Pengertian Iman dalam Kekristenan


IMAN SECARA UMUM

1. Apakah Iman itu?

    Ada satu ayat dalam Alkiab yang selalu dikutip untuk menjelaskan arti dari iman. Firman Tuhan itu terdapat dalam Ibrani 11:1 “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.” Dalam terjemahan BIS dituliskan “Beriman berarti yakin sungguh-sungguh akan hal-hal yang diharapkan, berarti mempunyai kepastian akan hal-hal yang tidak dilihat.” Atau dalam terjemahan FAYH dituliskan sebagai berikut: “Apakah iman itu? Iman ialah keyakinan bahwa apa yang kita inginkan akan terlaksana. Iman ialah kepastian bahwa yang kita harapkan sudah menantikan kita, walaupun hal itu belum dapat kita lihat sekarang.” Ayat ini berbicara tentang iman yang percaya dengan hati dan bukan mempercayai apa yang di tangkap oleh panca indera kita. Dengan kata lain, iman adalah tindakan yang dimulai dari kepercayaan akan sesuatu yang tidak ada/tidak terjadi, menjadi ada/terjadi.

    Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, iman berarti kepercayaan yang biasanya ditujukan kepada Tuhan dan Kitab Suci. Iman juga berarti “ketetapan hati atau keteguhan batin”. Iman sering dipahami sebagai kata benda dan kata kerjanya adalah percaya atau beriman. Bedanya antara beriman dan percaya adalah, percaya digunakan secara umum, tetapi beriman biasanya digunakan secara khusus untuk relasi antara Tuhan dengan umatNya. Jadi pada dasarnya iman sama artinya dengan kepercayaan. Percaya kepada Tuhan sama artinya dengan beriman kepada Tuhan.[1]

Pengertian Iman dalam Kekristenan

    Banyak orang ingin menerima sesuatu dari Tuhan terlebih dahulu , baru kemudian percaya. Akan tetapi, cara kerjanya bukan seperti itu. Kita harus percaya dulu baru kita bisa menerimanya. Kita dapat berkata bahwa Firman Tuhan itu baik, tetapi kita tak akan pernah sungguh-sungguh tahu sampai kita mengalaminya dan menuai hasil dari yang kita harapkan. Inilah iman, sesuatu yang bisa mewujudkannya menjadi nyata. Iman mengandung dua hal: (1) tindakan yang menentukan, (2) sikap yang terus menerus. Dalam hal keselamatan, iman dimulai sebagai tindakan seseorang menaruh kepercayaan kepada Tuhan dan bukan kepada diri sendiri untuk mendapatkan kelamatan. Orang beriman yakin kepada kebenaran janji-janji kasih karunia Allah dalam Yesus Kristus. Ia juga harus sungguh-sungguh bergantung pada kasih karunia itu, sehingga hidup sehari-hari dalam orang tersebut. Sayangnya tidak semua orang percaya memiliki iman yang benar kepada Yesus Kristus, mereka hanya memiliki “status” sebagai orang Kristen, tapi tidak hidup didalamnya.[2]



2. Bentuk Kiasan untuk menunjukkan Tindakan Iman[3]

a. Iman dikatakan sebagai melihat kepada Yesus (Yoh. 3:14,15 band. Bil. 21:9). Pemakaian kiasan ini untuk menunjukkan berbagai elemen iman, terutama ketika iman itu menunjuk kepada suatu pandangan yang setia kepada seseorang. Di dalamnya ada suatu tindakan menerima (elemen intelektual), suatu pandangan mata yang tajam kepada objeknya (elemen perasaan) dan kepuasan tertentu yang disaksikan (elemen emosianal).

b. Iman juga dihubungkan dengan lapar dan haus, makan dan minum (Mat. 5:6; Yoh. 6:50-58; 4:14). Ketika seseorang sungguh-sungguh lapar dan haus secara rohani, mereka merasakan bahwa ada sesuatu yang dibutuhkan, dan akan berupaya untuk memenuhi kebutuhan itu. Tindakan iman dari kiasan ini adalah pengharapan kepada Yesus Kristus yang akan menyelamatkan kita ketika kita percaya kepadaNya.

c. Datang dan Menerima Dia (Yoh. 5:40; 7:37; 6:44,65; 1:12). Gambaran tentang kedatangan kita kepada Kristus menggambarkan iman sebagai suatu tindakan dimana manusia datang kepadaNya mengakui bahwa perbuatannya saja tidak cukup untuk menerima keselamatan itu. Dengan iman percaya ini, maka seseorang dapat menerima keselamatan yang ada dalam Yesus Kristus.


3. Apa pentingnya iman?[4]

a. Kita diselamatkan oleh iman (Kis. 16:31; Rm. 5:1; 9:30-32; Ef. 2:8)
b. Iman adalah pemberian Roh Kudus ( Gal. 3:5, 14)
c. Kita disucikan oleh iman (Kis. 15:9; 26:18)
d. Kita dipelihara oleh iman (Rm. 11:20; 2 Kor. 1:24; 1 Pet. 1:5; 1 Yoh. 5:4)
e. Kita diteguhkan oleh iman (Yes. 7:9)
f. Kita disembuhkan oleh iman (Kis. 14:9; Yak. 5:15)
g. Kita hidup oleh iman (2 Kor. 5:7)
h. Kita mengatasi kesulitan dengan iman (Mrk. 9:23; Rm. 4:18-21; Ibr. 11:32-40)
i. Allah berkenan kepada kita karena iman (Ibr. 11:6)
j. Ketidakpercayaan adalah dosa (Yoh. 16:9; Rm. 14:23), dan membatasi kuasaNya (Mrk. 6:5,6).
k. Iman membuat kita terus-menerus menjadi berkat bagi orang lain (Mrk. 2:3-5)
l. Iman menghasilkan ketekunan dalam melayani Tuhan (Mat. 15:28)

4. Pengertian iman dalam Alkitab[5]

a. Dalam Perjnjian Lama. Kenyataannya, para penulis Perjanjian Baru menekankan bahwa iman sebagai prinsip dasar dalam kehidupan orang percaya yang terdapat dalam Perjanjian Lama. Mereka beranggapan bahwa Abraham adalah contoh nyata dari orang percaya yang sesungguhnya (Rm. 4; Gal. 3; Ibr. 11; Yak. 2), dan mereka yang beriman dikatakan sebagai anak-anak Abraham yang sesungguhnya (Rm. 2:28-29; 4:12,16; Gal. 3:9). Dalam Perjanjian Lama, iman merupakan komitmen diri sendiri kepada Tuhan, bukan sebagai salah satu dari kebaikan yang ditujukan kepada Tuhan, tetapi lebih kepada kepercayaan bahwa Dia adalah juruselamat yang penuh kasih kepada orang berdosa.
     Pada zaman bapa-bapa leluhur. Bagian paling awal dari PL ini mengisahkan tokoh-tokoh yang memperlihatkan bahwa iman mereka ditunjukkan melalui perbuatan. Janji Allah yang diberikan kepada Abraham memperlihatkan kepada kita bahwa respon yang tepat adalah iman atau percaya. Ia menyerahkan dirinya sendiri kepada Tuhan dengan iman yang tidak goyah dalam janjiNya itu sebabnya ia dibenarkan. Demikian juga dengan Nuh, keselamatannya ditentukan oleh kepercayaan kepada Tuhan dan janjiNya.
    Pada zaman hukum. Taurat yang diberikan kepada bangsa Israel yang pada hakikatnya tidak bisa menggantikan posisi iman untuk mengalami keselamatan. Sekalipun demikian, banyak orang Israel yang melihat hukum itu sepenuhnya dalam cara yang legalisitik. Mereka berusaha mendasarkan keselamatan melalui perbuatan yang terdapat dalam hukum Taurat. Bagi mereka yang memahami sifat hukum itu dengan sesungguhnya, maka hukum itu dapat menyadarkan mereka tentang dosa dan mempertajam kesadaran dan keyakinan bahwa keselamatan dapat diharapkan dari anugerah Allah. Dalam PL, jelas sekali menekankan tentang takut akan Tuhan, sejumlah pernyataan seperti berharap, percaya, mencari perlindungan kepada Allah, memandang kepadaNya, bersandar kepadaNya, menadahkan hati kepadaNya, bergantung kepadaNya. Dalam melakukannya hal yang diperlukan adalah komitmen diri sendri yang berdasarkan kasih kepada Tuhan.
b. Dalam Perjanjian Baru. Ketika Yesus Kristus datang ke dunia, dan Ia memenuhi nubuatan para nabi, membawa keselamatan yang dinantikan, maka iman diperlukan untuk mempercayai fakta itu. Hal ini merupakan sesuatu yang penting, karena pemenuhan Yesus Kristus sebagai Mesias, tidak seperti yang diharapkan oleh banyak orang Yahudi. Itulah iman menjadi dasar kepercayaan yang terutama dalam PB.
     Dalam Injil. Iman dalam Yesus Kristus sebagai penyelamat yang dijanjikan dan diharapkan menjadi ciri khas dalam kitab Injil. Hal ini tampaknya menjadi pemisah antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Permulaan dari perjanjian yang baru ini bahkan disebut sebagai “datangnya iman”, (Gal. 3:23,25). Ciri khas iman dalam kitab-kitab Injil adalah Yesus senantiasa menawarkan diriNya sebagai objek iman. Yesus bahkan memberikan penekanan bahwa mengikut Dia, memerlukan totalitas melebihi keluarga dan orang lain. Seperti yang tertulis dalam Matius 14:26 “Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.”
    Dalam Kisah Para Rasul. Dalam kitab ini juga, iman dituntut dalam arti yang sama. Melalui khotbah para rasul orang-orang dibawa untuk taat dan beriman kepada Kristus; dan iman inilah yang membentuk komunitas baru yang disebut “Kristen” (Kis. 11:26).
    Dalam Surat Yakobus. Yakobus menegur kecenderungan orang Yahudi yang melihat iman berdasarkan statsusnya sebagai “orang Yahud,” tanpa menghasilkan buah yang baik. Yakobus menekankan bahwa iman harus ditunjukkan dalam perbuatan yang baik. Jika iman itu, tidak menunjukkan perbautan baik, maka iman itu mati dan kenyataannya iman itu tidak ada. Seperti yang tertulis dalam Yakobus 2:14 “Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia?”
    Dalam surat-surat Paulus. Paulus yang memiliki latar belakang Yahudi, paham betul dengan cara pemikiran orang Yahudi kebanyakan. Orang Yahudi, lebih mengutamakan kebenaran yang terkandung dalam hukum Taurat. Itu sebabnya, dalam surat-suratnya Paulus mencoba menerangkan bahwa kedudukan iman, sebagai satu-satunya sarana untuk keselamatan. Dalam melakukan hal ini, ia banyak membicarakan Kristus sebagai objek iman, sebab hanya melalui Dialah kita dapat memperoleh keselamatan. Iman membenarkan dan menyelamatkan jika kita terus berpegang pada Kristus. Seperti yang ia tuliskan dalam surat Filipi 2:12 “Hai saudara-saudaraku yang kekasih, kamu senantiasa taat; karena itu tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar, bukan saja seperti waktu aku masih hadir, tetapi terlebih pula sekarang waktu aku tidak hadir.”
    Dalam surat Ibrani. Penulis surat Ibrani juga berpendapat sama bahwa Kristus adalah pusat dari iman yang menyelamatkan. Dalam suratnya juga mengajarkan bahwa kita hidup oleh iman, dan harus tetap berpegang kepada Kristus . seperti yang tertulis dalam Ibrani 10:38 “Tetapi orang-Ku yang benar akan hidup oleh iman, dan apabila ia mengundurkan diri, maka Aku tidak berkenan kepadanya." Penulis Ibrani menyebut iman sebagai “... dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat” (Ibr. 11:1). Ia mengajak para pembaca untuk memahami bahwa iman mampu melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak ada menjadi ada, yang tidak kelihatan menjadi terlihat, dari yang sementara menuju kepada kekekalan, dan memungkinkan kita untuk bersabar di tengah penderitaan.
    Dalam surat Petrus. Petrus juga menulis kepada para pembacanya yang sedang berada di dalam bahaya dan juga tawar hati. Dalam tulisannya, Petrus menekankan hal-hal yang berhubungan dengan iman yang menjadi dasar keselamatan setiap orang. Tujuannya adalah untuk membangun pengharapan dalam diri mereka yang akan mendukung mereka pada saat mereka menghadapi pencobaan. Seperti yang terdapat dalam 1 Petrus 1:8-9 “Sekalipun kamu belum pernah melihat Dia, namun kamu mengasihi-Nya. Kamu percaya kepada Dia, sekalipun kamu sekarang tidak melihat-Nya. Kamu bergembira karena sukacita yang mulia dan yang tidak terkatakan, karena kamu telah mencapai tujuan imanmu, yaitu keselamatan jiwamu.”
    Dalam tulisan Yohanes. Yohanes harus berhadapan dengan ajaran gnostik yang menekankan pengetahuan secara keliru dan puas dengan iman yang dangkal. Pengetahuan dianggap lebih membawa berkat daripada iman yang sederhana itu. Itulah sebabnya Yohanes memperingkatkan bahwa iman bukan hanya berkaitan dengan keselamatan setelah kematian (surga) tetapi juga pada masa sekarang, dimana kita hidup. Ia juga mau, agar kita percaya kepadaNya, dan hidup dalam kasih kepada sesama. Seperti yang tertulis dalam 1 Yohanes 3:23 “Dan inilah perintah-Nya itu: supaya kita percaya akan nama Yesus Kristus, Anak-Nya, dan supaya kita saling mengasihi sesuai dengan perintah yang diberikan Kristus kepada kita.”

5. Istilah Alkitab untuk iman[6]

1. Istilah dalam Perjanjian Lama.

a. Emunah : kata ini dapat kita temukan dalam Habakuk 2:4 “Sesungguhnya, orang yang membusungkan dada, tidak lurus hatinya, tetapi orang yang benar itu akan hidup oleh percayanya.” Kata ini pada dasarnya berarti kesetiaan (bnd. Ul. 32:4; Mzm. 36:5; 37:3; 40:11).
b. He’emin: kata ini merupakan kata yang umum digunakan untuk menjelaskan tentang “percaya.” Kata ini memiliki dua pengertian. Pertama, menunjukkan suatu rasa percaya untuk bersandar pada seseorang atau sesuatu (Tuhan). Kedua, suatu penekakan yang diberikan kepada sebuah kesaksian yang diterima bahwa itu adalah hal yang benar.
c. Batach: kata ini biasa diterjemahkan sebagai “percaya kepada” atau “bersandar kepada.”
d. Chasah: kata ini berarti “menyembunyikan diri sendiri” atau “mencari perlindungan.

2. Istilah dalam Perjanjian Baru

a. Pistis: kata ini mempunyai dua arti dalam bahasa Yunani klasik. Pertama, suatu kepastian berdasarkan kepercayaan dalam diri seseorang dan pengakuannya. Kedua, rasa percaya diri kepada seseoarng untuk bersandar. Kepercayaan ini lebih dari sekedar pengetahuan intelektual, melainkan menekankan suatu keadaan bahwa perlunya hubungan pribadi antara orang itu dengan objek yang dipercayainya. Pada umumannya orang Yunani enggan menggunakan kata ini kepada dewa-dewa mereka, sebab mereka menganggap dewa-dewa merupakan musuh manusia dan karena itu merupakan obyek rasa takut dan bukannya obyek rasa percaya. Dalam Alkitab, kata pisteuein yang merupakan kata kerja dari pistis sering kali dipakai untuk menyatakan arti iman kepada Tuhan dan FirmanNya. Pengertian dari pistis tidak berhenti sampai disitu saja, melainkan mencakup beberapa dimensi yang akan dijelaskan sebagai berikut: (1) suatu kepercayaan inteletual yang disandarkan atas kebenaran dari orang/pribadi lain (band. Fil. 1:27; 2 Kor. 4:13; 2 Tes. 2:13); (2) suatu rasa percaya kepada Tuhan, atau lebih khususnya kepercayaan kepada Yesus bahwa Dialah yang menebus kita dan akan memberkati kita (band. Rm. 3:22,25; 5:1,2; Gal. 2:16; 9:30,32; Gal.2:16; Ef. 2:8; 3:12).

6. Jenis-jenis Iman

    Menurut Lous berkhof, jenis-jenis iman secara umum dapat dibedakan menjadi empat yakni:[7]

a. Iman Historis: iman ini adalah bentuk dari penerimaan atas kebenaran, tanpa memperhatikan tujuan moral maupun spiritual. Iman ini menerima kebenaran Alkitab seperti halnya seseorang menerima sebuah sejarah yang secara pribadi dirinya tidak tertarik. Iman ini mungkin terjadi akibat suatu tradisi, pendidikan, pendapat umum, atau suatu kekaguman akan kebesaran Alkitab. Misalnya saja orang yang lahir dari golongan Kristen yang taat akan agama, mereka percaya kepada Tuhan, dan mengakui bahwa apa yang tertulis dalam Alkitab itu benar. Namun sayangnya, mereka hidup apa adanya dan tidak ada pertumbuhan, dan perubahan dalam hati. Yesus pernah menegur orang-orang seperti ini, dengan mengatakan: “Tetapi setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan tidak melakukannya, ia sama dengan orang yang bodoh, yang mendirikan rumahnya di atas pasir,” (Mat. 7:26). Penulis Yakobus juga menegur iman yang dangkal ini: “Engkau percaya, bahwa hanya ada satu Allah saja? Itu baik! Tetapi setan-setanpun juga percaya akan hal itu dan mereka gemetar.” (Yak. 2:19).

b. Iman Mujizat. Iman ini adalah kepercayaan bahwa Tuhan dapat melakukan mujizat dalam setiap kehidupannya. Allah dapat memberikan kekuatan, pekerjaan, serta mengatasi segala persoalan yang ada. Memang benar bahwa Allah dapat melakukan mujizat dan itu semua memerlukan iman. Sayangnya, iman seperti ini hanya melihat Tuhan sebagai “pembuat mujizat.” Di dalam Alkitab kita melihat bahwa banyak orang yang percaya kepada mujizat yang Yesus lakukan dan pada akhirnya bertobat, namun tidak bisa dipungkiri bahwa ada juga orang percaya yang hanya sampai pada iman yang seperti ini. Salah satu contoh mujizat yang terjadi karena iman seseorang adalah ketika Paulus melakukan pelayanan ke Listra: “Di Listra ada seorang yang duduk saja, karena lemah kakinya dan lumpuh sejak ia dilahirkan dan belum pernah dapat berjalan. Ia duduk mendengarkan, ketika Paulus berbicara. Dan Paulus menatap dia dan melihat, bahwa ia beriman dan dapat disembuhkan. Lalu kata Paulus dengan suara nyaring: "Berdirilah tegak di atas kakimu! " Dan orang itu melonjak berdiri, lalu berjalan kian ke mari,” (Kis. 14:8-10).

c. Iman sementara. Iman seperti ini adalah kepercayaan terhadap kebenaran agama yang disertai dengan tuntunan dari hati nurani dan perasaan, tetapi tidak berakar dalam hati. Istilah ini muncul dari Alkitab sendiri, dan Yesus sendiri yang mengatakannya: “Benih yang ditaburkan di tanah yang berbatu-batu ialah orang yang mendengar firman itu dan segera menerimanya dengan gembira. Tetapi ia tidak berakar dan tahan sebentar saja. Apabila datang penindasan atau penganiayaan karena firman itu, orang itupun segera murtad,” (Mat. 13:20-21). Disebut sebagai iman sementara sebab iman ini tidak permanen dan gagal mempertahankan diri pada hari pencobaan dan kesulitan. Secara umum dapat dikatakan bahwa iman sementara berdasar pada hidup emosional dan berusaha mencari kesenangan pribadi dan bukan mencari kemuliaan Tuhan.

d. Iman yang benar dan menyelamatkan. Iman yang benar dan menyelamatkan adalah suatu iman yang memiliki kedudukan dalam hati dan terlihat dalam tindakannya. Iman ini pertama-tama bukan merupakan tindakan manusia, akan tetapi bersumber dari Allah Roh Kudus kepada setiap orang berdosa.

Menurut Erastus Sabdono dari teks-teks yang terdapat dalam Alkitab yang berbicara mengenai iman, dapat disimpulkan bahwa paling tidak terdapat tiga jenis iman. Jenis-jenis iman itu antara lain:[8]

a. Iman keyakinan. Ini adalah iman yang bertalian dengan keyakinan atau harapan terhadap sesuatu yang bisa terjadi dan terwujud jika diyakini atau diharapkan dengan kuat. Banyak mukjizat yang bisa terjadi karena iman ini. Alkitab dipenuhi dengan kisah-kisah yang menunjukkan kedahsyatan iman jenis ini. Tuhan Yesus juga mengajarkan iman seperti ini. Dalam suatu kesempatan Tuhan Yesus berkata: jadilah kepadamu menurut imanmu (Mat. 9:29). Perkataan ini ditujukan kepada orang buta yang meminta supaya matanya dicelikkan. Pada akhirnya, kepercayaan dari orang buta itu mencelikkan matanya. Demikian pula dengan wanita yang sakit pendarahan selama 12 tahun, dengan imannya ia menjamah jubah Tuhan Yesus, seketika itu ia menjadi sembuh (Mat. 9:21-22). Jenis iman inilah yang sering ditekankan dan diajarkan kepada banyak orang Kristen dewasa ini secara berlebihan dan tidak proporsional. Seolah-olah dengan iman itu manusia bisa meraih apapun yang diingininya. Padahal kisah-kisah kesembuhan yang dialami seperti contoh-contoh diatas dialami oleh orang yang belum mengenal Tuhan Yesus secara mendalam. Mereka hanya percaya bahwa Tuhan Yesus memiliki kuasa yang ajaib. Mereka berurusan dengan Tuhan Yesus karena masalah pemenuhan kebutuhan jasmani, dan bukan keselamatan. Hal ini Yesus lakukan, semata-mata menunjukkan bahwa Yesus adalah Allah dan Ia berasal dari Allah. Sayangnya hal ini tidak dapat dipahami sepenuhnya oleh orang-orang pada masa itu. Pada akhirnya, Tuhan Yesus juga menyatakan bahwa orang-orang yang meyakini suatu kuasa (mujizat) dan itu memang terjadi, tetapi hidup tidak sesuai dengan kehendak Tuhan, maka orang itupun ditolak oleh Tuhan (Mat. 7:21-23).

b. Iman persetujuan pikiran. Iman jenis ini berarti menerima suatu sebagai kebenaran atau kebaikan berdasarkan persetujuan dari pikiran atau akal budi. Banyak orang yang memiliki keyakinan agama Kristen sejak kecil karena pengaruh lingkungannya. Mereka tidak memamahi, atau tidak melakukannya sesuai dengan apa yang dipercayainya. Iman seperti ini bukanlah iman yang menyelamatkan. Iman adalah suatu tindakan. Persetujuan pikiran memang bisa menjadi langkah awal seseorang belajar mengenal Tuhan yang benar. Tanpa persetujuan pikiran seseorang tidak bisa melangkah untuk belajar mengenal Tuhan. Namun sekali lagi, tanpa, kepercayaan dengan segenap hati yang ditunjukkan melalui tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari maka itu bukanlah iman yang menyelamatkan. Sayang sekali banyak orang Kristen yang puas hanya sampai di persetujuan pikiran ini dan tidak ada usaha untuk betumbuh.

c. Iman keselamatan. Iman ini lebih berkualitas dibanding jenis-jenis iman yang telah dijelaskan sebelumnya, iman disini bukan sekedar persetujuan pikiran, tetapi berupa tindakan konkret. Iman jenis ini sangat bertalian dengan kualitas hubungan antara umat yang percaya dengan Allah yang dipercayainya. Dengan kata lain, iman jenis ini memerlukan hubungan yang dalam antara manusia dan Allah. Seperti halnya apa yang dikatakan oleh Yakobus: “Engkau percaya, bahwa hanya ada satu Allah saja? Itu baik! Tetapi setan-setanpun juga percaya akan hal itu dan mereka gemetar.” Hal ini berarti, percaya saja tidak cukup, perlu ada pengenalan yang mendalam. Beriman kepada Tuhan bukan hanya mengakui statusNya bahwa Dia pencipta alam semesta, Allah layak disembah, dan sebagainya tetapi juga penyerahan diri kepada kehendakNya. Hal ini tentunya harus diwujudkan dalam tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Iman yang menyelamatkan berangkat dari pengenalan akan Tuhan yang memadai. Pengenalan ini dibangun dari pengenalan secara nalar atau kognitif dengan belalajar Alkitab dengan benar. Serta memiliki pergaulan interaksi secara nyata dengan Tuhan melalui doa dan penyembahan.


7. Iman dan Berpikir Positif[9]

    Kedua kata ini, seringkali dipahami dengan keliru dalam kehidupan sehari-hari. Pada faktanya, iman bukanlah berpikir positif, tetapi beriman pastilah berpikir positif. Ukuran positif atau kebaikan, bukanlah didasarkan pada keinginan, apa yang dipandang sebagai kebutuhan, kesenangan dan cita-cita manusia, tetapi segala hal yang sesuai dengan kehendak Allah. Di luar kehendak Allah tidak ada yang positif atau baik. Seperti yang dikatakan Yesus: “tidak ada yang baik selain Allah saja (Mrk. 10:18). Banyak orang berpikir apabila meyakini sesuatu akan terjadi maka sesuatu tersebut pasti akan terjadi atau terkabul. Itulah yang dipahami sebagai iman. Namun, hal ini masih dikategorikan sebagai berpikir positif. Ini adalah tindakan orang-orang opotunis (orang-orang yang mencari keuntungan sendiri). Seakan-akan Tuhan dapat diatur oleh pikiran positif dan keyakinan manusia. Tidaklah salah meyakini sesuatu akan dapat dicapai atau terkabul, asal saja keyakinan itu sesuai dengan “kehendakNya.” Segala sesuatu yang sesuai dengan kehendak dan rencanaNya pasti mendatangkan kemuliaan Tuhan. Jadi, kalau seseorang memiliki iman yang benar, maka pikirannya hendaklah tertuju kepada kehendak Tuhan, dan kerajaanNya bukan sekedar pikiran yang positif.

8. Sumber Iman[10]

Iman memiliki dua sisi, yakni ilahi dan manusiawi.

a. Sisi Ilahi. Penulis surat Ibrani mengatakan tentang Yesus sebagai yang “memimpin kita dalam iman dan membawa iman kita itu kepada kesempurnaan” (Ibr. 12:2). Jelaslah, bahwa iman adalah pemberian dari Allah (Rm. 12:3, 2 Pet. 1:1), yang diberikan oleh Roh Kudus menurut kehendakNya ( 1 Kor. 12:9; band. Gal. 5:22). Paulus berbicara tentang seluruh keselamatan sebagai suatu pemberian Allah (Ef. 2:8), dan itu memerlukan iman.

b. Sisi manusiawi. Firman Allah yang diberikan kepada kita adalah sumber iman kita. Alkitab mengatakan bahwa, “Iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh Firman Kristus (Rm. 10:17), dan “di antara orang yang mendengar ajaran itu banyak yang menjadi percaya” (Kis. 4:4). Selain Firman, doa juga ada sumber iman kita (Mrk. 9:24; Luk. 22:32). Para murid meminta kepada Yesus, “tambahkanlah iman kami” (Luk. 17:5). Iman yang miliki, akan terus bertumbuh ketika kita hidup di dalamNya (Mat. 25:29; band. Hak. 6:14).

9. Hasil-hasil Iman[11]

a. Keselamatan. Seluruh keselematan kita bergantung pada iman. Kita diselematakan oleh iman, apakah itu pembenaran (Rm. 5:1), pengangkatan sebagai anak atau adopis (Gal. 3:4,14; 4:5, 6), atau pengdusuan (Kis. 26:18) semuanya memerlukan iman. Petrus memberi tahu bahwa kita “dipelihara dalam kekuatan Allah karena iman” (1 Pet. 1:5).

b. Kepastian. Memang benar bahwa kepastian keselamatan datanganya dari kesaksian Roh Kudus (Rm. 8:16; 1 Yoh. 3:24; 4:13), namun Allah menunjukkan janji-janji dalam Firman Tuhan kepada jiwa kita, dan kepastian datang pada saat kita percaya kepada janji-janji itu. Kepastian yang terima dalam kehidupan sehari-hari berupa damai sejahtera (Yes. 26:3; Rm. 5:1), dan sukacita (1 Pet. 1:8).

c. Perbuatan baik. Iman dengan sendirinya menghasilkan perbuatan baik. Kita memang telah diselamatkan terlepas dari perbuatan baik (Rm. 3: 20; Ef. 2:9), namun kita telah diselamatkan untuk melakukan pekerjaan baik (Ef. 2:10). Yesus mengatakan “hendaknya terangmu bercahaya di depan semua orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga ( Mat. 5:16). Yakobus menekankan bahwa iman diwujudkan dalam “perbuatan” (Yak. 2:17-26). Paulus menekankan bahwa melakukan hukum taurat saja tidaklah cukup (Gal. 2:16; 3:10); namun ia juga menekankan bahwa “perbuatan adalah hasil dari iman” (Tit. 1:16; 2:14; 3:14; 3:8). Perbuatan baik ini adalah salah satu rasa dari buah roh (Gal. 5:22, 23; Ef. 5:9).


BAB 2 : IMAN YANG MENYELAMATKAN

1. Apa itu Keselamatan?

Dari pembahasan menyeluruh mengenai iman diatas secara sederhana dapat dikatakan bahwa iman adalah sarana untuk mendapatkan keselamatan. Tetapi sebelum itu, yang kita perlu pahami adalah apa arti sebenarnya dari keselamatan. Dalam pengertian umum, keselamatan berasal dari akar kata “selamat” yang artinya terhindar dari segala sesuatu yang dianggap bahaya, malapetaka, dan musibah. Dalam konteks kekristenan secara umum memahami bahwa keselamatan adalah terbebas atau terhindarnya manusia dari neraka dan diperkenankan masuk sorga. Pengertian ini sudah menjadi pengertian umum bagi banyak orang Kristen, serta dianggap sebagai definisi baku dan standar, padahal definisi ini belum sepenuhnya benar. Terhindar dari neraka dan diperkenankan masuk surga bukanlah keselamatan itu sendiri, tetapi buah akibat dari keselamatan yang terjadi dalam kehidupan orang percaya. Dengan kata lain, masuk sorga adalah hasil akhir dari keselamatan itu.[12]

Pengertian keselamatan yang dangkal, dapat mengaburkan kebenaran mengenai keselamatan yang diajarkan oleh injil, atau yang telah disediakan oleh Yesus Kristus melalui pengorbananNya di atas kayu salib. Sejatinya, keselamatan adalah usaha Tuhan mengembalikan manusia kepada rancanganNya yang semula. Ini berarti keselamatan adalah suatu proses, dimana manusia dikembalikan kepada tujuan awal Allah menciptakan manusia. Rancangan semula Allah adalah menciptakan manusia yang memiliki keadaan segambar dan serupa dengan diriNya. Kejatuhan manusia di dalam dosa, merusakkan rancangan Allah itu atas manusia. Dengan kata lain, keselamatan adalah karya Allah yang diberikan kepada manusia dalam anugerahNya. Seperti yang tertulis dalam Efesus 2:8 “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah.”[13] Keselamatan adalah karya Allah dalam membebaskan manusia dari perbudakan dosa dan membawanya kembali kepada rancangan Allah sebelumnya.

Pada masa ini, Tuhan menawarkan keselamatan bagi kita melalui Yesus. Seperti yang tertulis dalam Injil Matius 1:21 “ Ia akan melahirkan anak laki-laki dan engkau akan menamakan Dia Yesus, karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka.” Demikian juga dengan tulisan Lukas dalam Kisah Para Rasul 4:12 “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.” Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa hanya Yesuslah jalan keselamatan pada zaman anugerah ini. Hal ini jugalah yang dikatakannya dalam Yohanes 14:6 “Kata Yesus kepadanya: ”Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.”

Selanjutnya, langkah yang diambil manusia adalah mengakui dengan mulut dan percaya dengan hati. Hal ini dituliskan dalam Roma 10: 9 “sebab jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan.” Menerima keselamatan adalah suatu tanggapan yang berkuasa dan pribadi kepada berita kebenaran dan juga pengampunan akan dosa. Ketika kita percaya kepada Yesus kita mendapatkan jaminan keselamatan, tetapi yang tidak boleh dilupakan sebagai orang percaya adalah membangun hubungan denganNya. Hal ini dituliskan dalam Injil Yohanes 17:3 “Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus.” Pada akhirnya, keselamatan adalah proses menanggapi rencana Allah, yang diberikan kepada kita, dan yang akan kita dapatkan jika kita percaya, mengakui, dan memiliki hubungan denganNya.

Keselamatan adalah milik orang percaya saat ini, tetapi belum sepenuhnya diberikan kepada mereka. Istilah ini kerap kali disebut dengan “already but not yet” yang artinya “sudah diselamatkan tetapi tidak sekarang”. Pemenuhan keselamatan kita akan diwujudkan di masa mendatang, jika Kristus sudah kembali (Ibr. 9:28; 2 Tim. 4:18). Penyempurnaan “...keselamatan sekarang sudah lebih dekat kepada kita dari pada waktu kita menjadi percaya” (Rm. 13:11). Melalui iman dalam Kristus, Allah memelihara kita oleh kuasa-Nya “...sementara kamu menantikan keselamatan yang telah tersedia untuk dinyatakan pada zaman akhir. yaitu kamu yang dilindungi oleh kuasa Allah melalui iman keselamatan yang siap dinyatakan pada akhir zaman” (1 Ptr. 1:5). Alkitab mengajarkan bahwa orang Kristen telah diselamatkan, sedang diselamatkan, dan akan diselamatkan. Jadi, kehidupan orang Kristen saat ini adalah salah satu pengharapan akan pemenuhan keselamatan di masa mendatang. Sebagai orang Kristen, kita dapat yakin dan percaya menyatakan bahwa kita telah diselamatkan, telah dilepaskan dari kematian kepada kehidupan.[14]

2. Apakah Iman yang menyelamatkan itu?

Topik iman, kemudian memunculkan pertanyaan besar yang akan dijelaskan dalam modul ini, yakni, apakah iman yang menyelamatkan itu? Hal ini tentunya bukanlah sesuatu yang sederhana, oleh karena itu perlu pembelajaran khusus. Yakobus dalam suratnya “Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia?” (Yakobus 2:14). Dari ayat ini kita mengetahui bahwa ada iman yang menyelamatkan dan ada yang tidak. Prinsip keselamatan oleh anugerah menuntun kita kepada persolan hubungan di antara iman dan perbuatan. Yakobus sebenarnya berusaha mengoreksi pandangan bahwa seseorang dapat beriman tanpa menghasilkan perbuatan baik apapun (Yakobus 2:17-18). Yakobus menekankan bahwa iman yang sejati kepada Kristus akan menghasilkan perubahan hidup dan perbuatan-perbuatan baik (Yakobus 2:20-26). Ketika kita hidup di dalam Kristus maka hendaknya kita tidak tidak lagi menuruti keinginan daging, melainkan keingan roh (Rm. 8:1-17). Apabila tidak menghasilkan perbuatan baik, maka sebenarnya sama sekali tidak ada iman yang nyata.

Menurut Louis Berkhof, iman yang menyelamatkan dapat didefinisakan sebagai suatu keyakinan yang pasti, yang ditanamkan dalam hati manusia oleh Roh Kudus melalui Injil dan suatu kepercayaan yang sesungguhnya kepada janji-janji Tuhan melalui pengorbanan Kristus.[15] Dari definisi ini kita mengetahui bahwa iman adalah suatu keyakinan yang pasti. Keyakinan itu berasal dari karya Roh Kudus yang dianugerahkan kepada setiap orang. Seperti yang tertulis dalam Yohanes 16:8 “Dan kalau Ia datang, Ia akan menginsafkan dunia akan dosa, kebenaran dan penghakiman.” Inti dari kepercayaan ini adalah percaya bahwa oleh pengorbanan Yesus Kristus, keselamatan dapat diterima. Ia menambahkan bahwa ada tiga tingkatan yang berkaitan langsung dengan iman yang menyelematkan:[16]

a. Suatu rasa percaya menyeluruh kepada Tuhan

b. Penerimaan atas kesaksian mereka berdasarkan rasa percaya itu

c. Bersandar pada Kristus dan beriman kepadaNya untuk keselamatan jiwa

Selain itu, menurut Rick Cornish, ada tiga ciri-ciri rumusan iman yang menyelamatkan:[17]

a. Pengetahuan Alkitab. Iman yang menyelamatkan bukanlah beriman dalam kehampaan, melainkan iman yang mengacu pada pribadi dan karya Kristus. Orang harus mengetahui fakta ini untuk dapat diselamatkan.

b. Setuju terhadap fakta bahwa “tanpa pengorbanan Kristus,” kita tidak bisa menerima keselamatan. Jika seseorang mengetahui fakta itu, tetapi menganggapnya salah, jelas sekali, ia tidak memiliki iman yang menyelamatkan.

c. Keyakinan pribadi terhadap terhadap Kristus. Keyakinan bahwa kita bersandar dan bergantung pada kematian Yesus untuk menebus dosa-dosa kita.

Dalam pengalaman keselamatan, bertobat dan percaya dalam Kristus tidak dapat dipisahkan. Keduanya muncul sekaligus. Jika tidak ada iman kepada Allah, tidak ada pertobatan sesungguhnya. Iman tidak juga bisa diberlakukan tanpa adanya pertobatan secara pribadi. Iman dan pertobatan mendahului pengampunan dosa (Kis. 5:31; 10:43; 13:39), tetapi dalam pengalaman, iman dan pertobatan kepada keselamatan saling terkait. Iman adalah sarana anugerah keselamatan Allah dalam Kristus Yesus. Fokus iman keselamatan bukan pada sikap kita, atau pada kerangka pikir kita, melainkan pada Kristus yang hidup sebagai juruselamat kita.[18]

Kesimpulannya, iman keselamatan adalah iman yang dimulai dari pengetahuan akan pemberitaan keselamatan (Injil) yang mendatangkan kepercayaan. Hal itu bermula dari panggilan Allah secara terbuka kepada setiap orang. Iman ini bersandar pada Kristus sendiri sebagai jaminan keselamatan dan penyerahan diri kepadaNya sebagai Tuhan dan juruselamat. Yang mana iman yang menyelamatkan mendorong kita untuk taat, hidup sesuai dengan kehendak Tuhan serta memberikan hidup kita dalam pimpinan Roh Kudus hari demi hari.



3. Beberapa pandangan tentang Iman yang menyelamatkan dalam Sejarah[19]

1. Sebelum zaman reformasi

Dalam kerkristenan mula-mula iman sudah ada dalam pikiran para pemimpin sebagai satu-satunya syarat utama untuk mendapatkan keselamatan. Bersamaan dengan itu, pengakuan dosa juga menjadi sesuatu yang penting. Pada masa ini juga, belum ada definisi yang memadai untuk menjelaskan tentang “iman”. Ada kecenderungan untuk memakai kata “iman” sebagai bentuk penerimaan suatu kebenaran berdasarkan kesaksian. Kemudian, iman juga dipahami sebagai pengakuan yang kuat kepada kebenaran yang diterima secara intelektual. Beberapa pandangan mengenai iman diantaranya:

a. Kelompok Alexandria mengontraskan pistis (iman) dan gnosis (pengetahuan), mereka menganggap bahwa iman adalah pengetahuan yang tidak sempurna.

b. Tertulianus menekankan bahwa iman berarti menerima sesuatu berdasrkan otoritas, dan bukan karena dinyatakan oleh pikiran manusia. Sampai zaman Agustinus, hanya sedikit perhatian saja yang ditunjukkan pada sifat iman, walaupun iman selalu diakui sebagai sarana awal yang sangat penting untuk memperoleh keselamatan. Namun terkadang iman sering dianggap sebagai pengetahuan intelektual kepada kebenaran. Iman ini disempurnakan dalam kasih dan kemudian menjadi prinsip perbuatan baik.

c. Kaum skolastik membedakan fides informis (pengetahuan intelektual) yang diajarkan Gereja, dan fide formata yaitu iman yang dinyatakan oleh kasih. Kaum ini menganggap bahwa kasih adalah yang membenarkan manusia, dan melalui kasih itu iman disempurnakan. Dengan kata lain, mereka menganggap bahwa manusia dibenarkan bukan secara ekslusif oleh pemberian jasa Kristus, tetapi lebih kepada anugerah yang ada di dalam manusia.

d. Thomas Aquinas mendefinisikan kebaikan iman sebagai suatu “kebiasaan pikiran yang melaluinya kita mendapatkan titik awal kehidupan.”



2. Setelah Reformasi

a. Calvin. bagi Calvin, iman adalah suatu pengetahuan yang teguh dan pasti dari suatu janji yang bebas dalam Kristus, diungkapkan dalam pikiran kita, dan dimateraikan dalam hati kita oleh Roh Kudus. Keteguhan itu berpancar dari kepercayaan pada kebaikan Allah dan olehNya kita menerima keselamatan. Calvin dengan tegas menolak fiksi dari kaum Schoolmen yang menekankan bahwa “iman adalah suatu persetujuan yang dengannya setiap orang yang puas kepada Tuhan boleh menerima apa saja yang diberikan dalam Alkitab.

b. Heidel Catechism. Bagi Heidel iman yang benar bukan hanya suatu pengetahuan yang pasti dimana kita berpegang pada kebenaran FirmanNya, tetapi juga merupakan rasa percaya yang teguh yang dikerjakan oleh Roh Kudus dalam hati kita, dan olehnya kita menerima penghapusan dosa, kebenaran kekal, dan keselamatan secara cuma-cuma oleh Tuhan, semata-mata oleh karena anugerah dan jasa Kristus.

c. Pada umumnya para Reformator sangat eksplisit dalam mengajarkan bahwa iman yang membenarkan tidakalah beralas dari kebaikan manusia, tetapi hanya sebagai sarana atau alat untuk menerima apa yang telah disediakan Tuhan dalam pengorbanan Yesus Kristus. Mereka menganggap iman ini terutama sebagai pemberian Tuhan dan tindakan manusia hanya merupakan hal yang kedua dalam ketergantungan kepada Tuhan.

d. Schleiemarcher bapak teologi modern nampaknya punya alur berpikir yang berbeda. Ia menganggap iman sebagai kepercayaan seperti seorang anak kecil kepada Tuhan. Ia mengatakan bahwa iman bukan apa-apa kecuali pengalaman permulaan dari kepuasan akan kebutuhan spiritual kita oleh Kristus. Pengalaman ini merupakan sebuah pengalaman psikologis yang baru, suatu keadaan baru, yang berakar pada perasaan, tidak pada Kristus, atau pada doktrin.

e. Ritschl setuju dengan Schleiemarcher dalam menganggap iman sebagai hasil kontak dengan realitas Allah, tetapi ia menggap bahwa kita memperolehnya bukan pada doktrin, tetapi pada Kristus sebagai wahyu Allah yang tertinggi. Di dalamnya manusia menjadikan Allah sebagai tujuan akhir dirinya sendiri, yaitu kerajaan Allah, manusia bekerja bagi kerajaan itu, dan melakukannya untuk mendapatkan keselamatan.

f. Pandangan Schleiemarcher dan Ritschl menandai sesuatu yang besar dalam teologi liberal modern. Dalam teologi ini, iman bukan merupakan suatu pengalaman surgawi, tetapi merupakan pengalaman manusia, bukan sekedar menerima anugerah yang diberikan, tetapi suatu tindakan atas jasa manusia sendiri. Dalam pandangan ini seolah-olah membuat Kristus menjadi tuam dalam satu usaha untuk membentuk hidup seseorang menurut contoh Kristus.

g. Pandangan liberal ini tentunya ditentang habis-habisan dalam teologi krisis, yang menekankan bahwa iman yang menyelamatkan bukan sekedar pengalaman psikologis alamiah, tetapi sesungguhnya merupakan tindakan Allah dan bukan tindakan manusia, tidak pernah menjadi milik permanen manusia dan dalam dalam dirinya sendiri hanya sekedar suatu ruangan kosong, yang sama sekali tidak memungkinkan keselamatan.

h. Barth dan Bruner menganggap iman sekedar respon Ilahi yang diberikan dalam diri manusia oleh Tuhan, kepada Firman Allah dalam Kristus, yang tidak menuju kepada suatu doktrin apapun, sebagaimana perintah Ilahi atau tindakan Ilahi dalam karya penebusan. Iman adalah “Ya” pada panggilan Tuhan, sebuah “Ya” yang berasal dari Tuhan sendiri.



4. Objek dari Iman yang menyelamatkan[20]

Untuk menjawab pertanyaan apakah iman yang benar dan menyelamatkan itu, kita akan berfokus kepada dua hal yakni dalam pengertian “umum” dan “khusus.”

a. Fide generalis (Umum) : yang dimaksudkan di sini adalah iman yang menyelmatkan dalam pengertian yang lebih umum. Objeknya adalah percaya kepada apa yang tertulis di dalam Alkitab. Menurut gereja Roma, iman merupakan bagian dari tugas para anggota gereja mereka untuk mempercayai apapun yang diputuskan oleh ecclesia docens (pengajaran gereja) sebagai bagian dari wahyu Allah dan ini semua mencakup apa yang disebut tradisi kerasulan. Memang benar bahwa “gereja yang mengajar” tetapi pada hakikatnya objek iman yang menyelamatkan sesungguhnya adalah kepada Firman yang berotoritas tersebut, dan bukan pengajaran yang disertai dengan tradisi manusia. Ini merupakan hal yang penting, sebab hanya di dalam Firman Allah (Alkitab), kita dapat menemukan keselamatan.

b. Fide specialis (khusus): inilah iman yang menyelematkan dalam pengertian yang lebih sempit. Sebelumnya telah dijelaskan bahwa percaya bahwa Alkitab adalah bagian dari Firman Allah yang sangat diperlukan untuk meperoleh keselematan. Namun, untuk mendapatkan kselamatan itu tidak berhenti sampai disitu saja. Objek khusus yang dimaksudkan adalah percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan juruselamat. Tindakan iman yang khusus termasuk juga menerima Kristus dan bersandar kepadaNya sebagaimana dinyatakan dalam Injil (Bnd. Yoh. 3:15-18; 6:40).



5. Unsur-unsur yang terdapat dalam iman yang menyelamatkan[21]

a. Pikiran. Unsur ini meliputi percaya kepada penyataan Allah dalam alam, pada fakta-fakta sejarah yang terdapat dalam Alkitab, pada doktrin-doktrin yang diajarkan dalam Alkitab yang berkaitan dengan keadaan manusia yang penuh dosa. Ia percaya bahwa penebusan disediakan oleh Yesus, dan melaluiNya kita dapat diselamatkan. Unsur ini merupakan bagian dari iman yang memiliki peranan penting. Itu sebabnya, Paulus mengatakan “Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran akan firman Kristus” (Rm. 10:17). Kita mengetahui bahwa Allah itu ada; oleh karena itu, kita percaya kepadaNya (Rm. 1:19,20). Kita perlu mengtahui injil agar dapat percaya kepada Kristus (Rm. 10:14). Jadi, iman yang benar memerlukan kepercayaan dan itu dilandaskan atas kebenaran Firman Tuhan. Pemazmur menulis “Orang yang mengenal nama-Mu percaya kepada-Mu, sebab tidak Kautinggalkan orang yang mencari Engkau, ya TUHAN.” (Mzm. 9:11)

b. Perasaan/hati. Unsur ini ditekanlan dalam ayat-ayat seperti Mazmur 106:12-13 “Ketika itu percayalah mereka kepada segala firman-Nya, mereka menyanyikan puji-pujian kepada-Nya. Tetapi segera mereka melupakan perbuatan-perbuatan-Nya, dan tidak menantikan nasihat-Nya.” Demikian juga apa yang digambarkan dalam Matius 12:20-21 “Benih yang ditaburkan di tanah yang berbatu-batu ialah orang yang mendengar firman itu dan segera menerimanya dengan gembira. Tetapi ia tidak berakar dan tahan sebentar saja. Apabila datang penindasan atau penganiayaan karena firman itu, orang itupun segera murtad.” Dalam Yohanes 8:30-31, Yohanes membedakan antara banyak orang yang percaya kepada Yesus dan orang-orang lain yang sekedar mempercayai Dia. Seperti halnya sikap ahli Taurat yang menyetujui pernyataan Yesus tentang hukum yang terutama, tetapi yang tidak menerima Dia sebagai Juruselamat (Mrk. 12:32-34); dan Yohanes 5:35 “Ia adalah pelita yang menyala dan yang bercahaya dan kamu hanya mau menikmati seketika saja cahayanya itu.” Semua ayat ini menunjukkan bahwa orang-orang itu hanya sementara saja menerima sebagian kebenaran Allah, berbeda dengan mereka yang setia sampai akhir, dan percaya sungguh-sungguh. Oleh karena itu, iman juga memerlukan unsur perasaan yang percaya dengan hati bukan sekedar setuju dengan pikiran kita.

c. Kehendak. Unsur ini tercipta dari dua unsur sebelumnya, yakni pikiran dan perasaan hati. Apabila seseorang menerima penyataan Allah melalui FirmanNya , dan menyetujui itu perlu untuk keselamatan jiwanya, maka langkah selanjutnya adalah mengambil tindakan. Ketiga hal ini diperlukan untuk keselamatan jiwa kita. Unsur yang menyangkut kehendak ini meliputi juga penyerahan hati kepada Allah dan penerimaan Kristus sebagai juruselamat. Penyerahan hati kepada Allah ditunjukkan dalam ayat-ayat seperti “Hai anakku, berikanlah hatimu kepadaku, biarlah matamu senang dengan jalan-jalanku” (Ams. 23:26); “Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku” (Mat. 14:26); “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan.” (Mat. 11:28-29). Istilah Yunani Pisteuo (percaya atau mempercayai) dipakai juga dalam arti penyerahan dan pengabdian. Hal ini dapat dilihat dalam pernyataan berikut “Tetapi Yesus sendiri tidak mempercayakan diri-Nya kepada mereka, karena Ia mengenal mereka semua” (Yoh. 2:24). Gagasan penyerahan juga tersirat dalam perintah untuk menerima Yesus sebagai Tuhan. Perintahnya ialah “percayalah keapda Tuhan Yesus Kristus (Kis. 16:31), dan kita harus mengaku “bahwa Yesus adalah Tuhan (Rm. 10:9) sebelum dapat menerima keselamatan. Percaya kepada Tuhan, dan mengakui Dia sebagai Tuhan, tidak dapat dilakukan jika kita belum menyerahkan hidup kita sepenuhnya kepada Dia.



6. Hakikat iman yang menyelamatkan[22]

Iman keselamatan selalu melibatkan tanggapan manusia kepada Allah. Alllah telah melakukan semua yang diperlukan agar manusia bisa menerima keselamatan itu. Dia telah mengutus anak-Nya ke dalam dunia dan berbicara kepada kita melalui Roh Kudus dan firman-Nya. Hal yang terpenting dari itu semua adalah tanggapan kita dimana semua hal itu terangkum dalam iman sebagai kepercayaan, pengetahuan, janji dan keselamatan.

a. Iman sebagai pengetahuan. Pada dasarnya iman dan pengetahuan tidaklah sama. Namun, unsur penting dalam iman adalah pengetahuan. Iman yang ditujukan kepada Kristus berkaitan dengan masalah hidup dan mati serta melibatkan pemahaman akan apa yang diperbuatNya dan siapakah Kristus. Ketika Saulus (Paulus) dalam perjalanan ke Damaskus, ia dibutakan oleh cahaya yang memancar dan ia jatuh ke tanah. Segera ia bertanya: “Siapakah Engkau, Tuhan?” Jawabannya, “Akulah Yesus yang kauniaya itu” (Kis.9:5). Kemudian, Paulus menulis bahwa “...iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus” (Rm. 10:17). Jika kita memandang rendah pengetahuan, kita tidak mempedulikan doktrin alkitabiah tentang keselamatan dan menjadikan iman tidak lebih dari sekedar pengharapan buta. Kita belajar tentang Allah dengan mempercayai apa yang Allah katakan kepada kita dalam firmanNya. Jika kita menerima pengtahuan cukup tentang Kristus, seperti yang dialami Paulus dalam perjalanan ke Damaskus, kita memiliki keterangan yang diperlukan untuk menerima keselamatan yang diberikan kepada kita oleh Allah dalam Kristus. Seperti yang dituliskan dalam Amsal 3:5 “percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri.”

b. Iman sebagai kepercayaan. Dengan pengetahuan kita dapat mengetahui iman seperti apa yang menyelamatkan, tetapi untuk memiliki iman tersebut kita harus mempercayainya. Memiliki pengetahuan akan sesuau tidak mengharuskan kita mempercayainya. Seseorang bisa mengetahui berbagai fakta mengenai kehidupan dan pelayanan Yesus, tetapi ia bisa tidak percaya bahwa Yesus telah mati untuk dosa-dosanya. Memiliki pegangan intelektual tentang fakta-fakta injil adalah suatu hal, tetapi percaya bahwa Yesus adalah juruselamat umat manusia dan juruselamat secara pribadi adalah hal yang berbeda lagi. iman melibatkan pengakuan bahwa Yesus Kristus adalah Dia yang menebus manusia dari dosa. Karena itu, iman mencakup kepercayaan bahwa Kristus dengan sempurna telah menebus dosa-dosa kita, dan karena itulah kita dibenarkan di hadapan Allah.

c. Iman sebagai janji. Dengan mengetahui fakta-fakta keselamatan dan percaya bahwa hal-hal itu benar, tidak mengharuskan kita beriman. Pilatus tahu bahwa Yesus orang benar, tetapi ia tidak bertindak sesuai dengan yang diketahuinya. Iblis juga tahu tentang Firman Allah tetapi ia tidak mempunyai iman karena karena ia tidak percaya. Menurut Paulus, pengetahuan akan pemberitaan keselamatan itu penting karena ia menuliskan , “tetapi bagaiman mereka dapat berseru kepadaNya, jika mereka tidak percaya kepada Dia?” (Rm. 10:14). Iman bermula dengan hati, pusat tanggung jawab manusia, dan manusia percaya akan kebenaran. Jadi, iman melebihi pengertian mendalam dan pembenaran intelektual. Iman mencakup janji pribadi secara total diri kita kepada Tuhan.

d. Iman sebagai ketaatan. Iman dan ketaatan berhubungan erat. Alkitab berbicara tentang “... ketaatan yang datang dari iman” (Rm. 1:5, terj. NIV). Makna dasar iman adalah “percaya dan taat”. Iman adalah percaya bahwa kuasa Allah yang menyelamatkan berkarya melalui kematian dan kebangkitan Yesus; karena itu, kita menyerahkan diri kita sepenuhnya kepada-Nya. Sehingga bisa dikatakan iman itu menimbulkan ketaatan. Ketatan bukanlah suatu kebebasan; ketaatan terikat pada setiap orang percaya. Jika kita melakukannya dengan sukacita, maka itu bukanllah sesuatu yang sulit untuk dilakukan. Iman yang kita percayakan pada Kristus sebagai juruselamat adalah iman yang hidup, aktif, dan taat.



7. Peran Iman yang menyelamatkan[23]

Seperti yang dikatakan di atas bahwa, Iman adalah sarana anugerah keselamatan Allah yang tepat dalam Kristus. Kepada orang-orang dalam penjara di Filipi, Rasul Paulus berkata “percayalah kepada Tuhan Yesus dan engkau akan selamat, engkau dan seisi rumahmu” (Kis.16:31). Di seluruh Alkitab iman dijelaskan sebagai sarana di mana kita memasuki hubungan yang benar dengan Allah. Iman adalah sarana untuk menerima Kristus dan memasuki persekutuan dengan-Nya sebagai Tuhan (Gal. 2:20; Rm.10:9). Allah memberi kita seluruh anugerah yang berharga, dan melalui iman kita berpegang kepada anugerah berharga itu, Yesus Kristus. Seperti yang Paulus katakan, “sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman” (Ef. 2:8). Iman bukan suatu karya manusia, melainkan karya Allah dan segaligus sebagai sarana menerima keselamatan. Inilah yang dipikirkan Paulus ketika ia menekankan bahwa orang Kristen dibenarkan melalui iman kepada Yesus Kristus.

8. Hasil lain dari iman keselamatan dalam Yesus Kristus

a. Kita diberi kuasa untuk menjadi anak-anakNya: “Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya;” (Yoh. 1:12).

b. Kita memiliki hidup di dalamNya: “Tetapi barangsiapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk selama-lamanya. Sebaliknya air yang akan Kuberikan kepadanya, akan menjadi mata air di dalam dirinya, yang terus-menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal.” (Yoh. 4:14)

c. Kita memiliki kehidupan kekal dan akan dibangkitkan bersama denganNya: Maka kata Yesus kepada mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman.” (Yoh. 53-54).

d. Kita ada dalam penyertaanNya: “Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetok; jikalau ada orang yang mendengar suara-Ku dan membukakan pintu, Aku akan masuk mendapatkannya dan Aku makan bersama-sama dengan dia, dan ia bersama-sama dengan Aku.” (Why. 3:20).






[1] Erastus Sabdono, Apakah Keselamatan Bisa Hilang? (Jakarta: Rehobot Literature, 2019),186.


[2] Alvin Budiman Kristian, “Makna Iman dalam Perjanjian Baru,” Excelsis Deo: Jurnal Teologi, Misiologi, dan Pendidikan 4, no.1 (Juli-Desember 2019): 27.


[3] Louis Berkhof, Teologi Sistematika: Doktrin Keselamatan, diterjemahkan oleh Yudha Thianto (Surabaya: Momentum, 2008), 184-185.


[4] Henry C Thiessen, Teologi Sistematika (Malang: Gandum Mas, 2000), 413.


[5] Berkhof, 190-195.


[6] Berkhof, 179-182.


[7] Berkhof, 198-200.


[8] Sabdono, 186-191.


[9] Sabdono,193-194.


[10] Thiessen, 417-418.


[11] Thiessen, 418-419.


[12] Sabdono, 5.


[13] Sabdono, 5-6.


[14] French L Arrington, Doktrin Kristen Prespektif Pentakosta, diterjemahkan oleh Thomas Bimo Asmorosanto (Yogyakarta: Andi. 2015), 277-278


[15] Berkhof, 200.


[16] Berkhof, 182.


[17] Rick W Cornish, 5 Menit Teologi, diterjmahkan oleh Handy Hermanto (Bandung: Navpress Indonesia, 2007), 218.


[18] Arrington, 315.


[19] Berkhof, 185-190.


[20] Berkhof, 207-208.


[21] Thiessen, 414-416.


[22] Arrington, 316-318.


[23] Arrington, 315-316.

No comments:

Post a Comment

Jika anda Ingin Membantu pelayanan ini, silahkan kirimkan bantuan anda dengan menghubungi email charinmarbun@gmail.com. Jika anda diberkati silahkan Tuliskan dalam komentar. Jika ada pertanyaan dan permohonan Topik untuk dibahas, silahkan tuliskan dikolom komentar. Terimakasih sudah membaca, Tuhan Yesus memberkati selalu.