Genre-gendre Kitab Dalam Perjanjian Baru


Genre-gendre Kitab Dalam Perjanjian Baru        

    Perjanjian  Baru tidak sepanjang PL, oleh sebab itu tidak mengandung gendre atau bentuk kesusastraan sebanyak PL. Namun, di dalamnya ada empat genre utama dengan berbagai sub-bentuk. Sama seperti dalam PL, prinsip-prinsip penafsiran yang berbeda diterapkan berdasarkan gendre dan bentuk yang ada.

Genre-gendre Kitab Dalam Perjanjian Baru

A. Genre Dari Kitab-kitab Injil

    Kata euangelion (injil) dalam bahasa Yunani berarti “kabar baik.” Sebelum PB ditulis, istilah tersebut merujuk kepada kabar seperti pengumuman kemenangan militer. Dalam PB, istilah ini merujuk kepada kabar baik dari berita yang diproklamasikan oleh Yesus.     

    Dalam sebagian besar sejarah kekristenan, umat Kristen memandang kitab-kitab Injil sebagai biografi dari Yesus. Namun, dalam era modern ini identifikasi tersebut telah ditolak secara luas. Para sarjana modern berusaha menemukan sebutan yang lebih umum bagi kitab-kitab Injil. Sejumlah sarjana telah memasukkankitab-kitab tersebut ke dalam kelompok genre-genre fiksi terkenal dari Greko-Roman. Sejumlah sarjana lainnya menamakan kitab-kitab Injil sebagai aretalogies: laporan-laporan dari episode-episode kehidupan seorang “manusia Ilahi”, biasanya dibumbui dan ditambahkan cerita yang dibesar-besarkan tentang pencapaian yang luar biasa dari seorang pahlawan atau pejuang terkenal dari masa lampau.

1. Implikasi-implikasi bagi Penafsiran

Layak Dipercaya Secara Historis 

    Ada sebuah keyakinan yang beredar luas bahwa hanya sebagian kecil dari isi kitab-kitab Injil kanonik yang mengandung informasi historis yang akurat tentang perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan dari Yesus dan para pengikut-Nya. Hal ini telah mendorong perkembangan kritik tradisi dan “kriteria dari otentisitas”-nya yang digunakan unutk melacak pertumbuhan dari tradisi Yesus. Dalam kitab-kitab injil, para pembaca masa kini menemukan banyak penafsiran, rangkuman, atau intisari dari ucapan-ucapan yang panjang dan narasi dalam bentuk laporan-laporan yang disusun secara topikal atau kronologis, dan pemilihan yang teliti atas materi yang sesuai dengan penekanan teologis khusus dari seorang penulis. 

Kadang-kadang, perbedaan di antara kisah-kisah paralel bersifat lebih substansial. Semua perubahan seperti ini adalah natural dan umum dalam biografi dunia purba dan tidak menimbulkan masalah apapun. Namun, akan sangat berbeda kalau ada yang menganggap seluruh perkataan atau narasi dalam kitab-kitab Injil merupakan hasil karangan yang tidak berdasar dan sama sekali tidak memiliki bukti yang dapat dicocokkan dengan apa yang dikatakan dan dilakukan Yesus. Klaim seperti itu sangat tidak sesuai dengan bukti-bukti yang ada.

Membaca secara Horisontal dan Vertikal

    Gordon Fee dan Douglas Stuart dengan baik telah merangkum cara-cara menafsirkan perbaduan unik antara sejarah dan teologi dalam kitab-kitab Injil dengan menggunakan konsep-konsep berpikir secara horisontal dan vertikal. Karena banyak narasi dari pengajaran dan tindakan Yesus dicatat di dalam lebih dari satu kitab Injil, penafsir yang teliti harus mempelajari sebuah sinopsis atau harmoni dari kitab-kitab Injil yang mencetak cerita-cerita paralel dalam kolom-kolom yang sejajar. Dengan demikian, penafsir dapat membaca dan berpikir secara horizontal – membaca satu halaman secara mendatar – dan membandingkan cara-cara yang dipakai oleh setiap penulis kitab Injil untuk menampilkan ceritanya.jadi, tepat, bila kita berpikir secara horizontal dengan menggunakan satu kitab Injil menafsirkan kitab Injil yang lain, sejauh tulisan yang satu tidak menutupi kekhususan dari tulisan yang lain.

Berpikir secara vertikal  harus lebih diprioritaskan dibandingkan dengan berpikir secara horizontal. Yang kami maksudkan adalah bahwa bagian tulisan yang terdapat di dalam kitab-kitab Injil harus ditafsirkan di bawah terang struktur dan tema keseluruhan dari kitab Injil tersebut, meskipun dalam kitab-kitab Injil lain terdapat  cerita-cerita paralel.

Berpikir secara horizontal dan secara vertikal, setara dengan usaha mempelajari kitab-kitab Injil berdasarkan kritik redaksi modern. Kritik perspektif  teologis dari seorang penulis Alkitab dengan cara menganalisis teknik-teknik editorial (redaksional) dan komposisional serta penafsiran-penafsiran yang diterapkan dalam usaha membentuk dan membingkai tradisi-tradisi tertulis dan/atau lisan berkaitan.

Audiens Pertama dari kitab-kitab Injil

Pandangan tentang berbagai  penekanan teologis dan ciri khas yang terdapat dalam setiap kitab Injil secara natural akan mengarah kepada sebuah pertimbangan tentang para pembaca atau audiens orisinal dari kitab Injil tersebut. Terdapat sejumlah pandangan tentang audiens asli dari penulis kitab Injil yang kelihatannya masuk akal. Sebagai contoh penekanannya pada ketakutan dan kesalahanpahaman dari para murid. Pemahaman bahwa para murid di dalam kitab-kitab Injil mewakili semua orang percaya dari segala zaman juga dapat membantu kita menghindari kesalahan-kesalahan hermeneutika di masa lampau.

2. Isu-isu Teologi Kunci

    Untuk dapat menafsirkan kitab-kitab Injil secara tepat berdasarkan intisari pengajaran Yesus, kita harus secara tepat memahami dua isu teologis: pandangan Yesus tentang Kerajaan dan natur dari etika yang diajarkan-Nya.

Kerajaan Allah

Tema sentral dari pengajaran Allah adalah pengumuman tentang kedatangan Kerajaan Allah. Kerajaan di sini lebih merujuk kepada suatu kuasa daripada sebuah tempat, lebih kepada sebuah pemerintahan daripada sebuah daerah kekuasaan.

Rangkuman yang paling sederhana atas teologi Kerajaan yang diajarkan Yesus adalah slogan “already but not yet” (telah tapi belum). Umat Kristen yang sedang bergumul dengan berbagai kebimbangan dalam pelayanan atau situasi-kondisi pribadi yang sulit, sama halnya dengan mereka yang pada saat ini sedang mengalami banyak kemenangan dan pencapaian, perlu secara konsisten mengalahkan keputusasaan atau antusiasme mereka dengan cara mengingatkan diri sendiri akan kedua unnsur dari slogan diatas.

Etika yang diajarkan Yesus

Pemahaman akan teologi Kerajaan yang diajarkan Yesus memampukan para penafsir, mengartikan secara tepat tuntutan-tuntutan etika yang diberikan-Nya. Para penafsir seringkali bertanya-tanya tentang betapa kerasnya tuntutan-tuntutan tersebut, terutama yang secara jelas dapat ditemukan dalam Khotbah di bukit.Kebanyakan pengajaran Yesus berlaku bagi semua orang percaya dalam segala situasi, kecuali kalau Kitab Suci itu sendiri yang menyatakan adanya pembatasan-pembatasan tertentu. Namun, kadang-kadang materi kontekstual dalam kitab-kitab Injil itu sendiri dengan jelas membatasi penerapan dari pengajaran-pengajaran tertentu yang disampaikan Yesus. Namun, terlepas dari prinsip hermeneutika yang berlaku, hal itu merupakan tindakan yang tidak bertanggungjawab kalau ada penafsir berani berasumsi bahwa ada pengajaran tertentu dari Yesus yang tidak berlaku bagi kita dalam situasi-kondisi yang sedang kita hadapi saat ini.


3. Bentuk-bentuk Tulisan Dalam Kitab-kitab Injil

Genre-genre kesusteraan (dalam keseluruhan tulisan) yang berbeda memiliki prinsip-prinsip penafsiran yang berbeda, dan kita harus memperlakukan bentuk-bentuk tulisan tersendiri (unit materi berdiri sendiri yang lebih kecil) dengan cara-cara yang unik. Dalam kitab-kitab Injil, tiga bentuk yang paling umum dan mengandung keunikan yang layak diperhatukan secara khusus adalah perumpamaan, cerita mukjizat, dan cerita pengumuman atau pernyataan.

Perumpamaan

Cerita-cerita yang disampaikan Yesus, seperti orang Samaria yang baik hati, anak yang hilang, dan penabur benih, menjadi salah satu bagian yang paling terkenal dan populer dalam Kitab Suci. Jadi, sebagai contoh, dalam cerita anak yang hilang (Luk. 15:11-32) cincin yang diberikan oleh ayah kepada anak yang hilang tersebut dapat mewakili baptisan orang Kristen; dan pesta perjamuan mewakili Perjamuan Kudus. Jubah dapat merefleksikan imoralitas; dan sepatu sebagai persiapan yang diberikan Allah untuk perjalanan ke Surga. Sebaliknya, setiap perumpamaan hanya mengandung satu makna, karena ia mengajarkan kebenaran-kebenaran yang agak umum tentang realita-realita spiritual. Oleh sebab itu, seluruh cerita anak yang hilang dapat dirangkum menjadi satu pelajaran tentang “kesukacitaan yang tidak terbatas dari pengampunan Allah”. Kekayaan unsur-unsur cerita hanya sekadar meningkatkan unsur realisme, gambaran yang hidup, dan warna lokal yang ada. Karena ada banyak perumpamaan (seperti perumpamaan-perumpamaan pada umumnya) menggunakan pengalaman kehidupan nyata untuk mengilustrasikan kebenaran yang sama tentang kehidupan spiritual, maka unsur-unsur yang tidak realistis langsung dapat dikenali karena tampak mencolok.

Contoh-contoh yang lebih panjang dari genre ini (novel atau cerita pendek) umumnya mengomunikasikan makna-makna lewat karakter-karakter utamanya.

Kira-kira sepertiga dari semua perumpamaan yang ada memiliki narasi yang lebih pendek dan dan struktur yang lebih sederhana. Kadang-kadang di dalamnya dikontaskan dua karakter tanpa menampilkan figur pemimpin – pembagun rumah bijak dan bodoh (Mat. 7:24-27). Berdasarkan ilustrasi kita tentang masalah-masalah dalam menafsirkan kisah anak yang hilang, maka masuk akal untuk menyatakan bahwa para pembaca harus mempertimbangkan setiap perumpamaan dari perspektif setiap karakter utama yang ada. Sebuah sorotan khusus atas sang anak yang terhilang mengajarkan tentang pertobatan; dilanjutkan dengan tindakan-tindakan sang ayah yang mengungkapkan kasih dan pengampunan yang berkelimpahan dari Allah; dan perhatian kepada anak sulung memberi peringatan tentang kekerasan hati. Ketiga poin tersebut masing-masing merupakan bagian yang tak terpisahkan dari makna perumpamaan tersebut.

Tidak semua perumpamaan, khususnya narasi panjang yang lebih rumit, mengandung satu pelajaran sederhana dan utuh yang mudah ditemukan. Oleh sebab itu, lebih baik mempertahankan formulasi yang lebih rinci dan kelihatan tidak praktis daripada menghasilkan sebuah rangkuman yang ringkas dan tajam namun berisiko kehilangan sejumlah pengajaran dari teks.

Cerita Mukjizat

“Bentuk tulisan” unik lain yang terdapat di dalam kitab-kitab Injil adalah cerita mukjizat. Sebuah mukjizat dalam Alkitab adalah “sebuah peristiwa yang sangat mengejutkan, melampaui apa yang dipandang sebagai kewajaran manusiawi yang percaya, bahwa Allah bertindak baik secara langsung maupun lewat perantara.” Motif-motif umum yang terdapat didalamnya mencakup antara lain kesukaran yang dihadapi seseorang, sebuah seruan minta tolong, respons pembuat mukjizat, mukjizat itu sendiri, reaksi orang banyak, dan respons pembuat mukjizat terhadap reaksi tersebut.

Para penafsir dari sejumlah tradisi teologi secara terus-menerus menghasilkan sebuah pendekatan yang lebih baik. Cerita mukjizat di dalam kitab-kitab Injil pertama-tama berfungsi secara kristologis untuk mendemonstrasikan siapakah Yesus sebenarnya, dan kemudian melalui sejarah keslamatan mengesahkan klaim-Nya bahwa pemerintahan Allah sebagai Raja telah datang ke dalam sejarah umat manusia. Oleh sebab itu, ketika Yesus mengusir satu roh jahat, ia mendeklarasikan, “Tetapi jika Aku mengusir setan dengan Kuasa Roh Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu” (Mat. 12:28).

Cerita Pengumuman/Pernyataan

Bentuk tulisan ketiga yang penting dan khas dalam Injil dikenal dengan berbagai sebutan berikut: apophthegm, paradigma, cerita pengumuman, cerita konflik, atau chreia. Istilah-istilah tersebut masing-masing memiliki sejarah tersendiri dan merujuk kepada kumpulan-kumpulan tulisan yang sedikit berbeda. Namun, “cerita pengumuman” merupakan istilah yang paling jelas dan paling umum dipakai.

Secara umum dapat ditemukan di dalam kitab-kitab Injil, bentuk tulisan ini merujuk kepada sebuah narasi singkat dan lengkap yang terutama berfungsi memperkenalkan sebuah ucapan kunci yang klimaks (atau pengumuman) dari Yesus. Pegumuman-pengumuman tersebut umumnya bersifat seperti amsal. Markus 2:13-17 merupakan sebuah contoh klasik dari cerita pengumuman. Dalam setiap contoh, kita memfokuskan diri untuk mencari ungkapan klimatiknya, menjaga agar tidak menjadikannya kebenaran yang tidak terbatas oleh waktu, dan mengartikannya sebagai sebuah tantangan yang radikal kepada situasi kondisi religius  yang anti perubahan.

Bentuk-bentuk lain

Para Sarjana telah mengidentifikasi banyak bentuk lain dalam kitab-kitab Injil. Kebanyakan dari mereka memiliki pedanannya di dalam PL – peribahasa legal, ucapan bahagia dan kutuk, cerita pengumuman dan kelahiran, adegan-adegan panggilan dan pengakuan, ucapan-ucapan perpisahan dan sebagainya.

B. Genre Dari Kisah Para Rasul

Sebagaimana diperkirakan, Kisah Para Rasul–Volume ke-2 dari dua bagian karya Lukas – memiliki kesamaan yang kuat dengan genre Injil. Kisah Para Rasul 1:1 berkaitan langsung dengan Injil Lukas sehingga dapat dikatakan bahwa prolog kitab Injil tersebut (Luk. 1:1-4) ditujukan kepada kedua kitab itu. Sebagaimana yang terjadi dalam kitab-kitab Injil, banyak penafsir Kisah Para Rasul tergoda untuk membuat dikotomi palsu yang membedakan antara teologi dengan sejarah. 

1. Implikasi-implikasi bagi penafsiran 

Bukti sejarah kumulatif  bagi sifat kesejarahan kitab Kisah Para Rasul – detailnya yang kaya tentang orang, tempat, dan budaya – terlalu berkelimpahan untuk dapat diabaikan. Namun, sebagaimana dalam kitab Injilnya, Lukas tidak menyusun sebuah sejarah  hanya demi sejarah itu sendiri, lebih daripada itu, ia menyusunnya untuk mengajar para pembacanyanya tentang apa yang dipercayainya telah dicapai Allah dalam dunia ini dan apa yang diperintahkan Allah agar dilakukan oleh orang-orang percaya di dalam dan lewat peristiwa-peristiwa yang ia ceritakan. 

Berpikir secara Vertikal

Kemungkinan Lukas menyusun kitab Kisah Para Rasul dengan cara yang sama dengan kitab Injilnya: dengan menggabungkan informasi-informasi dari catatan-catatan tertulis yang lebih pendek tentang berbagai peristiwa dengan apa yang ia dapatkan secara lisan, umumnya dari para saksi mata. Jika kita memiliki kitab yang paralel dengan Kisah Para Rasul, sebagaimana kitab-kitab Injil yang paralel, mungkin saja kita akan mendapatkan materi yang berbeda, namun kenyataannya, kita tidak memiliki kitab paralel tersebut. Jadi, kita tidak boleh menciptakan sebuah sinopsis yang memberikan kesempatan bagi kita untuk berpikir secara horisontal. 

Di pihak lain, kita memiliki data yang sangat kaya yang memampuan  kita untuk berfikir secara vertikal. Garis besar Kisah Para Rasul secara keseluruhan, lebih jelas dibandingkan dengan semua kitab Injil yang ada. Kita memahami Kisah Para Rasul 1:8 sebagai program yang berfungsi secara teologis untuk mencapai tujuan penulisan Lukas. Ia bermaksud menceritakan episode-episode yang dipilihnya yang berkaitan dengan ekspansi kekristenan secara geografis dan kultural untuk mempersembahkan sebuah Injil sebagai sebuah berita kepada segala bangsa. Oleh sebab itu, ia memulai kisahnya dengan menggambarkan secara virtual bahwa semua pengikut Yesus pada mulanya adalah orang-orang Yahudi yang tinggal di Yerusalem, ibukota Israel secara politis dan Kultural.

Dalam enam tempat, Lukas menandai apa yang menjadi divisi-divisi utama dalam narasinya yang mengindikasikan ekspansi kekristenan (6:7; 9:31; 12:24; 16:5; 19:20; 28:31). Setiap kalimat rangkuman tersebut merujuk pada sifat pertumbuhan dan penyebarluasan yang terdapat dalam perkataan Tuhan. Jadi, seharusnya garis besar Kisah Para Rasul adalah sebagai berikut:

I. Misi Kristen kepada bangsa Yahudi (1:1-12:24)

A. Gereja di Yerusalem (1:1-6-7)

B. Gereja di Yudea, Samaria, dan Galilea (6:8-9:31)

C. Perkembangan Lanjutan di Palestina dan Siria (9:32-12:24)

II. Misi Kristen kepada bangsa kafir (12:25-28:31)

A. Perjalanan misi pertama dari Paulus dan Sidang di Yerusalem(12:25-16:5)

B. Penjangkauan yang luas lewat Dua Perjalanan Misi lainnya dari Paulus(16:6-19:20)

C. Untuk Yerusalem dan kemudian untuk Roma(19:21-28:31).

Untuk menafsirkan dengan tepat, episode tertentu didalam Kisah Para Rasul, pertama-tama kita harus menempatkan episode tersebut dalam kerangka garis besar dan tema yang berkembang di dalam tulisan Lukas tersebut. Dua contoh yang sangat baik dapat ditemukan dalam pasal 8. Dua episode utama dari pasal ini mencakup:

(1). Pertobatan dan baptisan dari orang-orang Samaria, dengan Simon si Tukang Sihir sebagai pemimpin mereka (8:5-25)

(2). Pertobatan dan baptisan dari sida-sida dari Etiopia dalam perjalanan ke Gaza (8:26-39).

    Oleh sebab itu dua fitur dari Kisah Para Rasul yang paling menonjol dari Kisah Para Rasul 8 bagi orang Kristen masa kini tidak seharusnya dipusatkan pada pemilihan waktu kedatangan Roh Kudus dan efek-efek yang dibawa-Nya, juga bukan pada perdebatan-pedebatan tentang berapa banyak air yang diperlukan untuk baptisan, atau seberapa banyak cepat seharusnya baptisan dilakukan setelah pertobatan. Yang tepat adalah, semua teks sejenis itu harus menyerukan kepada semua orang Kristen masa kini untuk menemukan siapakah orang-orang Samaria dan sida-sida yang berasal dari dunia kita.

Berfikir secara vertikal juga mencakup memperlakukan Lukas-Kisah Para Rasul sebagai satu kesatuan unit yang utuh. Secara nyata dapat ditemukan penekanan-penekanan redaksional atau teologis dalam Injil Lukas yang juga terdapat dalam Kisah Para Rasul, jadi para penafsir harus memberikan perhatian khusus kepada hal ini.

Lewat memperbandingkan Injil Lukas dengan Kisah Para Rasul kita dapat menemukan paralel-paralel struktural atau tematis yang terdapat di antara kedua kitab tersebut, yang mungkin bahkan tidak ditemukan antara Injil Lukas dengan kitab-kitab Injil lainnya. 

Atau, bandingkanlah akhir dari Injil Lukas dan Kisah Para Rasul. Kitab Injil diakhiri dengan sebuah fokus yang panjang dan terperinci atas kesengsaraan dan kematian Yesus.

Signifikansi dari Pentakosta

Penafsiran yang tepat atas Kisah Para Rasul juga menuntut sebuah apresiasi atas signifikan dari peristiwa yang tercatat dalam Kisah Para Rasul 2. Eksegesis yang teliti mengharuskan sebuah pandangan yang mampu menjembatani, katakanlah, antara pihak ekstrem dari dispensasionalisme tradisional dan teologi perjanjian yang tidak memenuhi syarat. Dengan kata lain, penafsir harus menghindari penafsiran yang membesar-besarkan secara berlebihan baik kesinambungan maupun ketidaksinambungan di antara kedua zaman yang ada. Sebagai contoh, baptisan dan didiaminya semua orang percaya oleh Roh Kudus (2:38-39; bdk. 1Kor. 12:13) dan fenomena bahasa-bahasa asing (2:5-12; 10:44-46; 19:4-7) menandai sebuah pemisah yang signifikan dari masa-masa PL. Oleh sebab itu, kita harus berhati-hati, sebagai contoh, untuk tidak berasumsi bahwa Kisah Para Rasul 1:22-26 menjadi sebuah model tentang bagaimana orang-orang Kristen harus mengambil keputusan.

Di pihak lain, para penafsir harus menghindar diri dari usaha terlalu membesarkan perbedaan antara hari-hari sebelum dan sesudah Pentakosta. Dengan tidak membesar-besarkan ketidaksinambungan antara zaman lama dan baru, penafsir juga harus berhati-hati agar tidak memandang remeh nilai positif dari Kisah Para Rasul berdasarkan kenyataan bahwa kitab ini merefleksikan sebuah titik transisional antar dua perjanjian.sebagaimana dengan banyak bagian dalam narasi historis PL, para penafsir perlu mencari petunjuk-petunjuk di dalam teks itu sendiri sehubungan dengan apa yang dimaksudkan sebagai contoh yang baik, buruk, ataupun netral. Narasi sering kali memberikan pengajaran dengan cara yang lebih tidak langsung dibandingkan dengan karya sastra didaktrik, namun kenyataan tersebut tidak berarti bahwa narasi tidak memiliki nilai normatif, jika kita memahami dengan tepat makna sesungguhnya dari teks. Selanjutnya, hal yang tidak kalah pentingnya, para pembaca juga harus menghindarkan diri dari membaca Kisah Para Rasul 21:17-26 sebagai sebuah model yang positif karena akhir ceritanya bertolak belakang dengan episode tersebut (ay. 27-36).

Adalah sama menyesatkan untuk mengidentifikasi titik-titik balik di dalam kitab tersebut untuk menunjukkan bahwa berita keselamatan tidak boleh lagi diberitakan kepada bangsa Yahudi.

Kisah Para Rasul sebagai Narasi

Narasi sering kali memberikan pengajaran dengan cara yang lebih tidak langsung dibandingkan dengan karya sastra didaktik tanpa menjadi kurang normatif. Fee dan Stuart secara tepat menambah ke atas kaidah lama mereka yang berbunyi “kecuali Kitab Suci secara eksplisit memberitahukan kita untuk melakukan sesuatu, apa yang hanya diceritakan atau dideskripsi tidak berfungsi sebagai sesuatu yang normatif,” ditambahkan dengan penjelasan, “kecuali dapat dibuktikan berdasarkan bukti lain bahwa penulis memaksudkannya untuk berfungsi demikian.” Kadang-kadang, konteks dari sebuah perumpamaan memperjelas pelajaran tersebut (mis., Luk. 10:37;13:3-5;18:1). Hal ini mengindikasi bahwaa dalam contoh-contoh lainnya kita seharusnya menarik kesimpulan yang sama. Namun bagaimanapun juga, kita seharusnya juga melakukan penafsiran dengan lebih berhati-hati kalau teks yang ada tidak mengandung perintah langsung. Yang terutama kita perlu mempelajari keseluruhan kitab untuk mengetahui apakah peristiwa-peristiwa tertentu membentuk sebuah pola yang konsisten di dalam keseluruhan kitab atau apakah model-model positif yang ditampilkan Lukas situasinya berbeda-beda.

Model-model bentuk pemerintahan dan organisasi gereja di Kisah Para Rasul mengungkapkan sejumlah variasi bentuk-bentuk yang bahkan lebih membingungkan. Konggregasionalis, Presbiterian, dan Episkopalian semuanya dengan absah merujuk ke teks Kisah Para Rasul untuk mendukung pandangan mereka masing-masing tentang struktur dan kepemimpinan mereka. Lukas memandang semua model tersebut sebagai aplikasi yang pantas bagi prinsip-prinsip kepemimpinan di bawah berbagai situasi dari berbagai budaya yang ada.

Di pihak lain, sejumlah pola pelayanan dan misi bertahan secara konstan sepanjang kitab Kisah Para Rasul. Lukas memberikan contoh yang baik tentang bagaimana ia memahami makna kepenuhan Roh Kudus. Setiap kali orang-orang percaya dipenuhi dengan Roh Kudus dan hal terjadi berulang-ulang atas orang percaya dan dipenuhi dengan Roh Kudus – dan hal ini terjadi berulang-ulang atas orang atau kelompok orang yang sama (2:4; 4:8, 31; 9;17;13:9) – mereka dimampukan untuk mengabarkan Firman Allah dengan penuh keberanian atau melakukan perkara besar dalam nama Yesus. Sebuah doktrin Alkitab yang benar tidak akan menempatkan tulisan Kisah Para Rasul dibawah tulisan Paulus hanya karena yang satu adalah narasi sedangkan yang lain adalah karya sastra didaktik. Sebaliknya, juga tidak seharusnya orang menempatkan tulisan Paulus dibawah Kisah Para Rasul karena adanya fenomena-fenomena yang mengikuti cerita dalam Kisah Para Rasul (seperti berbicara dalam bahasa Roh). Roh Kudus menginspirasi Kitab Suci; tidak ada satupun genre yang mengungguli genre lainnya.

Frasa “baptisan dalam (atau “dari”) Roh” hanya muncul dua kali dalam Kisah Para Rasul, namun ketujuh pemakaiannya dalam keseluruhan PB adalah konsisten. Seluruh pemakainnya, kecuali satu, merujuk kepada pengalaman mula-mula dari Roh ketika mendirikan Gereja pada hari Pentakosta (Mat. 3:11; Mrk. 1:8; Luk. 3:16; Yoh. 1:33; Kis 1:5; 11:16), dan satu penggunaan lainnya menyatakan bahwa semua orang Kristen di kota Korintus (banyak di antara mereka belum dewasa secara rohani) telah mengalami pengalaman demikian (1Kor. 12:13; bdk. 1:7). Di tengah-tengah perbedaan yang besar antara khotbah-khotbah yang disampaikan oleh Petrus dan Paulus yang tercatat dalam Kisah Para Rasul, kita dapat menemukan sebuah kerygma (proklamasi keselamatan) yang umum.

Selain itu, perbedaan yang muncul dalam khotbah-khotbah pemberitaan kerygma tersebut sebenarnya merujuk kepada sebuah fitur yang konsisten dari khotbah-khotbah yang disampaikan orang Kristen mula-mula: usaha untuk mengontekstualisasikan Injil.

C. Genre Dari Surat-surat Kiriman

1. Implikasi-implikasi bagi Penafsiran

Pertimbangan-pertimbangan Umum

Surat Kiriman adalah sejenis surat. Surat-surat dalam PB memiliki nilai kesusastraan, formal, dan artistik yang lebih rendah dibandingkan dengan kebanyakan risalah-risalah klasik bangsa Yunani, namun secara umum lebih panjang, memiliki struktur yang lebih baik, dan memiliki sifat didaktik yang lebih kuat dibandingkan dengan korespondensi pribadi yang tipikal. Sebagai tulisan dari rasul-rasul dan pemimpin-pemimpin gereja mula-mula kepada berbagai komunitas dan individu Kristen, Surat-surat Kiriman utamanya mengajarkan teologi dan memberikan pengajaran etika.

Meskipun merupakan genre yang memiliki sifat pengajaran yang paling kuat dan langsung dibandingkan dengan semua genre lainnya dalam PB, Surat-surat Kiriman merupakan tulisan yang paling “terikat oleh situasi dan kondisi.” Dengan kata lain, para penulis menulis Surat-suray Kiriman untuk menanggapi situasi dan kondisi khusus dan berbicara kepada audiens khusus yang sedang menghadapi masalah-masalah yang unik.

Kadang-kadang, konteks historis membantu penafsir menentukan bagaimana melakukan aplikasi dengan tepat; kadang-kadang teks dari surat kiriman itu sendiri memberikan petunjuk-petunjuk yang dibutuhkan. Sebagai contoh, teks yang berkaitan dengan Perjamuan Kudus (1 Kor.11:27-29) mengizinkan orang-orang Kristen untuk menarik  prinsip-prinsip umum yang dapat diterapkan kepada situasi-situasi yang tidak terancam oleh adanya kemabukan.

Contoh terakhir yang mengilustrasikan satu pertimbangan hermeneutika umum lainnya bagi Surat-surat Kiriman adalah: para penafsir harus menempatkan diri mereka sespesifik mungkin dalam konteks historis yang khusus. Perbandingan dengan informasi dalam Kisah Para Rasul sering kali menghasilkan berbagai data tambahan, dan studi atas tulisan-tulisan yang dihasilkan penulis purba lainnya yang berasal dari kota-kota tempat gereja-gereja apostolik terletak juga akan mampu menyempurnakan gambaran yang dimiliki.

Tentu saja, tidak semua Surat Kiriman dapat begitu saja ditempatkan dalam konteks historisnya. Sebagai contoh, Surat Galatia membagi para penafsir menjadi dua kubu yang memperdebatkan apakah surat tersebut ditulis kepada Galatia Utara atau Selatan, dan apakah ditulis pada masa “awal” atau “akhir” (yakni, sebelum atau sesudah sidang para rasul di Kis.15). Perbandingan antara Kisah Para Rasul 14 dengan Galatia 3 akan berguna hanya kalau penafsir menerima pandangan penulisan masa awal kepada penduduk Selatan.

Oleh sebab itu, isu tentang penggunaan nama samaran perlu mendapat beberapa tanggapan di sini. Kepenulisan mungkin dapat menimbulkan sebuah perbedaan besar dalam cara seseorang menafsirkan, katakanlah, 1 Timotius 2:8-15.

Sejumlah sarjana lain langsung menerima pandangan tentang pengunaan nama samaran ini ketika mereka menemukan “kontradiksi-kontradiksi” di anatara teologi-teologi yang terdapat dalam sejumlah surat yang ditulis oleh orang yang sama atau ketika mereka menemukan adanya perubahan-perubahan dalam gaya atau etos di dalamnya. 

Teori tentang pemakaian nama samaran seperti ini sama sekalitidak mengurangi otoritas surat kiriman tersebut; ia tetap memiliki nilai normatif bagi setiap orang percaya tanpa perlu tergantung kepada kepenulisannya.

Pertimbangan-pertimbangan Spesifik

Untuk menafsirkan Surat-surat Kiriman PB secara tepat, kita perlu memperbandingkannya dengan surat-surat zaman purbakala lainnya dari dunia Greko-Roman.

Pemahaman akan peraturan-peraturan seperti itu akan memampukan para penafsir memahami apa yang bersifat tipikal atau atipikal yang terdapat dalam Surat-surat Kiriman PB. Doa dan ucapan syukur pembuka, yang pasti bersifat lebih teologis dibandingkan rata-rata surat “sekular” lainnya, sebenarnya menampilkan sebuah tatakrama yang bersifat umum yang menjadi perhatian semua penulis.

Para sarjana membagi surat-surat Greko-Roman ke dalam beberapa subgenre. Sepucuk surat seperti 1 Tesalonika mengilstrasikan surat “paretic” atau surat peringatan. Semua pujian yang Paulus tumpahkan ke atas orang-orang Tesalonika, merupakan bagian dari strategis penulisan ini. Subgenre kedua adalah diatribe: sebuah metode pengajaran yang bersifat percakapan, di sini penulis menanggapi dan menjawab keberatan-kebaratan hipotetikal dari para penentangnya. Kebanyakan bagian dari surat Roma 1-11 dapat dimasukkan ke dalam klasifikasi ini.

Sebuah subgenre lain dari surat kiriman adalah surat pengantar atau rekomendasi, yang dirancang untuk memperkenalkan pembawa surat kepada penerima surat sebelum mengajukan permohonan bantuan tertentu.

Tidak setiap subgenre yang diajukan dalma kritik Surat-surat Kiriman adalah sejelas contoh-contoh yang terdapat dalam surat 1 Tesalonika, Roma, dan Filemon. Namun bagaimanapun juga, sejumlah pendapat lainnya layak dipertimbangkan untuk mengasah pendekatan hermeneutika kita.

Cara lain untuk mengategorikan Surat-surat Kiriman dilakukan berdasarkan jenis retorika yang terdapat di dalam setiap surat yang ada. Orang-orang Yunani dan Romawi purba membedakan tiga jenis retorika utama: judisial (usaha untuk meyakinkan suatu audiens tentang kebenaran atau kesalahan dari suatu tindakan di masa lalu), deliberatif (percobaan untuk mendesak orang-orang tertentu untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu berdasarkan pertimbangan manfaat dari tindakan tersebut yang akan dilakukan di masa yang akan datang), dan epideiktik (penggunaan pujian atau celaan untuk mendorong orang-orang mengafirmasi sebuah pandangan atau seperangkat konsep nilai di masa kini). Sebuah penyampaian retorika yang lengkap mengandung semua fitur berikut, meskipun kadang-kadang satu atau lebih bagiannya tidak disertakan:

exodium menyatakan penyebab dan menarik perhatian dan simpati dari audiens

narratio menghubungkan latar belakang dan fakta-fakta dari kasus yang ada

prospositio menyatakan apa yang telah disetujui dan apa yang telah ditolak

probatio mengandung bukti-bukti berdasarkan kredibilitas dari sang pembicara; merangsang perasaan dan/atau argumentasi logis dari para pendengar

refutatio menyangkal argumentasi-argumentasi dari para penentang

peroratio merangkum argumentasi dan berusaha meningkatkan emosi-emosi dari para pendengar.

Usaha untuk menentukan jenis retorika dari sebuah surat kiriman menjadi rumit ketika para penulis mencampurkan dua atau tiga jenis retorika yang ada. Analisis retorika juga mampu membuktikan kesatuan dari surat-surat kiriman yang sebelumnya dianggap sebagai karya-karya campuran. Contohnya adalah surat Roma. Sejumlah sarjana mengidentifikasi daftar yang panjang tentang ucapan-ucapan salam pasal 16 sebagai lampiran yang salah tempat, mungkin merupakan akhir dari surat Efesus.

Keistimewaan-keistimewaan Surat Ibrani dan “Surat-surat Kiriman Umum”

Surat Ibrani dan tiga Surat Kiriman Umum – Yakobus, 1 Yohanes, dan Yudas – berbeda dari genre surat tradisional: Surat Ibrani tidak dimulai seperti sepucuk surat, Yakobus tidak diakhiri seperti sepucuk surat, dan 1 Yohanes tidak memuat salam pembuka dan penutup. Terdapat tiga tema yang menonjol: ujian dan pencobaan, hikmat dan ucapan, dan kekayaan dan kemiskinan. Yakobus 1 memperkenalkan setiap tema tersebut masing-masing dua kali, sementara pasal 2-5 membahas tema-tema tersebut lebih rinci dalam urutan yang terbalik. Surat 1 Yohanes tidak dimulai dan diakhiri selayaknya sepucuk surat. Di antara sejumlah pandangan yang ada, mungkin yang terbaik adalah pandangan yang menyatakan surat ini sebagai sebuah homili deliberatif. Surat Yudas merupakan ilustrasi yang baik tentang kekhususan genre dan teknik penafsiran bangsa Yahudi atas midrash , meskipun tanpa disertai berbagai detail yang bersifat fiktif. Ayat 3-4 mengungkapkan tujuan surat Yudas secara ringkas: “Aku merasa terdorong untuk menulis ini kepada kamu dan menasihati kamu, supaya kamu tetap berjuang untuk mempertahankan iman yang telah disampaikan kepada orang-orang kudus. Sebuah ulasan lebih lengkap atas pandangan-pandangan yangberkaitan dengan genre dan retorika dari berbagai jenis surat-surat kiriman dapat memberikan contoh-contoh tambahan. Dalam serial The Eerdmans Socio-Rhetorical  Commentary mengembangkan model garis besar seperti ini dengan perincian yang cukup lengkap.

2. Bentuk-bentuk Individual Dalam Surat-surat Kiriman

Kritik bentuk dalam Surat-surat Kiriman tidak sesering yang ditemukan dalam kitab-kitab Injil. Dalam kebanyakan bagian, para penulis PB tidak tergantung kepada materi-materi yang sudah ada atau menggunakan bentuk-bentuk yang berdiri sendiri.

Kredo dan Himnal

Beberapa bagian Surat-surat Kiriman mengndung bagian-bagian tulisan singkat sepanjang satu paragraf yang berisi rangkuman kunci atas doktrin, sering kali kristologi, dalam gaya yang mirip dengan puisi kuno, himnodi, dan pengakuan iman. Kita dapat memperoleh informasi yang merefleksikan apa yang dianggap penting oleh Gereja di tahun-tahun awal berdirinya. Ketika kita memahami bahwa salib telah mendominasi pusat khotbah yang disampaikan Paulus (1Kor. 2:2), maka masuk akal jika Paulus menyelipkan himnal atau kredo tentang pra-eksistensi Yesus ini ke dalam suratnya dan kemudian ia menambahkan satu baris yang krusial – baris yang diberi penekanan khusus.

Kode Kosmetik

Banyak sumber dari bangsa Yahudi dan Greko-Roman yang mengandung bagian-bagian pengajaran bagi para individu yang berkaitan dengan otoritas atau kepatuhan. Sering kali, pengajaran-pengajaran seperti ini difokuskan pada relasi-relasi dalam kerangka rumah tangga yang diperluas: suami dan istri, orng tua dan anak-anak, tuan dan hamba. Mungkin penemuan yang paling signifikan yang lahir dari sebuah perbandingan antara Haustafeln yang karnonikal dengan nonkanonikal adalah tentang natur radikal dari nilai kristina yang diterapkan atas patner subordinat dalam setiap hubungan yang ada.

Slogan 

Surat 1 Korintus menghadirkan tantangan yang unik bagi para penafsir. Dalam surat di PB ini, Paulus menyatakan bahwa ia merespons serangkaian pernyataan dan kontroversi (yang disampaikan baik secara lisan maupun tertulis) yang muncul di dalam gereja (1:11; 7:1). Dalam beberapa contoh, slogan seperti ini cukup jelas, sehingga sejumlah terjemahan PB terkini menambahkan tanda kutip atasnya (6:12; 6:13; dan 10:23). Jelas sekali Paulus tidak mungkin mengajarkan bahwa “segala sesuatu halal bagiku” (6:12) tanpa disertai dengan kualifikasi yang substansial. Secara pribadi, Paulus dengan jelas memilih hidup selibat, namun ia juga menyadari bahwa Allah memberikan karunia gaya kehidupan demikian kepada orang-orang percaya tertentu saja.

Berbagai slogan yang ada di kalangan jemaat Korintus ini memiliki sejumlah fitur umum yang sama: semuanya ringkas dan menggunakan kata-kata yang padat (sebagaimana yang menjadi ciri-ciri khas slogan); semuanya merefleksikan pandangan-pandangan yang sebagian disetujui Paulus, namun dapat menyesatkan kalau ditafsirkan dengan sembarangan tanpa kualifikasi yang jelas; dan semuanya mewakili perspektif umum yang ditemukan dalam filosofi bangsa Yunani purba dan kemudian berkembang menjadi Gnostikisme.

Daftar Kebajikan dan Kejabatan

Contoh terakhir dari bentuk umum dalam Surat-surat Kiriman PB adalah daftar kualitas atau tindakan yang melambangkan moralitas atau imoralitas berdasarkan sudut pandang Kristiani. Orang-orang Yahudi dan bangsa-bangsa kafir seringkali menyusun daftar-daftar sejenis. Contoh-contoh dari PB mencakup Roma 1:29-31; 1 Korintus 6:9-10; Galatia 5:19-23; Yakobus 3:7-18; dan 2 Petrus 1:5-7. Sebagai contoh, dunia Yunani purba secara rutin menganggap homoseksual sebagai perilaku yang dapat diterima. Kondemnasi  secara beruntun yang disampaikan oleh Paulus atas perilaku tersebut (bdk. Rm. 1:24-32; 1 Kor. 6:9; 1 Tim. 1:10) tentu menjadi pandangan yang mengemuka dan menciptakan pertentangan yang semakin meruncing pada masa kini. Namun, kesetiaan kepada Injil menuntut perilaku tersebut harus disebut sebagai dosa pada segala zaman.

3. Isu-isu Teologis Kunci dalam Surat-surat Kiriman Paulus

Ketika seorang penulis menghasilkan sejumlah kitab berbeda dalam rentang waktu yang panjang, sebagaimana dengan Paulus, pertanyaan-pertanyaan teologis yang khas akan muncul. Dua pertanyaan yang paling menonjol adalah:

(1). Apakah ada sebuah pusat yang mempersatukan teologi Paulus?

(2). Apakah teologi Paulus “berkembang” dari satu periode kepada periode lain sehingga ia mengubah pikirannya atas sejumlah isu-isu yang signifikan.

Pusat teologi Paulus

Karena pengaruh dari Luther, kebanyakan kaum Protestan berasumsi bahwa pengajaran utama Paulus menekankan “dibenarkan karena iman” melampaui segala jenis “perbuatan kebenaran”. Namun seiring dengan perjalanan waktu, pengaruh Luther mulai memudar. Sebagai contoh, tidak terdapat bukti bahwa Paulus sebagai seorang Yahudi bergumul dengan rasa bersalah di dalam hati nuraninya, yang meningkat menjadi lebih frustasi karena ketidak mampuannya menyenangkan Allah lewat pebuatan-perbuatan baiknya.

Namun demikian, “pusat” yang dimiliki Luther secara umum dapat bertahan meskipun kadang-kadang ada suara yang mengejutkan sebuah teme pemersatu lain – yang bersifat komplementari – (rekonsiliasi atau tinggal “di dalam Kristus”).

Tentu saja, cara orang menafsirkan sebagian besar tulisan Paulus akan tergantung kepada bagaimana ia menilai perdebatan tentang pusat teologis seperti ini. Sebagai contoh, dua buku Yunani oleh J.D. G. Dunn dan T. R. Schreiner secara konsisten menghasilkan dua kesimpulan yang sangat berbeda: Schreiner berpihak kepada konsensus yang lebih tua, sementara Dunn secara penuh semangat memperkenalkan “cara pandang baru”.

Jika suatu pandangan minor dalam suatu tulisan yang ada atau sebaliknya, maka hasil penafsirannya akan menjadi tidak seimbang.

Apakah terjadi perkembangan dalam tulisan-tulisan Paulus?

Terus bertambahnya surat-surat tulisan rasul Paulus menimbulkan masalah teologis kedua. Apakah paulus pernah berubah pikiran atau “mengalami perkembangan” dalam pemahamannya dalam isu tertentu? Kaum injili secara khas menolak pandangan tersebut ketika menjelaskan kontradiksi yang terselubung di dalam sesama tulisan PB, meskipun mereka sering kali menggunakan konsep “wahyu progresif” untuk membela kebijakan Allah yang melakukan perubahan antara kovenan lama dan baru.Seseorang tidak dapat begitu saja menyingkirkan kemungkinan perkembangan teologi Paulus hanya karena berpegang teguh pada pandangan tinggi atas Kitab Suci. Di pihak lain, seseorang mungkin memiliki dasar yang cukup kuat untuk membahas adanya perkembangan dalam tulisan Paulus antara 1 dan 2 Tesalonika. Dalam 1 Tesalonika 4:13-5:11, Paulus memperingatkan orang-orang di Tesalonika agar tidak berpikir bahwa kedatangan Kristus akan terus ditunda. Dalam 2 Tesalonika 2:1-12, ia memperingatkan mereka untuk tidak berpikir bahwa kedatangan Tuhan sudah terjadi.

D. Genre dari Kitab Wahyu

Bahkan sang reformator Agung, John Calvin pun mengakui ketidak pastiannya tentang apa yang harus dilakukan atas kitab Wahyu. Mungkin, kunci paling penting adalah menyadari bahwa kitab Wahyu mengombinasikan tiga genre yang berbeda: surat kiriman, nubuatan dan apokaliptik.

1. Kitab Wahyu sebagai sepucuk surat kiriman

Wahyu 1:4 dengan jelas menyatakan bahwa penulis  menulis kitab ini kepada tujuh gereja di Asia kecil. Pasal 2-3 memuat tujuh surat mini dengan pujian dan/atau kecaman bagi setiap gereja. Oleh sebab itu, kitab Wahyu memiliki sejumlah karakteristik dari Surat-surat Kiriman. Sebagai contoh, para penafsir perlu seakurat mungkin mengkonstruksi situasi-kondisi dari setiap gereja.

Kadang-kadang, kita tidak dapat begitu saja menentukan makna asli dari kiasan-kiasan yang ditulis oleh Yohanes. Batu putih yang tercatat di 2:17 mungkin saja merupakan sebuah tiket masuk, atau sebuah keputusan “tidak bersalah” dari hakim, atau sebuah benda suci dengan sebuah nama Ilahi.

Mempelajari kitab Wahyu sebagai sepucuk surat kiriman kepada orang-orang percaya tertentu yang dapat dikenaldi dalam situasi-kondisi tertentu juga dapat diterapkan atas materi di luar pasal 2 dan 3. Tujuan utama kitab ini adalah untuk meneguhkan umat Kristen yang sedang mengalami penyiksaan, bukan untuk membingungkan atau memecah belah para pembacanya tentang sejumlah pengajaran eskatologi. 

Menafsirkan kitab Wahyu dibawah terang peristiwa-peristiwa yang terjadi pada zaman kitab tersebut ditulis harus dibatasi dengan memperingatkan sekelompok penafsir yang terlalu bersemangat mencari padanan-padanan detail antara peristiwa-peristiwa yang diramalkan dengan apa yang terjadi di abad XXI (atau abad manapun). Banyak peristiwa yang dikenal baik oleh audiens abad pertama dapat dikenali mereka dan tidak memiliki padanan yang khusus di “akhir zaman” ini.

Lindsey dan banyak penulis sejenis lainnya seharusnya mampu menghindari kesalahan-kesalahan sejenis ini dengan memperhatikan kaidah mendasar dari hermeneutika bahwa para penafsir memiliki kecenderungan untuk mengabaikan sesuatu ketika mempelajari kitab Wahyu: teks tidak dapat memaksudkan sesuatu yang sama sekali tidak dikenal oleh audiens aslinya. Penafsir juga tidak merujuk kepada Daniel 12:9 untuk mendukung sebuah pandangan yang berbeda. Jadi, Yohanes diberitahu sesuatu yang sepenuhnya terbalik dengan apa yang diperintahkan kepada Daniel: “Jangan memeteraikan perkataan-perkataan nubuat dari kitab ini, sebab waktunya sudah dekat” (Why. 22:10).

2. Kitab Wahyu sebagai Sebuah Nubuatan

Frederick Mazzaferri menunjukkan betapa dekatnya paralel-paralel umum antara kitab Wahyu dengan kitab-kitab Yesaya, Yeremia, dan secara khusus Yehezkiel. Yohanes mengikuti tradisi dari para nabi utama di PL – meramal dan menyampaikan pemberitahuan awal. Pendekatan preterist lewat pasal 19 memandang bahwa semua peristiwa sebagai masa lampau; kaum futuris, menganggap segala sesuatu berlaku di masa yang akan datang (minimal sejak pasal 6); kaum historis menelusuri perkembangan dari keseluruhan era gereja; dan kaum idealis,menganggapnya sebagai sebuah presentasi simbolis dari perjuangan yang tidak dibatasi oleh waktu antara baik dan jahat. Manifestasi klimaks dari peristiwa-peristiwa yang mendahului kedatangan kembalinya Kristus (psl. 6-19) tetap bersifat masa depan, namun peristiwa-peristiwa tersebut tidak pernah serupa (bahkan dalam skala yang lebih luas sekalipun) kemenangan-kemenangan dan penghakiman-penghakiman yang telah dialami oleh umat Allah dan dunia ini secara berulang-ulang sejak penciptaan.

Oleh sebab itu, tidak mengherankan kalau ketujuh meterai sangat mirip dengan tanda-tanda yang Yesus katakan harus terjadi meskipun “itu belum kesudahannya” (Mat. 24:6): peperangan, pembunuhan, kelaparan, dan gempa bumi – bencana alam yang telah mengakibatkan penderitaan kepada umat manusia di dalam hampir segala masa dalam sejarah umat manusia. Secara jelas, Allah memilih untuk memperingatkan umat-Nya dengan gambaran yang sudah mereka kenal daripada menggunakan fotograf-fotograf literal tentang wujud dari apa yang akan terjadi. Jadi, kita tidak dapat secara meyakinkan mengetahui bagaimana semua nubuatan, semuanya itu merujuk kepada peristiwa-peristiwa nyata yang akan terjadi pada akhir era gereja. Nubuatan-nubuatan meramalkan peristiwa-peristiwa literal, meskipun gambaran-gambaran yang diberikan tidak menggambarkan peristiwa-peristiwa tersebut secara literal.

Jika kitab Wahyu merupakan sebuah nubuatan, maka hanya seorang antisupranatural yang menyimpang yang akan disetuju dengan Adela Yarbro Collins yang menuliskan: “Sebuah hermeneutika yang secara serius menerapkan kritik historis tidak mungkin menerima gagasan adanya campur tangan Allah. Dengan kata lain, ia percaya bahwa para pembaca modern tidak dapat secara sungguh-sungguh mengharapkan dunia ini berakhir dengan campur tangan supranatural dari Allah lewat berbagai bencana dan siksaan sebagaimana yang digambarkan dalam kitab Wahyu.

3. Kitab Wahyu Sebagai Karya Apokaliptik

Kemungkinan, genre yang paling signifikan dari ketiga genre yang terdapat dalam kitab Wahyu adalah genre yang berakhir. Judul dari kitab ini, dikutip dari baris pertamanya, menunjukkan kitab ini sebagai sebuah karya apokaliptik: “Inilah wahyu Yesus Kristus, yang dikaruniakan Allah kepada-Nya, supaya ditunjukkan-Nya kepada hamba-hamba-Nya apa yang harus segera terjadi”. Apokaliptik merupakan bentuk karya sastra yang banyak ditemukan di dalam dunia PB.

Karakteristik dari karya sastra apokaliptik mencakup sebuah dekskripsi dari peristiwa-peristiwa sekitar masa akhir dari sejarah dunia, sering kali dikatakan berasal dari Allah lewat perantara malaikat atau makhluk dari dunia lain.

Definisi-definisi yang lebih formal tentang karya apokaliptik sulit di sepakati oleh semua pihak. Salah satu definisi yang paling banyak dirujuk adalah pendapat yang bersifat lebih teknikal dari John Collins dalam kaitan dengan sebuah “kelompok kerja” dari para sarjana Society of Biblical Literature: “karya apokaliptik adalah sebuah genre dari karya sastra pewahyuan dengan sebuah kerangka kerja narasi yang di dalamnya sebuah wahyu dimediasi oleh suatu makhluk dari dunia lain kepada seorang manusia sebagai penerima, menyingkapkan sebuah realita transenden yang berhubungan baik dengan konsep  waktu sejauh di dalamnya menyampaikan keselamatan eskatologikal, maupun dengan konsep ruang sepanjang di dalamnya melibatkan sebuah dunia lain yang bersifat supranatural.

Di pihak lain, Leon Morris dengan baik merangkum delapan perbedaan kunci antara kitab Wahyu dengan karya-karya apokaliktik secara umum, yaitu:

1. Referensi yang teratur atas kitab tersebut sebagai sebuah nubuat;

2. Peringatan-peringatan dan seruan-seruan khusus agar melakukan pertobatan;

3. Tidak terdapat nama samaran;

4. Sebuah pandangan dunia yang optimistis;

5. Tidak terdapat jejak ulang sejarah masa lampau dalam bentuk nubuat samaran;

6. Eskatologis yang sudah direalisasikan (akhir zaman telah dimulai dengan Kedatangan Pertama Kristus);

7. Sedikit penafsiran oleh para malaikat; dan

8. Keyakinan bahwa sang Mesias telah datang dan melakukan penebusan.


Yang paling penting adalah bahwa kita harus menyadari bahwa kitab Wahyu mengandung bahasa-bahasa simbolis dan figuratif  tingkat tinggi yang tidak boleh kita tafsirkan dengan cara yang terlalu literal.

Sebuah pendekatan yang memiliki legitimasi yang jauh lebih tinggi adalah mempelajari setiap adegan atau setiap gambaran berdasarkan penjelasan yang diberikan oleh kitab Wahyu itu sendiri, berdasarkan latar belakang PL yang relevan, dan berdasarkan informasi historis lainnya yang dikenal dan dipahami oleh orang-orang abad pertama yang menjadi audiens Yohanes. Oleh sebab itu, sangat penting untuk menemukan unsur-unsur simbolis dari kitab Wahyu dan berusaha menentukan makna apa yang yang diwakili oleh setiap unsur tersebut. Para penafsir harus mempelajari dan mengenal latar belakang historis yang relevan dan signifikan teologis yang paling memungkinkan dari berbagai detail yang terdapat di dalamnya.

Satu gambaran dari latar belakang PL yang dapat memberikan penjelasan adalah gulungan rasa pahit dan manis di 10:9-11, yang sangat mirip dengan gulungan yang diperintahkan untuk dimakan Yehezkiel (Yeh. 2:9-3:9). Di sana, gulungan tersebut dengan jelas menunjukkan baik penghakiman maupun pengharapan yang Allah perintahkan kepada nabi-Nya untuk disampaikan kepada umat-Nya. Hal ini sangat cocok dengan gambaran dalam kitab Wahyu.

Contoh terakhir yang lebih kontroversial adalah tentang tiga setengah tahuhn (digunakan secara bergantian dengan empat puluh dua bulan atau 1260 hari) masa penyiksaan besar (Why. 11:2; 12:6; 13:5). Contoh terakhir di atas memunculkan topik kompleks tentang simbolisme angka dalam kitab Wahyu. Tujuh, dua belas, seribu, dan angka-angka lain yang berkaitan dengan ketiga angka tersebut memainkan peranan penting dalam kitab tersebut.

Dalam contoh-contoh lain, angka-angka hanya berfungsi untuk mengindikasikan panjang atau pendeknya unit-unit pengukuran. Seribu tahun merupakan sebuah “era keemasan” yang panjang dan menakjubkan (20:4). Pasukan tentara sejumlah 200.000.000 (secara literal berarti jumlah yang tak terhingga, satu laksa= 10.000) merupakan unit angka terbesar dalam bahasa Yunani) adalah jumlah terbesar yang dipakai unutk menggambarkan banyaknya orang yang berkumpul di masa Yohanes (9:16).

Meskipun sudah tersedia panduan-panduan di atas, tidak disangkal bahwa para penafsir akan menghasilkan penafsiran-penafsiran yang sangat berbeda. Jadi, kaidah yang paling krusial adalah: tentukan prinsip-prinsip teologis utama dari kitab Wahyu dan hindari terperangkap dalam hal-hal yang detail. Sebenarnya, keseluruhan kitab memuat pengajaran atas semua doktrin utama dari iman Kristen, bukan hanya eskatologi.

Diatas semua itu, jika kita belajar dari Matius 24:36 dan Kisah Para Rasul 1:6-8 dan berhenti menebak-nebak apakah kita sedang hidup di era generasi terakhir atau bagaimana berita-berita terakhir dapat dicocokkan dengan ayat yang ini atau yang itu, maka kita dapat memfokuskan diri pada tema-tema teologis utama dari kitab tersebut dan dikuatkan tentang kedaulatan, kasih, dan keadilan Allah, bahkan selama masa-masa terburuk yang sedang kita hadapi.

E. Kesimpulan

Saat menafsirkan bagian-bagian tulisan dalam PB, para penafsir harus memperhatikan apakah bagian-bagian tulisan tersebut berupa bagian dari kitab Injil, Kisah Para Rasul, Surat-surat Kiriman, atau kitab Wahyu. Masing-masing genre pada gilirannya mengandung beragam jenis subgenre yang ada. Kalau prinsip-prinsip yang dibahas dalam bab-bab sebelumnya (“hermeutika umum”) berlaku untuk seluruh Kitab Suci, maka setiap genre atau bentuk yang ada mengandung fitur-fitur khas yang juga harus diperhatikan secara khusus oleh setiap penafsir. Kita tidak dapat menafsirkan perumpamaan dengan cara yang persis sama dengan cerita-cerita pengumuman. Pengajaran dalam Kisah Para Rasul umumnya tidak secara langsung sebagaimana dibandingkan dengan Surat-surat Kiriman, dan tulisan apokaliptik berbeda dengan tulisan narasi historis yang dapat dipahami secara langsung. 

No comments:

Post a Comment

Jika anda Ingin Membantu pelayanan ini, silahkan kirimkan bantuan anda dengan menghubungi email charinmarbun@gmail.com. Jika anda diberkati silahkan Tuliskan dalam komentar. Jika ada pertanyaan dan permohonan Topik untuk dibahas, silahkan tuliskan dikolom komentar. Terimakasih sudah membaca, Tuhan Yesus memberkati selalu.