinyatakan jauh sebelumnya oleh Kitab Ulangan 17:18-19 yang menyebut tentang raja, dan perkara yang harus diperhatikan terus-menerus di seluruh kerajaan. Salomo diperintahkan menaati perjanjian itu (1 Raj. 3:14), sementara itu kejatuhan kerajaan di utara secara eksplisit dikaitkan dengan ketidaktaatan terhadap perjanjian tersebut (II Raj. 17:7-23; 18:12).
    Di antara raja-raja dalam I dan II Raja-Raja, yang mendapat pujian paling baik adalah Hizkia dan Yosia. Dikatakan bahwa keduanya menaati ketetapan-ketetapan dalam Hukum Musa:
    Ia percaya kepada Tuhan, Allah Israel, dan di antara semua rajaraja Yehuda, baik yang sesudah dia maupun yang sebelumnya, tidak ada lagi yang sama seperti dia. Ia berpaut kepada Tuhan, tidak menyimpang dari pada mengikuti Dia dan ia berpegang pada perintah-perintah Tuhan yang telah diperintahkan-Nya kepada Musa. (II Raj. 18:5-6)
    Sebelum dia tidak ada raja seperti dia yang berbalik kepada Tuhan dengan segenap hatinya, dengan segenap jiwanya dan dengan segenap kekuatannya, sesuai dengan segala Taurat Musa; dan sesudah dia tidak ada bangkit lagi yang seperti dia. (II Raj. 23:25)86
    Penilaian terhadap Yosia penting artinya. Di seluruh Perjanjian Lama, hanya sekali susunan kalimat yang tepat digunakan di sini - "dengan segenap hatinya dan dengan segenap jiwanya dan dengan segenap kekuatannya” muncul - yaitu dalam Ulangan 6:5, di mana Allah memerintahkan umat-Nya untuk “mengasihi Tuhan dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.” Seperti ditunjukkan Gerald Gerbrandt, Yosia dipuji dengan “ungkapan yang timbul dari pemahaman Israel tentang apa yang diharapkan Allah dari bangsa ini. Allah menuntut Israel menaati ketetapan yang terangkum pada perintah dalam Ulangan 6:5 yaitu untuk mengasihi Tuhan dengan segenap keberadaannya.”87 Yosia membaca dari Kitab Perjanjian (II Raj. 23:2), dia membaharui perjanjian itu (23:3), dan merayakan Paskah menurut perintah-perintah dalam Kitab Perjanjian (23:21).

4. PERSPEKTIF KENABIAN

    Di samping perhatian yang khusus terhadap raja-raja Israel dan Yehuda dalam I dan II Raja-Raja, terdapat penekanan serupa terhadap perspektif kenabian. (Lihat juga bagian di atas berjudul “Nabi-Nabi dan Nubuat dalam Kitab I dan II Raja-Raja"). Sebenarnya, satu karya mutakhir yang berpengaruh menganggap ada satu dokumen besar dinamakan "Catatan Para Nabi” (Catatan Kenabian) mulai dari Kitab I Samuel 1 sampai II Raja-Raja 10, pada bagian Kitab Suci ini terdapat perspektif kenabian yang menonjol.  Istilah nabi-nabi muncul sembilan puluh empat kali dalam I dan II Raja-Raja, sedang istilah "abdi Allah" (gelar kenabian) muncul enam puluh kali . Dalam I dan II Raja-Raja, para nabi selalu muncul untuk mengutuk raja-raja, dan mereka bertindak sebagai juru bicara Allah terhadap raja-raja ini maupun terhadap orang lain. Penggenapan atas apa yang dinubuatkannya juga merupakan bagian penting dari pesan I dan II Raja-Raja.
    Kutukan para nabi. Alkitab sering menggambarkan nabi seperti seorang sedang marah dan mengutuk pendirian yang mempengaruhi raja, dan banyak nabi dalam I dan II Raja-Raja cocok dengan gambaran seperti itu. Selain itu, para nabi secara konsisten menyampaikan sabda Allah untuk menyinggung situasi khusus. Contohnya antara lain: Ahia, nabi yang bernubuat bahwa Yerobeam akan mendapatkan sepuluh suku Israel (I Raj. 11), dan kemudian mengutuk karena ketidaktaatannya (ps. 14); Nabi Elia beberapa kali tanpa rasa takut menentang Ahab dan Izebel (ps. 17-19, 21), dan nabi Mikha juga menentang Ahab, meskipun menghadapi banyak musuh (ps. 22). Nabi-nabi ini mengutuk raja karena mereka tidak mau mengikuti ketetapan dalam Perjanjian Musa untuk taat dan setia hanya kepada Allah.
    Di samping penelusuran singkat terhadap tiap nabi dalam kitabkitab ini, kita melihat penulis I dan II Raja-Raja memberikan penilaian kepada raja-raja dengan kata-kata yang mengingatkan kepada ucapanucapan para nabi. Keruntuhan kedua kerajaan secara jelas diungkapkan dengan kata-kata seperti itu (II Raj. 17:7-23; 24:3-4), dan masing-masing raja secara konsisten dinilai apakah mereka benar di mata Tuhan atau mengikuti leluhurnya yang jahat dan berbakti kepada ilah-ilah lain.
    Penggenapan nubuat para nabi. Kita telah mencatat arti penting nubuat (perkataan kenabian) dan penggenapannya dalam I dan II RajaRaja (lihat bagian di atas yang berjudul “Karakteristik dan Tugas Nabi,” dan catatan 60-61). Pemberitaan firman Allah melalui para nabi, dan keterangan langsung tentang penggenapannya adalah bagian penting dari teologi kitab I dan II Raja-Raja.

5. PERTOBATAN DAN HUKUMAN

    Orang tidak dapat beranjak dari bacaan I dan II Raja-Raja tanpa mendapat kesan bahwa hukuman memainkan peranan utama dalam kedua kitab ini. Setelah kesatuan Israel terpecah menjadi dua kerajaan sebagai hukuman atas ketidaksetiaan Salomo kepada Allah (1 Raj. 11), dan keduanya jatuh di bawah kekuasaan asing sebagai hukuman atas dosa-dosa mereka (II Raj. 17:7-23; 24:3-4). Sejarah kedua bangsa mengikuti lintasan yang panjang dan menggelincirkan. Bagi para sarjana seperti Martin Noth, alasan mutlak (raison d'être) enu an kedua kitab ini adalah tema yang menjurus kepada kemerosotan serta tema menonjol tentang hukuman yang menyertainya. Bagaimanapun, seperti telah kita lihat, itu merupakan satu pandangan yang terlalu pesimistik.
    Menyertai tema tentang hukuman adalah pemberitaan yang menekankan pertobatan. 89 Akar kata SWB dalam bahasa Ibrani yang biasanya diterjemahkan “pertobatan” dan mengandung pengertian “berbalik” dari kejahatan kepada kebaikan. Kita bisa menemukan gagasan seperti itu begitu menonjol pada perikop-perikop kunci dalam Kitab I dan II Samuel serta I dan II Raja-Raja.
    Sebagai contoh, dalam kotbah perpisahannya, Samuel menasihati rakyat untuk taat kepada Tuhan (1 Sam. 12:14-15), dan dia mendesak mereka agar tidak “menentang Tuhan” serta tidak “mengejar dewa kesia-siaan yang tidak berguna” (ay. 20-21). Dalam doa penahbisan Bait Suci (I Raj. 8), lima kali Salomo menyebut bangsa ini (ay. 33, 35, 36, 47, 48, 58) berbalik kepada Allah (yakni “bertobat”). Tema yang diulang-ulang dalam doa ini adalah permohonan agar Allah memperhatikan umat-Nya ketika mereka berbalik kepada Dia dan berseru kepada-Nya, disebut sebanyak tujuh kali (ay. 30, 32, 34, 36, 39, 43, 45) dia memohon Allah untuk “mendengarkannya di surga" dan mengasihani mereka.
    Dalam tinjauannya yang bagus dan ringkas tentang bagaimana Israel bisa jatuh ke tangan Asyur, penulis menyebutkan kembali apa yang telah berulang-ulang dikatakan Allah kepada umat-Nya: “Berbaliklah kamu dari jalan-jalanmu yang jahat itu dan tetaplah ikuti segala perintah dan ketetapan-Ku, sesuai dengan segala undangundang yang telah Kuperintahkan kepada nenek moyangmu dan yang telah Kusampaikan kepada mereka dengan perantaraan hambahamba-Ku” (II Raj. 17:13). Dan melalui pujian yang tinggi terhadap Yosia, penulis memberi tahu kita bahwa tidak ada seorang pun seperti raja ini yang “berbalik kepada Allah dengan segenap hatinya” (23:35). Allah atau
    Seruan pertobatan ini bersumber pada kemurahan kebaikan-Nya. Artinya, Israel harus mempunyai tempat berpaling dan itu adalah Allah serta kebaikan yang menjadi karakter-Nya. Walter Brueggemann telah memperlihatkan bahwa tema tentang kebaikan Allah bisa ditemukan pada tahap-tahap kritis di seluruh Kitab Ulangan dan kitab-kitab selanjutnya."
    Dalam Kitab I dan II Raja-Raja, Salomo menegaskan tentang “janjijanji baik” Allah (harfiah, "segala yang baik yang telah dijanjikan") dan bahwa tidak satu pun yang tidak dipenuhi (I Raj. 8:56), janji serupa juga dinyatakan pada zaman Yosua (Yos. 21:45; 23:24-25). Ungkapan “segala yang baik yang telah dijanjikan” dalam pernyataan Salomo bukan hanya berorientasi pada masa lalu; ayat 57 melihat ke depan: “Kiranya Tuhan, Allah kita, menyertai kita sebagaimana la telah menyertai nenek moyang kita; janganlah la meninggalkan kita dan janganlah Ia membuangkan kita."
    Brueggemann mencatat bagaimana “janji-janji baik” Allah dinyatakan dengan cara-cara yang nyata atau bisa dilihat melalui garis keturunan Daud dalam I dan II Raja-Raja, 91 ini mengingatkan kita ke belakang pada tema tentang kerajaan Daud dan Kerajaan Allah yang telah dibahas di atas. Allah bukan hanya memberikan “janji-janji baik” kepada Israel, tetapi juga “segala kebaikan”, dan ini membuat mereka bersuka cita dan bergembira (I Raj. 8:66). Bahkan pada akhir Kitab II Raja-Raja, kita melihat bagaimana raja Babel berbicara secara baik-baik dengan Yoyakhin (25:28); arti harfiah istilah yang kita bicarakan ini adalah “baik,” seperti yang ditekankan Brueggemann, “Seisi rumah atau keturunan Daud tetap menjadi penerima kebaikan 'Yahweh'."

Raja Raja yang Memerintah Israel dalam Catatan Kitab 1 Raja raja dan 2 raja raja

Raja Raja yang Memerintah Israel dalam Catatan Kitab 1 Raja raja dan 2 raja raja.

1. Daud

Dalam Catatan 1 dan 2 Raja raja, Raja Daud digambarkan dalam keadaan lemah di masa tuanya.  Daud dalam keadaan sakit dan terbaring. Oleh karena itulah kemudian ia mengangkat Salomo menjadi raja, supaya tidak ada perebutan tahta diantara anak-anaknya, karena sebelumnya Daud telah berjanji melalui nabi Natan bahwa melalui keturunan Batsyebalah pengganti raja Daud.  Hal inipun akhirnya digenapi oleh Daud sesuai dengan janji Itu di hadapan Tuhan.

Raja Raja yang Memerintah Israel dalam Catatan Kitab 1 Raja raja dan 2 raja raja

2. Salomo

    Salomo mengantarkan Israel kepada masa keemasan. Keberhasilan Salomo:
- dilengkapi oleh Tuhan dengan karunia
- hikmat - mendatangkan kedamaian, kekayaan dan kemakmuran, kemulian dan kemegahan yang tidak pernah terjadi sebelumnya
- mencapai kemasyuran secara international sebagai ahli bangunan dan bijaksana - seorang yang tekun menyelidiki bermacam-macam kesenian dan ilmu pengetahuan Salomo adalah anak Daud dari isterinya yang bernama Batsyeba. Nama lain Salomo adalah Yedija yang artnya "dikasihi oleh Yahweh”).

Salomo akhirnya mengalami kemunduran di bidang politik dan kemerosotan moral dan rohani karena:

a. Dikuasai oleh hawa nafsu dan materilalisme sehingga mengijinkan dirinya menjadi sasaran bujuk rayu wanita-wanita asing dalam haremnya"
b. Penyembahan berhala
c. Kesalahan berbagai kebijakan dan program dalam mengelola urusan negara, seperti:
- persekutuan politik dengan bangsa-bangsa asing melalui perkawinan (1 Raja 3:1-2) sinkritisme keagamaan dalam usaha memenuhi tuntutan baik penduduk Kanaan maupun orang Israel (1 Raja 11:1-8) Peningkatan birokrasi pemerintah (1 Raja 4:22-28) Program pembangunan yang mewah yang menuntut kerja paksa dari penduduk Israel maupun non Israel (1 Raja 9:15-22; 5:13-18; 12:9-11) Gelombang politik kafir dan ideologi keagamaan kafir sebagai akbat perdagangan internasional (1 Raja 9:26-28; 10:22-29)
- Salomo memiliki 300 istri dan 700 gundik.
- pembagian Israel secara geografis menjadi 12 distrik administrasi dalam usaha untuk menghapuskan batas-batas wilayah dan kesetiaan yang lama pada masingmasing suku (1 Raja 4:7-19)/ suatu perbuatan yang serupa dengan apa yang terjadi dalam politik modern.
- Pemberontakan dari Negara-negara satelit menyebabkkan merosotnya upeti dari luar negeri sehingga dialihkan kepada bangsa Israel dengan memungut pajak yang tinggi
- Menulis banyak amsal, sekitar 375 amsalnya terdapat dalam PL, menulis 1005 kidung. Pembangunan bait Allah sangat mencengangkan dalam segala kemegahannya. Ditaksir biayanya dalam uang modern 5 milyar US Dollar. Memakai pekerja 30.000 orang Israel; 153 orang Kanaan.

Suksesi Dinasti dan Kepemimpinan Karismatik

    Ketika terpecah, kerajaan Selatan hanya terdiri dari dua suku, yaitu Yehuda dan Benyamin. Pola jabatan raja adalah pola suksesi dinasti, yaitu pola yang menuntut hak atas kekuasaan raja secara turuntemurun. Sedangkan kerajaan Utara yang terdiri dari 10 suku menggabungkan pola suksesi dinasti dari jabatan raja dengan pola kepemimpinan karismatis sebagaimana yang berlaku pada zaman Hakimhakim. Suksesi dinasti di Utara itu bersyarat, dimana hak keluarga raja yang memerintah bergantung dari ketaatan pada ketetapan Allah. Kegagalan atasnya mengakibatkan nabi Allah mengumumkan malapetaka atas seisi rumah raja.

Keruntuhan Israel

    Sejak perang Qarqar (853 SM)[1], Asyur telalh menjadi kekuatan yang mulai mengancam. Ancaman itu tidak luput dari pikiran orang Israel. Raja-raja Israel memberi respon yang berbeda, misalnya Ahab memilih bergabung dengan Benhadad I untuk menghambat gerakan Salmaneser ke arah barat dan Yehu memilih membayar upeti kepada Asyur, dsb.
    Walaupun dalam masa Yerobeam II (793-753 sM), Israel agak lega karena Asyur bertempur di tempat lain, tetapi ancaman itu semakin berbahaya ketika masa Tiglat Pileser III (752-742 SM). Tekanantekanan bukan saja berasal dari luar bersamaan dengan ketidakstabilan di dalam negeri. Menahem (752-742 SM), Pekah (742 SM) dan Hosea (732-721) menghadapi penyerbuan Asyur dan harus memilih antara membayar upeti atau dibinasakan (2Raja 15:19,29; 17:3-6).
    Hosea menyerah pada tuntutan Tiglat Pileser untuk menyerahkan upeti. Ketika Salmaneser V menggantikan Tiglat Pileser, Hosea mencoba bangkit melawan Asyur dengan meminta pertolongan pada Mesir. Akan tetapi Mesir terlalu lemah untuk memberi bantuan (2 Raja 17:4). Salmaneser menyapu Israel dan membumihanguskan Samaria. Pengganti Salmaneser V, yaitu Sargon II (722-705 SM) mentuntaskan penaklukan atas Israel (721 SM) dan dengan demikian Israel telah runtuh dan tidak pernah bangkit lagi (2 Raja 17:1-6). Pasal 17 adalah jeda dari penulis untuk berhenti sejenak melihat puing-puing kerajaan yang pernah megah dan merenungkan tentang masa-masa itu. Dengan gaya propetik, penulis melihat Asyur sebagai alat Allah belaka yang harus mengadili Israel yang tak terkendalikan dan kemerosotan moral yang tak pernah dipulihkan.

Keruntuhan Yehuda

    Raja Yehuda pada umumnya mencoba menyuap Asyur. Stabilitas dinasti Kerajaan Selatan relatif stabil dibandingan dengan Utara. Ini disebabkan karena kebiasaan memerintah bersama, yaitu sang raja akan menaikan puteranya ke atas tahta sebelum ia meninggal. Hal ini mencegah kesulitan-kesulitan seperti yang dialami menjelang kematian Daud.
    Keruntuhan Israel tidak hilang dari ingatan Hizkia yang menjadi raja pada waktu yang bersamaan dengan Ahas (729-687 SM). Atas dorongan nabi Yesaya, ia mengupayakan dua hal yang patut dihargai, yaitu mematahkan dominasi Asyur di barat dan membersihkan agama Yehuda dengan menghapuskan mezbah dan kuil Kanaan dan Asyur. Tetapi keinginan Hizkia untuk bergabung dalam pemberontakan dengan bangsa Mesir mengundang kekuatiran nabi Yesaya. Yesaya menyadari masalah Yehuda tidak dapat diselesaikan begitu saja dengan memberontak terhadap Asyur. Memberontak berarti kalah dari dua segi, yaitu:

1. Yehuda akan menghadapi penyerbuan Asyur
2. Kepercayaan kepada Tuhan akan dikompromikan lagi dengan Mesir dan sekutusekutunya yang menyembah berhala. Kekuatiran Yesaya diungkapkan dalam suatu nyanyian kesengsaraan yang mengancam akan datangnya hukuman Tuhan (Yes 30:1-3). persekutuan Hizkia dengan utusan Babel dilihat oleh Yesaya sebagai bencana. Karena dengan segera Sanherib berhasil menaklukan raja Babel (Merodakh Baladan) bahkan menumpas pemberontakan di Tirus, Yope dan Askelon juga mengalahkan tentara Mesir yang bergerak ke utara untuk membantu pemberontak. 2 Raja 18:13 melaporkan serangan Sanherib atas Yehuda. Tetapi kali ini oleh pertolongan Tuhan, Yehuda belum jatuh.
Bahkan Tindakan MAnasye membuatnya berkonfrontasi langsung dengan para nabi kebenaran. Tidak akan ada Nabopolassar dan sekutunya Asyur justru kini dibawah pimpinan Firaun Nekho mendukung Asyur melawan Babilonia dan Media. Yosia melihat ini sebagai ancaman terhadap kekuasaannya. Dengan berani ia maju ke Megido untuk menyerang.
    Manasye yang menggantikan Hizkia justru bekerjasama dengan Asyur. Kepatuhan dalam bidang politik disertai pula dengan berpalingnya orang Israel kepada penyembahan berhala. Ia membangun kembali bukit-bukit pengorbanan, mezbah-mezbah dan patung-patung, termasuk patung Asyera dalam rumah Allah yang dibangun Salomo. Ritus Astrologi Asyur dirayakan dan semua sihir serta ramalan dipraktekan. Manasye mempelopori penyesatan dan penumpahan darah orang yang tidak bersalah. lagi janji bahwa Yerusalem dan Bait Allah akan diselamatkan seperti yang diberitakan Yesaya (2 Raja 21:13), Zefanya menggambarkan dengan jelas kebobrokan Manasye dalam Zefanya 1:1-9) Setelah Amon, putra Manasye meninggal, ia digantikan oleh Yosia. Yosia hidup pada masa Asyur sibuk dengan tekanan militer dan politik dalan negeri dan di daerah sekitarnya. Yosia terkenal karena usahanya untuk menghidupkan kembali kepercayaan kepada Tuhan Allah yang benar dan mengatur politik Yehuda. Penemuan Taurat lebih penting bagi Yosia dari pada perubahan politik pada saat itu.14 Kitab tersebut memberikan kepadanya spirit dan arah yang sangat perlu untuk memulihkan apa yang dirusak oleh Manasye. Pembaharuan itu walaupun berhasil dalam banyak bidang tetapi dalam 2 Raja 23L26 memastikan bahwa itu belum cukup membuat surut murka Allah dari Yehuda. Hukuman sangat diperlukan sehingga raja yang baik pun tidak dikecualikan. Situasi internasioanl pada akhir abad 7 sM sangatlah rumit. Asyur berada diambang kehancurannya yang dipercepat dengan orang Media. Kemudian kekuatan Mesir yang dulu berusaha melawan menghadang Nekho yang bergerak kea rah Efrat melawan Babilonia di bawah pimpinan Nebukadnessar. Yosia terbunuh dalam pertempuran itu. Kematian Yosia memastikan jatuhnya penghukuman atas Yehuda. Pengganti-penggantinya hanya berkuasa menurut syarat-syarat maharaja dari Mesir atau Babel.
    Pertamanya Yehuda berada di bawah kekuasaan Mesir. Raja Yehuda, Yoyakim hanya menjadi boneka dan memaksakannya untuk membebani rakyatnya dengan pajak yang hampir tak terpikulkan untuk membayar upeti (2 Raja 23). Tetapi hanya bertahan selama beberapa tahun (609-605 SM). Nebukadnesar mengalahkan Nekho di Karkemis. Yoyakim digantikan puteranya, Yoyakhn dan menjadi tawanan yang dibawah ke Babel.
    Semua persekutuan militer asing merupakan hal yang terkutuk bagi para nabi, khususnya dengan Mesir karena hal itu dipandang sebagai penolakan terhadap peristiwa Keluaran. Allah telah membuktikan diri-Nya sebagai yang berkuasa atas Firau melalui tulah-tulah dan peristiwa Laut Teberau. Dengan bergantung pada bantuan Mesir, berarti Yehuda telah memalingkan diri dari peristiwa Keluaran dan tidak percaya lagi kepada Allah Perjanjian itu.
    Perubahan politik yang penting pada masa itu adalah kematian Asyurbanipal, maharaja Asyur dan terakhir serta pemberontakan Nabopolassar yang berhasil naik tahta di Babel yang dulu merupakan Negara taklukan Asyur.

RAJA  RAJA YEHUDA DAN ISRAEL

NO

YEHUDA

ISRAEL

NAMA RAJA

TAHUN (SM)

NAMA RAJA

TAHUN (SM)

1

Rehabeam

930-913

Yerobeam 1

930-909

2

Abiam

913-910

Nadab

909-908

3

Asa

910-869

Baesa

908-886

4

Yosafat

872-848

Ela

886-885

5

Yoram (Jeroham)

853-841

Zimri

885

6

Ahazia

841

Tibni

885-880

7

Atalya

841-835

Omri

885-874

8

Yoas (Jehoash)

835-796

Ahab

874-853

9

Amazia

796-767

AHazia

853-852

10

Azarya

792-740

Yoram (Jehoram)

852-841

11

Yotam

750-732

Yehu

841-814

12

Ahas

735-715

Yoahas

814-798

13

Hizkia

729-686

Yoas (Jehoash)

798-782

14

Manasye

697-642

Yerobeam II

793-753

15

Amon

642-640

Zakharia

753

16

Yosia

640-609

Salum 

752

17

Yoahas

609

Menahim

752-742

18

Yoyakim

609-598

Pekayah

742-740

19

Yoyakhin

598-597

Pekah

752-732

20

Zedekia

597-586

Hosea

732-723/722



    Dengan melihat skema diatas ini, kita mengetahui terdapat dua puluh raja pada kedua bangsa. Namun, mengenai kerajaan Yehuda yang berlangsung 135 tahun lebih lama daripada Israel, membuktikan bahwa tingkat kestabilan politik di kerajaan selatan lebih baik, Sebenarnya, tujuh raja Israel meninggal karena pembunuhan, kemudian diganti oleh si pembunuhnya: Nadab, Elah, Yoram, Zakharia, Salum, Pekayah, dan Pekah. Orang kedelapan yang sial, Zimri, memerintah hanya tujuh hari! ketika sadar akan dihukum, dia membakar istananya bersama dirinya sendiri (I Raj. 16:18).
    Pada kerajaan Yehuda, dinasti Daud berlanjut terus dan tak terputus dari permulaan sampai akhir. Di Israel, yang paling lama memerintah adalah dinasti Yehu (lima raja) dan dinasti Omri (empat raja). Keluarga Yehu relatif berkuasa lama sebab dia menyingkirkan kekejian praktik penyembahan Baal dengan membunuh seisi rumah Ahab (II Raj. 10:30; 15:12).
    Di antara kedua puluh raja Israel, tak satu pun mendapat penilaian yang baik dari penulis I dan II Raja-Raja. Yehu adalah salah satu yang paling mendekati penilaian seperti ini: dia diurapi oleh Elisa atas perintah Tuhan (II Raj. 9:1-13), dia dibenarkan oleh Tuhan dalam hal melenyapkan seisi rumah Ahab (10:30). Namun, dalam analisis akhir, dia tidak berpaling dari dosa-dosa Yerobeam, yang menjadi tolok ukur ketidakadilan di kerajaan utara (10:29, 31)
    Kerajaan Yehuda mempunyai delapan raja yang baik: Asa, Yosafat, Yoas, Amazia, Azarya, Yotam, Hizkia, dan Yosia. Enam orang pertama mengabaikan perintah untuk menyingkirkan simbol-simbol kebiasaan kafir orang Kanaan dari negerinya, seperti tempat-tempat tinggi. Hanya Hizkia dan Yosia yang mendapat pujian tak terbatas.
    Namun pada akhirnya, meskipun raja-raja yang besar seperti mereka pun, tidak mampu menyelamatkan Yehuda dari kehancuran. Ironisnya, Manasye, salah satu raja Yehuda terjahat, mengikuti jejak satu di antara raja-raja terbesar, ayahnya sendiri, Yosia. Ditunjukkan kepada kita bahwa "oleh karena dosa-dosa Manasye” maka akhirnya Allah mengizinkan Yehuda hancur (II Raj. 24:3-4). Akhirnya, dinasti Daud tetap bertahan bukan karena kebaikannya atau kebaikan siapa pun, melainkan, karena kasih karunia Allah.