Sejarah Penafsiran Alkitab



Sejarah Penafsiran Alkitab

    Memahami cara orang-orang dan kelompok-kelompok menginterpretasikan Alkitab dimasa lalu dapat menjadi rambu-rambu bagi kita, yang memberikan peringatan arahan, dan informasi kepada kita. Seperti sebuah rambu peringatan, mempelajari sejarah interpretasi Alkitab dapat membantu kita melihat kesalahan-kesalahan orang lain di masa lalu dan konsekuensi dari kesalahan-kesalahan itu, sehingga membuat kita waspada untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan itu.

Sejarah Penafsiran Alkitab

Sebagai rambu-rambu yang memberikan arahan, pengetahuan tentang perkembangan interpretasi Alkitab di berbagai negara dapat membantu kita melihat pentingnya interpretasi Alkitab yang benar dana pa yang tercakup di dalamnya. Sebagai rambu-rambu yang memberikan informasi, sejarah hermeneutic membantu kita melihat bagaimana masalah-masalah interpretasi tertentu timbul, dan bagaimana orang-orang lain di masa lalu menyelesaikan masalah-masalah itu.

1. Penafsiran Yahudi

a. Ezra dan Ahli-ahli kitab

Di antara zaman Ezra dan zaman Kristus, para ahli kitab tidak hanya mengajarkan Kitab Suci tetapi juga menyalinnya. Mereka mempunyai pendeta-pendeta hebat untuk menyalin tulisan-tulisan Perjanjian Lama, tetapi penghormatan untuk tulisan ini dengan segera menjadi berlebihan.

b. Hillel dan Shammai

Rabi Hillel adalah seorang pemimpin yang menonjol di antara orang-orang Yahudi Palestina. Rabi Hillel dilahirkan di Babilonia dan mendirikan sebuah sekolah di Yerusalem yang diberi nama sesuai dengan namanya. Rabi Hillel dikenal rendah hati dan penyayang. Dia mengelompokkan banyak peraturan yang muncul di antara orang Yahudi, yaitu peraturan-peraturan yang berhubungan dengan 613 perintah di dalam Hukum Musa kedalam enam topik. Rabi Hillel juga menyajikan tujuh aturan untuk menginterpretasikan Perjanjian Lama. Wood meringkas aturan ini sebagai berikut:

• Aturan yang pertama, berhubungan dengan kesimpulan-kesimpulan dari yang kurang penting hingga yang lebih penting dan juga sebaliknya.

• Aturan yang kedua, kesimpulan yang berdasarkan analogi.

• Aturan yang ketiga, “menyusun sebuah keluarga” yaitu dimana terdapat sekelompok ayat yang mempunyai kemiripan isi, kelompok itu dianggap mempunyai ciri-ciri yang sama yang berasal dari makna ayat utama dalam kelompok tersebut. Oleh karena itu, apa yang tidak eksplisit dalam salah satu dari ayat-ayat itu boleh diinterpretasikan dalam pengertian ayat utamanya.

Aturan yang keempat, sama dengan yang ketiga, tetapi hanya terbatas pada dua ayat.

• Aturan yang kelima, didasarkan atas hubungan antara yang Umum dengan yang Khusus.

• Aturan yang keenam adalah eksposisi dengan sarana ayat lain yang mirip.

• Aturan yang ketujuh, adalah sebuah dedukasi dari konteksnya.

Shammai, seorang yang sezaman dengan Hillel, berbeda dengan Hillel baik dalam hal kepribadian maupun dalam hermeneutik. Sebagai seorang pria berwatak keras, Shammai menginterpretasikan Hukum Taurat secara kaku. Pengajaran-pengajaran kedua rabi ini sering kali saling bertentangan secara langsung.

c. Alegorasi Yahudi

Alegorasi adalah mencari adanya makna dasar yang tersembunyi atau rahasia, tetapi dalam kenyataannya berjauhan dan tidak berhubungan dengan makna yang lebih jelas dari tulisan tersebut. Dengan kata lain, pembaca harfiah adalah sejenis kode, yang perlu diuraikan untuk menentukan makna yang lebih penting dan tersembunyi yang terdapat di dalamnya. Alegorasi Yahudi dipengaruhi oleh alogorasi orang-orang Yunani. Para filsuf Yunani dalam mengapresiasi tulisan Yunani kuno karya Homer (abad kesembilan SM) dan Hesiod (abad kedelapan SM), merasa malu oleh tindakan amoral dan antropomorfisme dewa-dewa khayalan dari mitologi Yunani yang tertulis didalam karya-karya tersebut. Untuk menyelesaikan masalah ini, para filsuf mengalegorisasi cerita-cerita itu, mencari makna tersembunyi yang terdapat di balik tulisan-tulisan harfiahnya. Orang-orang Yahudi di Aleksandria, Mesir, dipengaruhi oleh filsafat Yunani. Tetapi mereka juga menghadapi sebuah masalah: Bagaimana mungkin mereka dapat menerima Perjanjian Lama sekaligus juga menerima filosofi Yunani, terutama filosofi plato? Solusinya adalah dengan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh para filsuf Yunani sendiri, yaitu mengalegorisasi Perjanjian Lama.

2. Bapa-bapa Gereja Mula-mula

a) Klemens dari Roma hidup di sekitar tahun 30-95 M. klemens banyak mengutip dari Perjanjian Lama. Klemens juga sering mengutip dari Perjanjian Baru sebagai sarana untuk menguatkan

b) Ignatius dari Antiokhia di Pisidia (tahun 35-107) menulis tujuh buah surat kepada Roma, di mana dia banyak menyiratkan Perjanjian Lama dan menekankan tentang Yesus Kristus.

c) Polikarpus dari Smirna (70-155) juga sering mengutip Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru di dalam suratnya kepada orang-orang Filipi.

d) Rasul Barnabas mengutip perjanjian Lama sebanyak 119 kali. Tulisan Rasul Barnabas juga banyak menggunakan alegori. Interpretasi Barnabas yang lainnya sedikit dibuat-buat.

Dari para pemimpin gereja mula-mula ini jelaslah bahwa meskipun mereka mungkin memulai interpretasi dengan baik, mereka dengan segera terpengaruh oleh alegorisasi.

e) Yustinus seorang martir dari Samaria (tahun 100-164 M) sering mengutip kitab Suci, biasanya dengan tujuan untuk memperlihatkan bahwa Perjanjian Lama menubuatkan Kristus.

f) Ireneus tinggal di Smirna (sekarang bagian dari Turki) dan di Lyons (sekarang di Perancis). Ireneus hidup pada sekitar sekitar Tahun 130-202 M. dalam menentang pandangan-pandangan Gnostik dan penafsiran-penafsiran fantastis yang dibuat oleh penganut Gnostik, dalam karyanya yang berjudul Againts Heresies (melawan bidat) menekankan bahwa Alkitab harus dipahami dalam pengertian alamiahnya yang jelas.

g) Tertulian dari Kartage (tahun 160-220) berkata bahwa Kitab Suci adalah properti gereja. Tertulian percaya bahwa ayat-ayat Alkitab harus dipahami dalam pengertian aslinya, diinterpretasikan sesuai dengan situasi dimana ayat-ayat tersebut dikatakan atau dituliskan.

Berdasarkan ketiga apolog ini, Yaitu Yustinus, Ireneus, dan Tertulian, dapat dibuat beberapa pengamatan:

1) Alegorisasi menjadi apologetik, seperti halnya alegorisasi telah memenuhi tujuan itu bagi para filsuf Yunani dan orang-orang Yahudi di Aleksandria. Para pria ini merasa bahwa masalah-masalah dalam Perjanjian Lama dapat diselesaikan dengan cara alegorisasi.

2) Tipologi dengan mudah melenceng menjadi alegorisasi.

3) Otoritas gereja menjadi alat untuk melawan bidat. Tanpa disengaja, para apolog ini mempersiapkan jalan sehingga tradisi gereja menjadi otoritas yang lebih tinggi, sebuah pandangan yang dominan selama berabad-abad pada abad pertengahan.

3. Bapa-bapa gereja Aleksandria dan Antiokhia

a) Bapa-bapa gereja Aleksandria

1) Pantaenaus, yang meninggal dunia sekitar tahun 190, adalah guru pertama yang diketahui, yang mengajar di Sekolah Katektis (Sekolah agama/sekolah Alkitab) di Aleksandria, mesir. Pantaenus adalah guru dari seorang Klemens.

2) Klemens (155-216) yang tinggal di Aleksandria, terpengaruh oleh ahli alegori Yahudi yaitu Philo. Klemens mengajarkan bahwa seluruh bagian dari Kitab Suci berbicara dalam bahasa perlambangan yang misterius. Klemens berkata bahwa semua ayat dari Alkitab mungkin mempunyai hingga lima makna;

• Historis (cerita-cerita Alkitab)

• Doktrin (dengan pengajaran moral dan teologis)

• Ramalan (yang mencakup lambang-lambang dan nubuat-nubuat)

• Filosofis (alegori pada tokoh sejarah seperti Sara mewakili hikmat sejati dan Hagar mewakili filosofi rakyat jelata)

• Mistis (kebenaran moral dan spiritual)

3) Origen (tahun 185-254 M) adalah seorang yang banyak belajar dan mempunyai kepribadian yang sangat menarik. Dalam mempertahankan rasa hormatnya terhadap Kitab Suci, Origen mengembangkan Heksapla, sebuah pengaturan tulisan Ibrani dan lima versi Yunaniari Perjanjian Lama menjadi enam kolom sejajar. Dalam alegorisasinya, Origen mengajarakan bahwa bahtera menggambarkan gereja dan bahwa Nuh mewakili Kristus. Ribka mengambil air di sumur untuk hamba Abraham berarti bahwa kita harus datang kepada Kitab Suci setiap hari untuk bertemu Kristus. Ketika Yesus dielu-elukan, keledai mewakili Perjanjian Lama, anak keledai menggambarkan Perjanjian Baru, dan kedua rasul menggambarkan pengertian moral dan mistis dari Kitab Suci. Origen begitu mengabaikan makna harfiah yang normal dari Kitab Suci sehingga alegorisasinya menjadi berlebihan dan tidak lazim.

b) Bapa-bapa Gereja Anthiokhia

1) Melalui ajarannya, Dorotheus membantu mempersiapkan jalan untuk pendirian sekolah di Anthiokhia Siria. Lucian (tahun 240-312 M) adalah pendiri sekolah Anthiokhia.

2) Diodorus, yang juga dari aliran Antiokhia (meninggal dunia pada tahun 393 M). Diodaorus adalag guru dari dua bapa Antiokhia terkenal lainnya yaitu Theodore dari Mopsuestia dan John Chrysostom.Theodore dari Mopsuestia dikatakan merupakan penafsir terhebat dari Aliran Antiokhia. John Chrysostom (tahun 357-407 M) adalah uskup agung dari Konstantinopel.

3) Theodoret (386-458) menuliskan penjelasan-penjelasan tentang sebanyak besar dari kitab-kitab di dalam Perjanjian Lama, dan tentang tentang Rasul-rasul, menurut Terry, adalah “beberapa dari contoh-contoh terbaik dari eksegesis kuno.”

4. Bapa-bapa Gereja Terkemudian

a) Hieronimus (tahub 347-417 M) pada awalnya mengikuti Origen dalam alegorisasinya yang pertama. Tetapi kemudian setelah Hieronimus dipengaruhi oleh sekolah Antiokhia dan para guru Yahudi, karya Hieronimus menjadi lebih harfiah.

b) Vincent, yang meninggal dunia sebelum tahun 450 M, melanjutkan penekanan ini dengan lebih jelas lagi. Dalam karyanya Commonitorium (434 M), Vincent menuliskan bahwa Kitab Suci menerima eksposisi terakhirnya di dalam gereja kuno.

c) Augustinus (354-430) adalah seorang teolog besar yang mempunyai pengaruh besar terhadap gereja selama berabad-abad. Pada mulanya, agustinus adalah seorang penganut Manikheisme. Gerakan Manikheisme, yang dimulai di abad ketiga setelah Masehi, mendiskreditkan Kekristenan dengan menunjuk kepada antropomorfisme yanf absurd dari Perjanjian Lama. Namun ketegangan ini menyurut ketika katedral di Milan,Italia, Augustinus mendengar Ambrose, yang sering mengutip II Korintus 3:6, “Hukum yang tertulis mematikan, tetapi Roh menghidupkan.” Hal ini menyebabkan Augustinus menerima alegorisasi sebagai sebuah solusi untuk mesalah-masalah Perjanjian Lama.

Dalam buku ketiganya tentang Doktrin Kristen, Augustinus menyajikan tujuh aturan untuk interpretasi yang mengusahakn untuk memberikan dasar yang rasional untuk alegorisasi:

1) “ Tuhan dan tubuh-Nya.” Apa yang dikatakan tentang Kristus sering kali juga dapat diterapkan kepada tubuhNya, yaitu gereja.

2) “ Pembagian ganda Tuhan, atau campuran gereja.” Gereja mungkin menampung orang-orang munafik maupun orang-orang yang sungguh-sungguh percaya, sepertin yang tampak pada ikan yang baik dan ikan yang tidak baik didalam jaring.(Mat. 13:47-48)

3) “Janji-janji dan Hukum.” Beberapa ayat berhubungan dengan karunia, dan beberapa ayat lainnya berhubungan dengan Roh dan beberapa ayat lainnya berhubungan dengan huruf (“Hukum yang tertulis”), beberapa ayat berhubungan dengan usaha dan beberapa ayat lainnya berhubungan dengan iman.

4) “ Spesies (bagian) dan genus (keseluruhan).” Beberapa ayat berhubungan dengan bagian (spesies) dan beberapa berhubungan dengan keseluruhan (genus). Orang-orang Israel yang percaya, misalnya, adalah spesies (sebagian) dari genus, yaitu gereja yang adalah orang-orang Israel yang rohani.

5) “ Waktu.” Ketidaksesuaian yang ada dapat disesuaikan dengan memasukkan satu pernyataan lainnya.

6) “Rekapitulasi.” Beberapa ayat yang sulit dijelaskan dengan memandangnya sebagai ayat yang merujuk kepada suatu riwayat yang pernah terjadi sebelumnya.

7) “Setan dan tubuhnya.” Beberapa ayat, seperti Yesaya 14, yang berbicara tentang setan, lebih berhubungan dengan tubuhnya, yaitu pengikut-pengikutnya.

d) John Cassian (tahun 360-435 M) adalah seorang rahib dari Skit (Rumania modern). John Cassian mengajarkan bahwa Alkitab mempunyai makna empat lapis, yaitu; historis, alegoris, tropologis, anagogis. Yang dimaksudkannya dengan tropologis adalah makna moral.kata trope dalam bahasa Yunani, yang berarti “perubahan,” menandakan perubahan dari suatu kata kepadapengertian moralnya. Yang dimaksudkannya dengan anagogis adalah makna rahasia atau makna surgawi, dari kata Yunani anagein, “mengarahkan ke atas.”

e) Eucherius dari Lyons, yang meninggal dunia sekitar tahun 450, berusaha membuktikan didalam bukunya Rules for allegarical Interpretation (Aturan-aturan untuk Interpretasi Alegoris) adanya bahasa simbolis di dalam Kitab Suci. Tetapi Eucherius juga melihat adanya sebuah “diskusi historis,” atau pengertian harfiah di dalam Kitab Suci.

f) Sekitar tahun 425 M, Adrian dari Antiokhia menulis sebuah buku panduan tentang interpretasi yang disebut Introduction to Sacred Scriptures (Pendahuluan kepada Kitab Suci yang sakral). Dalam karyanya ini, Adrian menyatakan bahwa antropomorfisme tidak boleh dipahami secara harfiah.

g) Sekita tahun 550 M, Junilius menulis sebuah pedoman interpretasi yang disebut Rules for the Divine Low (Aturan untuk Hukum Ilahi). Junilius mengatakan bahwa iman dan nalar tidak saling bertentangan.

Dari para pemimpin gereja terkemudian ini, jelaslah, bahwa Hieronemus, Vincent, Augustinus membuka jalan untuk dua penekanan yang kemudian bertahan selama lebih dari dua ribu tahun – alegorisasi dan otoristas gereja. Cassian, Eucherius, Adrian, dan Junilius mendasarkan karya pada pendekatan terhadap

Kitab Suci ini di sepanjang abad-abad selanjutnya, yaitu Abad Pertengahan.

5. Abad Pertengahan

Yang umum di Abad Pertengahan adalah penggunaan katena, serangkaian interpretsi yang dikumpulkan dari penjelasan-penjelasan bapa-bapa gereja.

a) Gregorius Agung (540-604), paus pertama dari Gereja Katolik Roma. Gregorius mendasarkan interpretasinya tentang Alkitabdan bapa-bapa gereja. Gregorius membenarkan alegorisasinya dengan mengatakan, “Apakah perkataan-perkataan kebenaran jika kita tidak mengambilnya sebagai makanan untuk memelihara jiwa?... Alegori menjadi sejenis mensin untuk jiwa yang jauh dari Allah yang memungkinkan jiwa itu terangkat kepadaNya.” (Eksposisi dari Kitab Kidung Agung).

b) Venerable Bede (Bede yang terhormat) 673-734, teolog Anglo-Saxon, menuliskan penjelasan-penjelasan yang kebanyakan berupa kompilasi dari karya-karya Amborse, Basil, dan Augustinus. Mereka juga sangat mendukung pandangan alegoris.

c) Alcuin (735-804) dari York Inggris, juga mengikuti metode alegorisasi. Dalam penjelasannya tentang Kitab Yohanes, seperti halnya Bede, Alcuin juga mengumpulkan komentar-komentar dari para pemimpin gereja seperti Augustinus dan Ambrose.

d) Rabanus Maurus, seorang murid Alcuin, menulis tafsiran tentang semua kitab yang ada di dalam Alkitab.

e) Rashi (1040-1105) adalah seorang penganut tafsiran harfiah Yahudi Abad Pertengahan, yang mempunyai pengaruh besar terhadap interpretasi Yahudi dan Kristen kerena penekanannya pada tata bahasa (gramitikal) dan sintaksis Ibrani. Rashi menuliskan tafsiran tentang seluruh Perjanjian Lama kecuali kitab Ayub dan Tawarikh. Rashi menyatakan bahwa “makna harfiah harus tetap teguh apa pun artinya bagi makna tradisuonalnya”.

f) Ada tiga orang penulis di Abbey dari Saint Viktor di Paris yang mengikuti Rashi dalam minatnya akan makna historis dan harfiah dari Kitab suci. Pria-pria ini – yaitu: Hugo (1097-1141), Richard (tahun 1173), Andrew (tahun 1175) – dikenal sebagai Viktorin, Richard dan Andrew adalah murid Hugo. Penekanan makna harfiah Kitab Suci oleh para Viktorin menjadi seberkas cahaya terang di Abad Kegelapan.

g) Bernard dari Clairvaux (1090-1153), seoramg rahib besar, menulis panjang lebar dan menyusun 86 khotbah hanya dari dua pasal pertama Kitab Kidung Agung! Pendekatannya terhadap Kitab Suci biasanya berupa alegorisasi dan mistikisme yang berlebihan.

h) Yoakim dari Flora (1132-1202), seorang rahib Benediktin, menulis bahwa kurun waktu dari Penciptaan hinggan Kristus adalah zaman Allah Bapa, masa kedua (sejak Kristus hingga tahun 1260) adalah zaman Allah Putra, diwakili oleh Perjanjian Baru, dan masa depan (dimulai pada tahun 1260) adalah zaman Roh Kudus. Yoakim juga menulis tentang harmoni Injil dan penjelasan-penjelasan tentang beberapa orang nabi.

i) Stephen Langton (tahun 1155-1228), seorang Uskup Agung dari Canterbury, berpegang teguh bahwa interpretasi spiritual lebih baik dari pada interpretasi harfiah.

j) Thomas Aquinas (1225-1274) adalah teolog yang paling terkenal dari Gereja Katolik Roma di Abad Pertengahan. Aquinas berpegang teguh bahwa makna harfiah Kitab Suci menjadi dasar dari pengertian-pengertian lain yang dibangun di atasnya.

k) Nicholas dari Lyra (1279-1340) adalah seorang tokoh penting Abad Pertengahan karena Nicholas menjadi jembatan antara kegelapan di masa itu dengan terang Reformasi. Dalam tafsirannya tentang Perjanjian Lama, Nicholas menolak Vulgata dan kembali kepada Kitab Suci Ibrani. Meskipun Nicholas menerima pengertian empat lapis dari Kitab Suci yang banyak digunakan di Abad Pertengahan, Nicholas kurang memperhatikannya dan lebih menekankan pada makna harfiah.

l) John Wycliffe (tahun 1330-1384) adalah seorang pembaharu dan teolog yang menonjol, yang sangat menekankan otoritas Kitab Suci untuk doktrin dan kehidupan Kristen. Oleh karena itu dia menolak otoritas Kitab Suci untuk doktrin dan kehidupan Kristen. Oleh karena itu dia menolak otoritas tradisional Gereja Katholik. Wycliffe mengajukan beberapa aturan untuk interpretasi Alkitab:

• Dapatkan tulisan yang dapat dipercaya

• Pahami logika Kitab Suci

• Bandingkan bagian-bagian Kitab Suci yang satu dengan bagian-bagian lainnya

• Pertahankan sikap pencarian yang rendah hati agar Roh Kudus dapat memimpin kita (The Truth of Holy Scripture, 1377, halaman 194-205).

6. Reformasi

Reformasi adalah waktu kebangkitan sosial dan eklesiastikal (gerejawi) tetapi seperti yang disebutkan oleh Ramm, pada dasarnya, Reformasi adalah reformasi hermeneutik, sebuah reformasi yang berhubungan dengan pendekatan kepada Alkitab.

a) Martin Luther (1483-1546) mengkritik pendekatan alegoris terhadap Kitab Suci dengan kata-kata yang keras. Dengan menolak pengertian empat lapis dari Kitab Suci yang dominan di sepanjang Abad Pertengahan, Luther menekankan pengertian harfiah (sensus literalis) dari Alkitab. Dalam karyanya “analogi scripture” (“analogi iman”), Luther berkata bahwa ayat-ayat yang samar-samar harus dipahamai dalam pengertian ayat-ayat yang jelas. Menurut Luther, setiap orang Kristen yang sungguh-sungguh dapat memahami Alkitab. “Tidak ada buku lain di bumi yang ditulis dengan lebih logis daripada Kitab Suci” (Eksposisi dari Mazmur 37). Bagi Luther interpretasi Alkitab harus berpusat pada Kristus.

b) Philip Melancthon (1497-1560), yaitu kawan Luther, mengenal bahasa Ibrani dan Yunani dengan baik. Pengetahuan itu, disertai dengan “penilaiannya yang yang tenang dan metode proseduralnya yang hati-hati, memberinya kualifikasi tambahan sehingga membuat Melancthon menonjol dalam interpretasi Alkitab.” Meskipun kadang-kadang melenceng kepada alegori, secara umum Melankthon mengikuti metode gramatikal dan historis.

c) John Calvin (1509-1564) disebut sebagai “salah satu penafsir Alkitab terhebat.” Calvin juga menolak interpretasi alegoris. Calvin menyebut interpretasi alegoris sebagai “permainan yang konyol” dan bahwa Origen dan banyak orang lainnya bersalah karena “menyiksa Kitab Suci, dalam semua pengertian yang mungkin, tanpa pengertian yang sebenarnya. Calvin menekankan bahwa “Kitab Suci menginterpretasikan Kitab Suci”. Karena itulah Calvin sangat menekankan gramatikal dan perlunya memeriksa konteks dari setiap ayat.

d) Ulrich Zwingli (1484-1531) adalah seorang pemimpin Reformasi di Zurich, sementara Calvin adalah pemimpin Reformasi di Jenewa. Zwingli menekankan pentingnya menginterpretasikan ayat-ayat Alkitab di dalam konteksnya masing-masing.

e) William Tyndale (tahun 1494-1536) paling dikenal karena menerjemahkan Perjanjian Baru ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1525. Tyndale juga menerjemahkan pentateukh dan kitab Yunus.

f) Gerakan Anabaptis yang dimulai pada tahun 1525 di Zurich, Swiss oleh para pengikut Zwingli yang merasa bahwa Zwingli tidak benar-benar memutuskan hubungannya dengan agama Katholik dalam hal kendali negara atas gereja dan baptisan bayi. Tida orang yang disebut “bapak pendiri” gerakan anabaptis adalah Condrad Grebel, Felix Manz, dan Georg Blaurock. Pemimpin-pemimpin lain yang juga dikenal luas adalah Balthasar Hubmaier, Michael Sattler, Pilgram Marpeck, dan Menno Simons. Para pengikut Anabaptis mempercayai bahwa jika seseorang pada masa bayi telah dibaptis oleh Gereja Reformed (gereja Zwingli) dan kemudian ketika dewasa dia menerima Kristus, orang tersebut sebaiknya dibaptis kembali.

7. Pasca-Reformasi

Sepanjang 200 tahun dalam abad ke-17 dan ke-18 ditandai oleh beberapa gerakan dan aktivitas yang sangat berpengaruh. Gerakan-gerakan dan aktivitas-aktivitas ini mencakup pendirian dan penyebaran Calvinisme, reaksi terhadap Calvinism, penelitian tekstual dan linguistik, dan rasionalisme.

a) Pendirian dan Penyebaran Calvinisme

Pengakuan Iman Westminster, yang disetujui oleh Parlemen Inggris pada tahun 1647 dan Parlemen Skotlandia pada tahun 1649, mencantumkan prinsip Calvinisme untuk Inggris.

1) Francis Turretin (1623-1687) mengajar teologi di jenawa.Turretin mengajarkan bahwa Alkitab tidak pernah salah dan mempunyai otoritas, dan Turretin menekankan pentingnya pentingnya mengetahui tulisan aslinya. Dalam karyanya Turretin mendiskusikan empat aspek utama Alkitab: pentingnya, otoritasnya, kesempurnaanya, dan kejelasannya.

2) Jean-Alphonse Turretin (1648-1737), putra Francis Turretin menulis De Sacrae Scripturae Interpretendae Methodo Tractatus (1728), di mana dia menekankan hal-hal berikut ini yang berkaitan dengan penafsiran gramatikal dan historis:

• Alkitab harus ditafsirkan seperti buku-buku lainnya.

• Si penafsir harus memberikan perhatian pada kata-kata dan frasa-frasa yang terdapat didalam Alkitab.

• Tujuan interpretasi adalah untuk menentukan apa maksud sang penulis di dalam konteks tersebut.

• Si penafsir sebaiknya menggunakan pengertian penalaran yang alamiah (dalam hal ini Turretin meniru ayahnya, yang meniru Aquinas dalam hal penalaran) dan tidak akan memandang adanya pertentangan di dalam Alkitab.

• “Pendapat para penulis yang Agung” harus dipahami dalam pengertian zaman merekamasing-masing (sebaiknya mempertimbangkan latar belakang kultural dan historisnya).

3) Johan Ernesti (1707-1781) disebut sebagai “mungkin adalah nama yang paling dikenal dalam sejarah eksegesis di abad ke-18”. Ernesti menekankan pentingnya tata bahasa (gramatikal) dalam memahami Alkitab, dan Ernesti menolak alegorisasi, serta menekankan pendekatan harfiah kepada alkitab

b) Reaksi-reaksi terhadap Calvinisme

1) Jacobus Arminius (1560-1609), seorang teolog Belanda, menolak sejumlah pengajaran John Calvin, dan mengajarkan bahwa manusia mempunyai kehendak bebas. Pada tahun 1610 pengikut-pengikutnya menetapkanpandangan mereka dalam sebuah risalah yang disebut “Remonstrans”.

2)Jakob Boehme (1635-1705, Pada masa Pasca reformasi, tumbuh mistikisme, yaitu pandangan bahwa manusia mungkin mempunyai pengetahuan dan persekutuan langsung dengan Tuhan berdasarkan pengalaman subjektifnya secara terpisah mengenai Alkitab, ini adalah pengaruh tulisan-tulisan karya Jakob Boehme (1635-1705). Boehme mempersiapkan jalan untuk Pietisme dengan penekanannya pada spiritualitas dari dalam.

Setelah Konsili Trent, Kaum Protestan mulai menyusun pengakuan iman mereka sendiri untuk membela ajaran-ajaran mereka. Periode pasca-Reformasi kemudian menjadi zaman dogmatika teologis, “sebuah masa perburuan bidat dan pengakuan iman Protanisme yang kaku.

3) Philip Jakob Spener (1635-1705) dianggap sebagai pendiri Pietisme Pasca-Reformasi. Sebagai seorang pengikut Lutheran, Spener bereaksi terhadap formalitas mati dan teologi yang hanya berisi kata-kata dan pengakuan iman.

4) August H. Francke (1663-1727) menekankan filologi dan implikasi praktis Kitab Suci untuk kehidupan. Spener dan Francke bereaksi terhadap pendekatan tekstual terhadap Alkitab yang hanya membicarakan yang mereka sebut sebagai “kulit luarnya saja.”

5)John Wesley (1703-1791), Pietisme memengaruhi orang-orang Moravia, yang kemudian memengaruhi John Wesley (1703-1791). Wesley menekankan bahwa makna Alkitab sederhana, dan bahwa Alkitab harus memimpin pembacanya kepada Kristus. Sebagai reaksi terhadap rasionalisme, Wesley tidak memercayai penalaran manusia.

c) Telaah Tekstual dan Linguistik

Pada abad ke-17 dan ke-18, “terjadi kemajuan-kemajuan besar dalam menentukan tulisan asli dari Alkitab.”

1) Louis Cappell mengerjakan kritik tekstual pertama dari Perjanjian Lama, seperti yang tampak dalam karyanya Critia Sacra, yang diterbitkan pada tahun 1650.

2) Johann A. Bengel (1687-1752) dikenal sebagai “Bapak kritik teks modern”. Bengel adalah sarjana pertama yang mengenali adanya keluarga-keluarga atau kelompok-kelompok manuskrip yang didasarkan pada ciri-ciri yang umum.

3) Johnann J. Wettstein (1693-1754) mengoreksi banyak manuskrip Perjanjian Baru dan menerbitkan Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani dalam satu jilid disertai dengan satu tafsiran.

d) Rasionalisme

Gerakan ini menekankan bahwa kepandaian manusia dapat menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Oleh karena itu, Alkitab benar jika Alkitab sesuai dengan penalaran manusia, dan apa yang tidak sesuai dengan penalaran boleh diabaikan atau ditolak.

1) Thomas Hobbes (1588-1679) adalah seorang filsuf Inggris yang mengajarkan rasionalisme dengan kecondongan politis. Hobbes tertarik kepada Alkitab sebagai sebuah kitab yang dipenuhi peraturan dan prinsip untuk Perserikatan Inggris.

2) Baruch Spinoza (1632-1677), seorang filsuf Yahudi Belanda, mengajarkan bahwa penalaran manusia bebas dari teologi. Teologi (wahyu) dan filsafat (penalaran) mempunyai bagian-bagian yang terpisah satu sama lainnya. Oleh karena itu Spinoza menolak mujizat di dalam Alkitab. Namun demikian Spinoza menetapkan beberapa aturan untuk menginterpretasikan Alkitab, termasuk perlunya mengenal bahasa Ibrani dan Yunani dan latar belakang dari masing-masing kitab di dalam Alkitab.

8. Era Modern

a) Abad Kesembilan Belas

Ada tiga elemen yang dapat dipikirkan dari abad ke-19, yaitu; subjektivisme,kritik sejarah dan karya-karya eksegesis.

1)Friedrich D. E. Schleiermacher (1768-1834) dan Soren Kierkegaard (1813-1855).Dalam gerakan yang dikenal subjektivisme, ada dua nama yang menonjol, yaitu; Friedrich D. E. Schleiermacher (1768-1834) dan Soren Kierkegaard (1813-1855). Subjektivisme adalah pandangan bahwa pengetahuan muncul dari pengalaman pribadi seseorang, atau bahwa kebaikan yang tertinggi adalah kesadaran akan pengalaman atau perasaan subjektif seseorang.

Schleiermacher menolak otoritas Alkitab dan menekankan tempat perasaan dan kesadaran diri di dalam agama. Hal ini adalah reaksinya terhadap rasionalisme dan formalitisme. Didalam karyanya Monologue, yang diterbitkan pada tahun 1800, Schleiermacher menekankan bahwa Kekristenan sebaiknya dipandang sebagai agama emosi, bukan sebagai serangkaian dogma atau sebuah sistem moral.

Kierkegaard seorang filsuf yang dikenal sebagai “bapak eksistensialisme modern” mengesampingkan penalaran hinggake tingkat terenadah dalam aktivitas manusia, menolak kekristenan dengan rasionalisme formal dan paham pengakuan iman dan mengajarkan bahwa iman adalah sebuah pengalaman subjektif di masa-masa kesengsaraan seseorang.

2) Di abad ke-19, kritik (penelitian) Alkitab menjadi lebih menonjol. Kritik Alkitab yang bersifat rasional dalam pendekatan, menekankan pada yang menullis (penulis) Alkitab dan situasi-situasi historis di sekeliling perkembangan tulisan Alkitab. Karena bersifat rasionalistik, para siswa teologi menolak sifat adikodrati dari Alkitab dan inspirasinya. Dengan kecenderungan filosofis mereka ke arah yang naturalisme, mereka mengesampingkan mukjizat-mukjizat yang tercatat di dalam Alkitab.

Benjamin Jowett (1817-1893), menulis di dalam Essays and Reviews bahwa “Akitab harus diinterpretasikan seperti semua buku lainnya,” dan untuk itu diperlukan pengetahuan tentang bahasa-bahasa aslinya. Tetapi, bagi Jowett, ini berarti bahwa Alkitab tidak bersifat adikodrati karena Alkitab mempunyai “serangkaian sumber-sumber, redaktur, dan interpolar (penyisipan/penambahan) yang rumit” sehingga Alkitab tidak jauh berbeda “ dengan karya satra lainnya. ”

• Menurut Ferdinand C. Baur (1792-1860), pendiri Mazhab Tubingen, Kekristenan berkembang secara bertahap dari agama Yahudi menjadi agama dunia. Karena dipengaruhi secara kuat oleh filsafat tesis, antitesis, dan sintesis Hegel, Baur mengajarkan bahwa Petrus dan Paulus mengarahkan dua kelompok yang saling bertentangan tetapi pada akhirnya bersintesis dalam gereja universal (Katolik) kuno.

David F. Strauss (1808-1874) mengambil pendekatan mitologis terhadap Alkitab, yang menyebabkan Strauss menyangkal interpretasi grematikal historis, dan mukjizat-mukjizat. Strauss adalah murid Baur.

Julius Wellhausen (1844-1918) mengembangkan pandangan Karl Graf dan menyebutkannya Hipotesis Dokumenter. Pandangan ini melihat Pentateukh sebagai karya yang dikumpulkan oleh beberapa penulis yang berbeda – seorang penulis, yang disebut sebagai J, mengumpulkan bagian-bagian dalam Pentateukh yang menggunakan nama “Yehova” (oleh karena itu disebut J) sebagai nama Allah, penulis E mengumpulkan bagian-bagian Elohim (oleh karena itu disebut E), D adalah Deuteromonia (Ulangan), dan yang terakhir yaitu P (priestly) mewakili kode Imamat. Wellhausen percaya bahwa dalam sejarah Perjanjian Lama orang-orang mengalami kemajuan dari politeisme kepada animisme kepada monoteisme. Adolf von Harnack (1851-1930), seorang kritikus Alkitab lainnya, membedah Alkitab seperti seorang ahli biologi memeriksa seekor hewan mati.

b) Abad Kedua Puluh

Pada abad ke-20 terdapat beberapa elemen interpretasi Alkitab. Liberalisme meneruskan sebagian besar dari pendekatan rasionalistis dan kritik yang lebih tinggi dari abad ke-19. Ortodoksi mengambil pendekatan harfiah dan pendekatan devosi terhadap Alkitab. Neoortodoksi mengatakan bahwa Alkitab menjadi Firman Tuhan melalui perjumpaan eksistensi manusia. Bultmannisme mengambil pendekatan mitologis terhadap Alkitab.

Liberalisme, yaitu pengaruh yang kuat di abad ke-19,terus berlanjut hingga ke abad 20. Liberalisme memandang Alkitab sebagai kitab buatan manusia yang tidak mendapatkan inspirasi ilahi, dan liberalisme mengatakan bahwa unsur-unsur adikodrati di dalam Alkitab dapat dijelaskan secara rasional.

Karl Barth (1886-1968), dalam karyanya Commentary on Romans (Tafsiran Kitab Roma) yang ditulis pada tahun 1919, bereaksi keras terhadap liberalisme mati. Barth tidak menyetujui pandangan liberal yang mengatakan bahwa Alkitab hanyalah sebuah dokumen manusia. Justru di dalam Alkitab tertulis bahwa Allah berbicara melalui perjumpaan-perjumpaan IlahinNya dengan manusia. Para pemimpin neoortodoks lainnya yaitu Emil Brunner (1889-1966) dan Reinhold Neibuhr (1892-1971).

Teolog-teolog neo-ortodoks menyangkal bahwa Alkitab tidak pernah salah dan tidak mungkin salah. Penciptaan alam semesta, penciptaan manusia, kejatuhan manusia, kebangkitan Kristus, dan kedatanganNya kali kedua diinterpretasikan secara mitologis.

Rudolf Bultmann (1884-1976) mengajarkan bahwa Perjanjian Baru harus dipahami secara eksistensial dengan “demitologisasi,” yaitu dengan menghilangkan unsur-unsur mitologi “asing”-nya, seperti mukjizat-mukjizat, termasuk didalamnya mukjizat kebangkitan Kristus, yang dikatakan oleh Bultmann sebagai tidak dapat diterima untuk zaman ini.

Karena dipengaruhi oleh eksistensialisme Martin Heidegger (1889-1976), yaitu seoranf filsuf yang berasal dari Jerman, Bultmanisme mengambil pendekatan eksistensialisme kepada Alkitab, yang berarti bahwa keprihatinan para pemimpin dalam gerakan ini adalah untuk mencapai inti pegalaman religius dari Alkitab.

Dalam demitologis (tafsiran terhadap bagian-bagian Alkitab yang dianggap mitologis dengan menekankan kebenaran-kebenaran eksistensial yang terkandung dalam mitos itu) terdapat penghilangan kebenaran, yaitu unsur-unsur Perjanjian Baru yang tidak ilmiah, dan usaha untuk mencapai inti dari apa yang dikatakan oleh Alkitab.

9. Kesimpulan

Selain pendekatan harfiah terhadap Kitab Suci, ada empat pendekatan lain yang menonjol di berbagai periode sejarah gereja

Pendekatan alegoris, yang sangat mengabaikan makna harfiah.

Pendekatan tradisional, yang sangat mengabaikan makna individual.

Pendekatan rasionalistis, yang mengabaikan makna akrodati.

Pendekatan subjektif, yang mengabaikan makna objektif.

Saat ini neoortodoks tidak menonjol seperti dalam beberapa dasawarsa seperti sebelumnya, karena telah tergantikan oleh hermeneutik yang baru dari Bultmann. Sistem-sistem hermeneutik yang telah berkembang di tahun-tahun kebelakangan diantaranya meliputi:

Strukturalisme, yang mengabaikan latar belakang historis tulisan Alkitab dan menganggap Alkitab mempunyai unsur-unsur struktural fundamental yang sama yang terdapat di dalam kisah-kisah fiksi dari semua budaya dan zaman.

Teologi pembebasan, yang menginterpretasikan sebagian besar dari Alkitabm menurut sudut pandang menguntungkan dari orang-orang yang tertindas secara ekonomi dan politis.

Teologi feminis,, yang menganalisis Alkitab dari sudut pandang orang-orang yang tertindas oleh diskriminasi gender.

Etnohermeneutika, yang mencari makna suprakultural yang terdapat didalam Alkitab dalam bentuk kode-kode.

Tinjauan singkat tentang sejarah hermeneutik ini memperlihatkan bahwa sangat penting agar penginjil terus menekankan pada pendekatan historis, gramatikal, dan harfiah terhadap Kitab Suci.

No comments:

Post a Comment

Jika anda Ingin Membantu pelayanan ini, silahkan kirimkan bantuan anda dengan menghubungi email charinmarbun@gmail.com. Jika anda diberkati silahkan Tuliskan dalam komentar. Jika ada pertanyaan dan permohonan Topik untuk dibahas, silahkan tuliskan dikolom komentar. Terimakasih sudah membaca, Tuhan Yesus memberkati selalu.